[1] Hati yang Perih

50 4 10
                                    

--- Selamat Membaca ---

Pagi-pagi sekali, seharusnya aku telah bersiap untuk pergi ke tempat biasa. Akan tetapi, karena terlalu larut bergadang, membuatku bangun kesiangan. Bahkan, ibadah subuh pun terlewatkan. Kulihat jam di atas meja, waktu telah menunjukkan pukul setengah delapan pagi. Segera aku bangkit dari tempat tidur dan bergegas untuk membersihkan diri.

Setelah satu jam lamanya, aku segera keluar dari kamar dengan santai. Harapanku pagi ini dapat menikmati hari liburku dengan tenang. Sambil membaca buku, mendengar musik juga terpaan angin semilir yang menyentuh kulitku dengan tenang. Membayangkannya saja, sungguh menyenangkan. Apalagi kalau benar-benar terjadi?

Akan tetapi ... sesampainya di pintu ruang tengah, harapanku pupus dan hangus. Agaknya keadaan saat ini tak mengizinkanku untuk berbahagia, karena suara ricuh nan gaduh telah menyapa indera pendengaranku. Bahkan, rasa khawatir yang kupendam, pada akhirnya  hadir kembali tanpa aku suruh.

"Kamu pikir kita ini hidup nggak butuh makan?! Kalau seperti ini terus, anak-anak kamu bisa mati kelaparan, Mas!" Itu suara ibu.

"Terus, kamu mau nyalahin aku gitu?!" sahut ayah yang tersulut emosi.

"Kalau bukan kamu, terus siapa lagi, hah?! Aku? Aku aja kamu larang kerja! Kamu itu kepala keluarga, Mas, punya tanggung jawab untuk menafkahi keluarga. Harusnya kamu mikir, dong! Jangan males-malesan seperti ini! Percuma kamu pulang sampai pagi, tapi nggak menghasilkan apa-apa!" Sudah sangat kentara, bahwa ibu benar-benar marah. Aku yang hanya mendengarnya pun, serasa mati kutu.

Sampai akhirnya, aku mendengar sebuah tamparan kuat.

Plak!

Spontan aku mengintip dari balik gorden, dan ternyata pelakunya adalah ayah. Sungguh tega ayah melakukan itu pada ibu, sampai-sampai meninggalkan bekas merah di pipi mulus ibu. Dadaku terasa begitu sesak, entah sudah berapa banyak air mata ini ke luar dari tempatnya. Jujur, aku benar-benar tidak tahan dengan semua ini. Ingin rasanya aku maju—membela ibu—tetapi ... kakiku begitu sulit untuk melangkah.

"Kurang ajar kamu sama suami, ya! Bisa-bisanya kamu bilang seperti gitu?! Kamu pikir, aku ini nggak capek cari kerja? Aku capek, Li! Capek! Harusnya kamu bisa ngertiin keadaan aku sekarang, dong!" Ayah kembali membentak ibu. Emosinya sudah melebihi batas.

"Mau gimana lagi, Mas? Aku juga udah capek! Selama ini aku udah ngertiin kamu, tapi kamu nggak pernah ngertiin aku! Kamu tuh egois, Mas!" Merasa tak terima, ibu pun ikut membalas.

Sudah cukup! Aku lelah! Kulangkahkan kedua kaki ini untuk maju, tetapi sebuah tangan menahan pergerakanku. Spontan aku menoleh, dan ternyata dia adalah Laksa, kakakku.

"Jangan, Nja!" titahnya begitu tegas dengan sorot matanya yang cukup tajam.

"Kak, Nja nggak bakal biarin ibu dibentak ayah seperti itu. Kakak lihat sendiri, kan? Ayah nampar ibu, Kak, apa Kakak nggak kasihan?" ujarku dengan kondisi wajah yang telah banjir karena air mata.

Kak Laksa menatapku dalam-dalam. "Nja, dengerin Kakak, biarkan semua ini urusan Kakak, ya? Kamu lebih baik pergi sekarang. Jangan sampai ayah tahu kamu ada di sini. Okey?"

Belum juga sempat aku menjawab, tak sengaja ekor mataku melirik pergerakan ayah yang ingin menampar ibu lagi. Refleks, tubuhku bergerak untuk melindungi ibu, tanpa tahu bagaimana resiko yang akan aku dapatkan setelahnya.

Plak.

Untuk pertama kalinya sebuah tamparan mendarat di pipiku, dan itu kudapatkan dari ayahku sendiri. Tak tanggung-tanggung, tubuhku juga ikut tersungkur dan kepalaku sempat terbentur ujung meja.

"Lentera!" teriak kakakku dan ibu serentak.

Aku ... terdiam membisu. Sakit yang kurasakan begitu berlapis. Tubuhku ... seketika kehilangan nyawanya. Tatapanku kosong. Aku begitu terkejut. Saking terkejutnya, sampai-sampai aku tak sadar jika ibu telah memelukku dengan erat. Air matanya pun berhasil membasahi sebagian jilbabku.

"Ayah! Kenapa harus pakai kekerasan sih, Yah?! Ayah sadar nggak, yang Ayah tampar itu ibu sama Lentera, istri dan anak Ayah—"

Plak!

Kembali kusaksikan kekerasan itu, dan kali ini Kak Laksa yang menjadi korban. Bekas tamparan yang ayah lakukan, masih membekas di pipinya. Sudah kupastikan rasanya begitu perih.

"Kurang ajar kamu! Dasar anak nggak tahu diuntung! Begini cara kamu berhadapan dengan orang tua, iya?!" Ayah marah, bahkan sangat marah. Jika kutelisik, mungkin tubuh ayah telah menyatu dengan setan.

"Dan kamu!" Tiba-tiba saja ayah menunjukku. "Daripada kamu tidak berguna, lebih baik kamu cari kerja sana! Jadi pengemis atau apa gitu.  Bikin susah saja di rumah! Jangan bisanya ibu kamu marah-marah saja!" Ayah memerintahku.

"Ja-jadi ... pengemis?" Aku cukup terkejut dengan penuturannya. Bagaimana tidak? Tak pernah ada di pikiranku, bahwa ayah akan menjadikan diriku seorang pengemis.

"Gila kamu, Mas! Ini anak kamu! Masa kamu tega, sih, jadiin anak kamu ini pengemis? Nggak malu kamu? Sadar, Mas! Sadar! Kamu ini udah gila!" Ibuku berujar dengan sorot matanya yang begitu tajam.

"Kenapa emangnya? Salah? Terserah aku mau apain ini anak! Daripada dia nggak guna di rumah ini, dan cuma jadi sampah, lebih baik jadikan dia pengemis!"

"Ayah, stop!" Kakak berteriak, dan seketika kami semua di sini terdiam olehnya. "Nja, nggak bakal jadi pengemis, tapi Laksa yang bakal pergi ke Kalimantan untuk—"

"Nggak!" Aku membantah cepat dan segera berdiri, menatap kakakku dengan tajam. "Kak Laksa nggak boleh pergi! Kakak harus di sini, temenin Nja sama ibu. Lagian Kakak udah ada kerjaan, Kakak mau ngapain di Kalimantan?!"

"Bagus kalau kamu mau pergi! Cari uang banyak-banyak sana. Jangan pulang sebelum kamu mendapatkan uang yang banyak!" Ayah menyahut dengan entengnya. 

"Tapi, Laksa punya persyaratan." Kak Laksa menatap ayah dengan serius. "Jangan pernah siksa ibu sama Nja lagi!"

"Oke! Asal kamu bisa menghasilkan uang yang banyak dan pergi dari sini!"

"Nggak! Kakak nggak boleh pergi! Masih ada ca-cara lain, kok. Nja bisa bantu cari kerja, misal jadi tukang cuci piring atau bersih-bersih gitu. Bi-bisa, kok. Asal Kak Laksa jangan pergi!" Aku memberontak. Tak rela jika Kak Laksa akan pergi dari rumah ini.

Aku mendekat ke arah ibu, memohon kepadanya agar kakakku membatalkan keputusannya itu. "Bu, ayo larang Kak Laksa. Jangan biarin dia pergi, Bu!" Ibuku hanya diam, ia sudah tak bisa berkata-kata lagi.

Kak Laksa mendekat sambil berkata, "Bu, maafin Laksa, ya? Laksa cuma bisa bantu ini. Ibu sama Nja baik-baik di sini." Ia pamit, dan itu berhasil membuat aku dan ibuku menangis deras. Setelahnya, Kak Laksa pergi ke kamarnya, mengambil keperluannya kemudian beranjak pergi dari rumah.

"Nggak, Kak! Kakak nggak boleh pergi! Kalau Kakak pergi, siapa yang jagain Nja, Kak!" Aku terus mencegahnya. Kupeluk tubuhnya dengan erat, dengan harap ia akan menuruti permintaanku. Akan tetapi, ia melepaskan pelukanku lebih dulu, kemudian bergegas pergi meninggalkanku.

Aku terduduk sambil menangis deras. "Kakak jahat! Kakak nggak sayang sama Nja! Kakak tega ninggalin Nja dengan keadaan seperti ini!"  Aku berteriak sekuat yang aku bisa.

Aku menangis sejadi-jadinya. Aku masih tak rela dengan kepergiannya. Tempat sandaranku satu-satunya kini telah pergi meninggalkanku dengan penuh luka. Aku menganggap ... Kak Laksa egois!

--- Bersambung ---


Prabumulih, 11 Juli 2023

Lentera Senja✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang