Satria, Seperti Namanya

17 4 0
                                    

"Jangan merasa takut dalam melakukan segala hal yang menunjukkan kebaikan. Takutlah jika apa yang kamu lakukan bisa merugikan orang lain."

***

"Makasih, Bu." Kataku seraya mengambil rujak yang sudah selesai dibuatkan.

"Kayaknya lagi ngidam ya, Neng? Malam banget ke sininya, untung saya belum pulang," katanya seraya memberikan uang kembalian. Kali ini aku tidak ingin kak Satria yang membayar belanjaanku walau hanya rujak.

"Permisi, Bu," pamitku.

Aku menghampiri kak Satria yang duduk di pembatas jalan sembari memainkan ponselnya.

"Udah beres, yuk saya antar pulang," pintanya.

"Manda pulang sendiri aja, Kak. Lagi pula Deket kok dari sini," tolakku. Merasa tidak enak karena selalu merepotkan orang lain.

"Ya sudah, mana nomor hape kamu?" tanyanya seraya memberikan ponselnya padaku.

"Em, anu, Kak. Hapenya aku jual setelah pulang dari rumah Mami, karena banyak kebutuhan yang aku perlukan."

Alat komunikasi satu-satunya aku jual karena memang sangat mendesak. Saat menghubungi Rani pun aku meminjam ponsel pemilik kosku. Rasanya aku memang benar-benar dalam keadaan yang sangat sulit, baik ekonomi mau pun mental.

Kulihat Kak Satria menghela napasnya kasar. Aku yakin dia pun merasa jengah dengan apa yang terjadi padaku saat ini.

"Ya sudah, ikut saya!" pintanya.

Belum mengiyakan, kak Satria sudah menarik tanganku dan menariknya ke dalam mobil. Entah kemana dia akan membawaku. Rasa takut kembali menyelimutiku. Sejak kejadian itu, aku menjadi mudah panik dan merasa ketakutan apalagi dalam keadaan gelap.

Aku menautkan jari-jari tanganku untuk menenangkan jantungku yang berdegup kencang. Bukan karena jatuh cinta, tapi kepanikan yang hampir setiap hari menyergapku.

"Jangan takut, saya tidak akan apa-apakan kamu," katanya seolah peka apa yang terjadi padaku.

Apa ini perasaanku saja? Kak Satria sangat tahu segalanya tentang apa yang terjadi padaku saat ini. Bahkan sesuai namanya, dia adalah Ksatria untukku. Penolong juga pelindung untukku. Entahlah apa yang akan terjadi ke depannya. Aku tidak mungkin merepotkan dia terus menerus.

Aku diam dalam lamunan. Memikirkan bagaimana caranya agar hidupku merasa lebih tenang setiap harinya tanpa harus memikirkan bayi dalam perutku. Tapi, jika aku gegabah maka pasti terjadi sesuatu pada bayiku. 'Maafkan Bunda, Nak', batinku.

Kami berhenti di sebuah mal yang cukup besar. Aku turun dari mobil dan mengikuti langkah kaki kak Satria. Ia menuju toko penjualan ponsel terbaru. Aku hanya memperhatikannya dari jauh. Duduk dan melihat sekitar, karena rasanya mudah sekali lelah. Setelah menunggu hampir 15 menit, Kak Satria kembali dan membawa sebuah paper bag kecil.

"Ini buat kamu, jangan menolak!" katanya seraya memberikan paper bag itu. Isinya adalah sebuah ponsel mahal harga puluhan juta.

"T-tapi, Kak. Ini kan hape mahal, apa Kakak punya uangnya? Manda ga berani ambil, Kak." Kataku tidak enak seraya menyodorkan kembali paper bag itu.

"Enggak apa-apa, saya beli ini buat kamu. Di pake, agar saya mudah menghubungi kamu. Di sana sudah ada kartu dan nomor telepon saya, kamu bisa hubungi saya kapan pun," ucapnya dengan nada dingin.

"T-tapi, Kak. Manda ga enak harus merepotkan Kakak terus. Apalagi kita baru kenal, Manda gak berani," aku menunduk malu. Merasa tidak nyaman dengan yang dilakukan kak Satria.

"Mulai sekarang saya akan menjaga kamu kapan pun di mana pun!" tegasnya.

Aku hanya diam mematung. Melihat manik mata kak Satria yang penuh dengan kejujuran. Apa aku tega meragukan kebaikannya?

aku harus apa? Bagaimana jika dia hanya memanfaatkanku? Aku takut sekali.' batinku.
***

"Sekali lagi, Makasih, Kak."

Dia hanya mengangguk, lalu pergi.

Malam ini terasa hangat bagiku. Sepanjang perjalanan pulang dia bertanya alasan kenapa aku membeli rujak, dan aku menceritakannya tanpa ragu lagi. Aku juga tidak percaya jika kak Satria bisa menceritakan kehidupannya. Masa kuliahnya sekarang adalah atas dasar keinginan dirinya sendiri. Dia tahu semuanya tentangku dalam sekali lihat ternyata dia mengambil kuliah jurusan psikologi. Aku tidak tahu pasti ilmu itu, tapi yang kutahu psikologi adalah ilmu yang memahami tentang psikis seseorang.

Aku bersyukur bertemu dengan pria sepertinya. Entah mengapa aku merasa bahwa dia sangat baik dan tidak akan melakukan apa pun padaku, apalagi dengan keadaanku yang hamil muda seperti ini.

Jika tidak ada dia, mungkin sekarang aku sudah menjadi perempuan malam. Tapi kak Satria menyelamatkanku. Penampilannya keren, selalu memakai kaos dan celana pendek. Tapi, malam itu dia datang dengan pakaian berjas seolah pulang dari kantor. Aku berpikir bahwa dia orang terpandang dan bukan orang sembarangan.

"Ya ampun, Manda. Kenapa harus mikirin Kak Satria sih!" gumamku.

Aku menggeleng cepat, "kamu gak boleh mikirin dia berlebihan. Ikuti saja alur hidup sekarang."

Aku masuk ke dapur, membuka nasi goreng setelahnya aku memakan rujak walau sekarang sudah hampir jam 12 malam. Siang dan malam, nafsu makanku bertambah. Apa mungkin ini efek bayi yang ada dalam kandunganku?

"Nak, maafin Bunda, ya, kamu harus bantu Bunda supaya kuat menghadapi cobaan ini," ucapku seraya mengusap perut yang masih rata.

Meski sempat hampir frustasi, aku merasa bahagia saat ini karena aku tidak sendirian. Akan ada calon anak di tempat ini.

"Semoga Bunda kuat menjaga kamu sampai kamu lahir ke dunia ya, Sayang."

Aku melihat paper bag yang berisi ponsel pemberian dari kak Satria. Aku membukanya dan melihat. Ada notifikasi pesan dari seseorang.

"Kak Satria?"

[Jangan pernah merasa putus asa, jangan merasa sendiri, ada masalah apa pun, ceritakan pada saya.]

Itulah pesan singkat yang masuk. Dia sudah men-setting semua pengaturan di ponsel ini bahkan dia membuatkan ku WhatsApp agar memudahkan komunikasi.

Andai aku tidak seperti saat ini, mungkin aku akan mencintai kak Satria walau usia kami berbeda jauh. Tapi, aku harus tahu diri. Bahwa aku hanyalah perempuan yang punya banyak beban hidup dan aku harus menyelesaikannya sendirian. Berharap aku bisa menjaga diri dan calon anakku sampai aku melahirkan. Dan aku sangat berharap tidak akan ada orang yang tahu akan kehamilanku.

***

Diary Amanda [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang