[2] Bersama Logan

32 3 10
                                    

--- Selamat Membaca ---


Dengan tertatih kaki ini melangkah, menuju tempat yang semestinya aku kunjungi sejak pagi. Sisa air mata yang membendung, berhasil membuat pandanganku menjadi kabur. Tak peduli bagaimana orang berbicara ataupun menilaiku dengan kondisi yang seperti ini. Aku sudah lelah.

Hingga beberapa menit kemudian, aku telah sampai. Kakiku bergerak agresif menaiki tangga, seolah tak sabar ingin menumpahkan segalanya di sana. Kuraih bantal yang sempat kubawa satu minggu yang lalu, kutenggelamkan wajahku di sana, dan aku kembali menangis. Dadaku sesak ketika mengingat kejadian beberapa menit yang lalu. Bahkan, tanpa sadar kupukul lantai menggunakan tangan kananku sebagai bentuk pelampiasan. Tanpa tahu, jika memar kemerahan telah memenuhi jari-jemariku.

Sampai seseorang menegurku dengan lantang. "Kalau mau melukai diri sendiri, sekalian aja potong tuh tangan!"

Aku mendongak, seorang lelaki dengan sepeda khasnya telah menatapku dengan tajam di bawah sana. Tanpa aku suruh, dia pun naik dan duduk di hadapanku. "Goblok!" Satu kata yang kuterima darinya.

"Ngapain kek gini, Nja? Nggak usah konyol! Kalau ada apa-apa itu cerita sama aku, jangan mukul lantai nggak jelas gini!"

Aku hanya menatapnya tanpa menjawab. Tidak harus kujelaskan pun, sepertinya dia akan tahu apa yang terjadi dengan diriku. Sembab juga lebam yang terpampang jelas di wajahku, agaknya sudah menjawab beberapa pertanyaan darinya.

Oh, ya, sebelumnya akan aku kenalkan. Lelaki yang berada di hadapanku ini adalah Logan. Teman kecilku. Kami berada di satu sekolah yang sama, begitu juga dengan Lais, Leci juga Lintang, atau biasanya disebut dengan personil 5L. Usiaku hanya terpaut satu tahun lebih muda darinya, tetapi aku tidak memanggilnya dengan sebutan 'kakak', karena sedari kecil, bibirku terbiasa memanggilnya Logan.

Dari ucapannya, sudah kentara bahwa dia bukanlah sosok lelaki yang memiliki tutur kata yang lembut. Logan tak akan segan untuk marah, jika aku sering kali melakukan hal konyol menurutnya. Di antara keempat temanku, hanya Logan yang mengerti bagaimana keadaan hidupku. Letak rumah yang bersebelahan, membuatnya mengerti lebih jauh seperti apa keluargaku. Maka dari itu, aku juga tak segan menganggapnya sebagai kakak keduaku. Karena dirinya, aku bisa meluapkan dan menceritakan semua yang ingin aku ceritakan.

Seperti saat ini, kuberanikan untuk bersuara. "Ayah dan ibu bertengkar lagi. Ayah menamparku ketika aku mencoba mencegah ayah untuk menampar ibu. Kepalaku terbentur ujung meja karena terhempas. Dan ... Kak Laksa pergi ke Kalimantan untuk bekerja, meninggalkanku." Aku menjelaskan. Sesaat, Logan terdiam.

Aku menoleh ke arah samping, memandang kupu-kupu indah yang bebas terbang di udara. "Gan," panggilku.

"Hem."

"Kapan aku bisa seperti kupu-kupu? Terbang bebas di udara tanpa ada beban," tanyaku yang kemudian Logan melihat ke mana arah mataku memandang.

"Kamu itu manusia, bukan kupu-kupu!" balas Logan dengan sengit. "Nggak usah bandingin hidup kamu dengan sesuatu yang bahagia di mata kamu. Pada kenyataannya, kamu nggak tau apa yang terjadi."

"Sesuatu yang terlihat indah, bukan berarti prosesnya juga indah. Nggak mungkin kamu nggak tau gimana prosesnya kupu-kupu. Pada awalnya dia juga tersiksa, kan?" sambung Logan berhasil membuatku menoleh ke arahnya.

"Tersiksa?" tanyaku heran.

"Sebelum menjadi kupu-kupu, dia berawal dari telur, terus ulat, kepompong di mana tubuhnya terbungkus gitu, baru akhirnya jadi kupu-kupu. Tapi, ini bukan tentang kupu-kupu. Lebih ke proses dan cara kamu menilai. Paham?"

Lentera Senja✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang