--- Selamat Membaca ---
"Hoam." Aku membuka mata, saat kutengok sekitar ternyata Logan sudah tidak ada. Asumsiku mengatakan bahwa dirinya sedang melanjutkan aktivitas minggunya.
Lalu, kuubah posisi menjadi duduk. Tubuhku terasa pegal dan nyeri, mungkin karena cara tidurku yang sepertinya tidak beraturan. Tak apa, setidaknya sedihku sedikit berkurang saat ini.
Aku menoleh ke sebelah kanan, buku tugasku masih tergeletak di sana. Agaknya Logan memang tidak ingin membantuku untuk mengerjakannya. Akhirnya, mau tak mau aku sendiri lah yang menyelesaikannya.
Lembar demi lembar kucoba perhatikan, deret angka itu cukup membuatku pusing ternyata. Tak berhenti sampai di situ, aku mulai mengambil ponsel di saku bajuku. Langsung kucari materi yang berkaitan dengan tugasku, barang kali itu bisa mempermudah.
"Aish! Materinya sama, langkah-langkah untuk menjawab soalnya juga lengkap, tapi kenapa berbeda dengan tugasku!" Aku menggerutu kesal. Bagaimana mungkin materi yang disampaikan sangat berbeda saat penugasan?
"Ah, tidak! Aku nyerah! Tapi ... aku menjadi siswa SMP baru terhitung 1 bulan, harusnya nggak boleh ngeluh, kan? Oh, Ya Allah! Pengen nangis, tapi udah nangis dari tadi. Aish!" Aku terdiam lagi. Berusaha memikirkan bagaimana caranya tugasku dapat selesai, tanpa harus berpikir. Kuingat-ingat teman sekelasku yang terlihat pintar, dan pikiranku tertuju pada ... Zoya!
"Besok aku nyontek padanya saja! Eh, tapi ... nanti pasti kena omel dulu." Bingung berpikir, aku memutuskan untuk pulang. Sudah cukup aku berlama-lama di sini. Saat ingin beranjak, secarik kertas mengalihkan atensiku. Kuraih dan kubaca pesannya.
"Eh, apa ini nggak salah? Sejak kapan Logan mau menuliskan kalimat seperti ini?" Aku berpikir sejenak, setahuku Logan bukanlah tipe orang yang suka menuliskan sesuatu lewat surat. Apalagi dari kalimatnya yang seolah-olah tengah menyemangati.
"Nggak, ini bukan Logan banget! Mana mungkin mata duitan itu mau nulis beginian. Tapi, kalau bukan dia siapa, ya? Yang tahu tempat ini 'kan cuma aku dan keempat temanku. Dari tadi juga cuma ada aku sama Logan."
"Aish! Kebanyakan mikir kamu, Nja! Udahlah nanti aja, mikirnya di rumah. Sekarang waktunya pulang, udah mau sore."
🌸🌸🌸
Setelah lima belas menit berlalu, akhirnya aku telah menyelesaikan ritual mandi dengan khidmat. Segera kubaringkan tubuhku di atas kasur. Baru saja hendak memejamkan mata, notifikasi dari ponselku mengurungkannya.
Aku mengambil benda pipih itu karena penasaran. Ternyata ada beberapa pesan yang masuk dari kakakku.
Kakak Laksa: Assalamualaikum, Nja. Kakak masih di jalan, belum sampai nih. Kamu gimana?
"Ck, ngapain ngabarin, sih?"
Kakak Laksa: Maaf, Kakak harus ninggalin kamu di rumah. Bukannya Kakak nggak sayang, tapi Kakak nggak tega kalau kamu harus jadi pengemis. Jadi, biarin Kakak yang pergi aja, ya? Biar Kakak yang cari uang buat keluarga kita.
Kakak Laksa: Kakak tahu, kamu pasti benci, ya, sama Kakak? Kakak terima, kok. Walaupun begitu, Kakak masih bersedia jadi pendengar setia cerita kamu. Kalau mau cerita, cerita aja ya, Nja? Bagi luka kamu ke Kakak, jangan dipendam sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lentera Senja✓
Teen FictionKedua orang tuanya hampir saja bercerai karena ekonomi, Lentera sendiri menjadi korban atas perkelahian yang mereka ciptakan. Bahkan, tameng satu-satunya yang ia miliki, berani meninggalkan dirinya dengan penuh luka. Sampai terlintas di benaknya un...