---- Selamat Membaca ----
Sesampainya di rumah, aku merenung sejenak. Apa yang Kak Lintang ucapkan di kantin tadi, sebenarnya cukup mengusik pikiranku. Aku sadar, langkah yang kuambil ini salah. Terlalu memaksakan diri dan tidak memantaskan dengan kemampuan. Akan tetapi, misiku terlalu mendominasi, keadaan keluarga yang membuatku seperti ini.
Kalau aku mundur, aku gagal mencapai misiku. Ayah dan ibu pasti akan bertengkar lagi. Walaupun sudah terikat janji dengan Kak Laksa waktu itu, tetap saja ayah melanggar. Pada kenyataannya, mereka tetap saja bertengkar dan terus melakukan kekerasan.
"Kepergianmu nyatanya sia-sia, Kak," gumamku sambil menatap langit kamar.
Ngomong-ngomong tentang Kak Laksa, sampai detik ini aku tak membuka pesan WhatsApp-nya. Walaupun dia setiap hari mengirimkan pesan padaku, aku tetap tak peduli. Bahkan, notifikasinya aku bisukan.
Dari lubuk hati yang paling dalam, aku benar-benar rindu padanya. Aku rindu suaranya, aku rindu wajahnya yang selalu menjahiliku setiap waktu. Sayangnya, egoku terlalu tinggi sampai-sampai aku seolah menutup diri dengannya.
"Maafkan aku, Kak. Kepergianmu dari rumah ini, benar-benar membuatku luka."
Aku menghela napas. Besok, hari pertama aku masuk ke ekskul yang aku pilih. Membayangkannya saja sudah berhasil membuat kepalaku pusing, bagaimana ketika menjalaninya?
Kembali lagi, aku menguatkan tekadku, kembali pada misiku semula. Aku tak ingin semua yang telah aku rencanakan hancur seketika karena rasa takut dan khawatir. Toh, Kak Lintang juga sudah menyanggupi untuk membimbing diriku. Harusnya aku tak perlu takut lagi, kalaupun aku tidak bisa, kan, ada Kak Lintang. Aku yakin, dia pasti mau membimbingku dengan baik.
Tak peduli dengan tanggapan orang lain padaku. Tugasku sekarang fokus ke depan, kejar misiku dan capai tujuanku sesuai harapan. Aku yakin, aku pasti bisa!
"Nja, aku tahu kamu bisa! Tutup telinga kamu rapat-rapat ketika orang lain meremehkanmu. Semuanya pasti berjalan dengan lancar!" Aku menyemangati diri.
"Harus berhasil!"
🌸🌸🌸
Bel pulang sekolah telah berbunyi, para siswa dan siswi kelas 7D kini telah mempersiapkan dirinya untuk pulang ke rumahnya masing-masing. Berbeda dengan diriku yang akan melangkah ke ruangan lain, sampai-sampai Zoya menepuk bahuku dengan pelan.
"Lentera, kamu yakin sama keputusan kamu?" tanyanya seolah tak yakin.
"Yakin lah, masa nggak yakin!" jawabku dengan pede.
"Tapi, kan—"
"Aku cuma mau memperbaiki kekuranganku, Zoya. Aku tahu aku lemah di matematika, makanya aku masuk ekskul ini biar nilai matematikaku membaik," alibiku. Entah mau percaya atau tidak, aku sudah tidak peduli.
Terdengar helaan napas dari bibirnya. "Ya sudah, kalau begitu aku pulang duluan, ya. Nanti kalau kamu udah pinter, gantian aku yang nyontek sama kamu!"
"Oke, aman itu!" balasku dengan girang.
Setelahnya, aku pergi ke ruangan khusus ekskul olimpiade matematika. Awal-awal jantungku berdegup kencang karena gerogi. Aku tak pernah membayangkan sebelumnya, jika akan mengikuti ekskul ini—yang bukan sama sekali minat dan bakatku.
"Huh, bismillah."
Aku masuk sambil mengedarkan pandangan ke arah sekitar, niatku ingin mencari Kak Lintang. Jujur, aku takut jika tak ada lelaki itu. Aku merasa percaya diri, ya, karena Kak Lintang.
"Ra," sapa seseorang.
Aku berbalik dan menemukan sosok yang kucari. "Kakak! Kakak ke mana aja?!"
"Kenapa nunggu di sini? Ayo, masuk!"
Aku mengekorinya dari belakang. Banyak pasang mata yang menatapku dengan keanehan, tetapi cepat-cepat Kak Lintang menenangkanku.
"Nggak usah peduliin orang lain."
Akhirnya, Kak Lintang duduk bersama teman lelakinya yang tak kukenal namanya. Dan aku, duduk di seberangnya. Di sampingku masih ada bangku kosong, niatnya aku ingin mengajak Kak Lintang untuk duduk di sampingku. Akan tetapi, bisik-bisik di sebelah kananku agaknya lebih menarik untuk kudengar. Jika tidak salah, aku mendengar nama Lian di sana.
"Eh, tau nggak katanya Lian mau masuk ekskul ini juga!" ujar seorang perempuan dengan rambut yang dikuncir satu.
"Beneran? Yah, kita kalah saing dong kalau gitu," balas temannya dengan wajah memelas.
"Kalah saing gimana? Emang kenapa sama Lian?" Tiba-tiba saja, seorang lelaki berambut kribo datang menghampiri kedua perempuan itu.
"Emang kamu nggak tau? Lian itu ketika SD banyak banget prestasinya. Kalau lomba pasti menang terus, apalagi lomba olimpiade matematika ini!" jawab salah satu dari mereka.
"Enak banget, ya, jadi dia. Udah ganteng, pinter lagi!"
Aku yang mendengar percakapan mereka, sebenarnya sudah berkecil hati. Kalau kupantau, kelas ini berisi orang-orang yang ambis belajar. Memiliki tujuan yang jelas dan tahu apa yang akan mereka capai. Sangat berbeda dengan aku yang ... ah sudahlah.
"Nja, kamu pasti bisa, kok!" Aku masih menguatkan diri dengan posisi menunduk ragu.
"Ra?" Kak Lintang memanggilku.
Aku menoleh. "Iya?"
"Ada apa?"
"Nggak, kok. Nggak ada apa-apa. Oh ya Kak Lintang mau nggak—"
"Aku boleh duduk di sini?"
Ucapanku terpotong ketika tiba-tiba seorang lelaki datang dan berdiri di sampingku. Niatku yang ingin mengajak Kak Lintang untuk duduk sebangku denganku, malah urung karena kehadirannya. Bahkan, tanpa persetujuanku pun ia sudah duduk di sebelahku dengan tenang.
Kulihat sekitar, beberapa dari mereka sibuk memerhatikan diriku dan lelaki di sampingku ini. Sebenarnya siapa dia? Mengapa aku sekarang menjadi pusat perhatian di sini?
"Hai, nama kamu siapa?" sapanya lebih dulu.
Aku yang tadinya sempat melamun lantas menoleh. "Aku? A-aku Lentera," ujarku sambil tersenyum tipis.
"Aku Lian, salam kenal, ya. Semoga kita bisa berteman dengan baik."
--- Bersambung ---
Hai, aku kembali! Maaf, kali ini aku nulisnya pendek huhuhu. Semoga bisa terobati, deh. Sampai jumpa tanggal 11 bulan depan👋🏻
Prabumulih, 25 September 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
Lentera Senja✓
Teen FictionKedua orang tuanya hampir saja bercerai karena ekonomi, Lentera sendiri menjadi korban atas perkelahian yang mereka ciptakan. Bahkan, tameng satu-satunya yang ia miliki, berani meninggalkan dirinya dengan penuh luka. Sampai terlintas di benaknya un...