Sisi Lain Diana

33 4 0
                                    

Setitik cahaya menerangi alam dan menunjukkan keindahannya. Begitu terang dan membuat banyak orang tersenyum senang, mereka bisa melakukan kegiatan mereka seperti biasa. Burung-burung beterbangan ke sana- kemari untuk menghiasi langit biru yang indah. Sangat sejuk. Udara segar begitu menyapa hidung dan memberikan kenyamanan. Kata orang, udara pagi begitu menyehatkan, karena masih segar dan belum bercampur dengan polusi dijalanan.

Tempat yang sempit, akan menjadi saksi perjalanan hidup seorang gadis yang begitu malang, ditinggal Ibu, Ayah yang tidak tahu di mana, juga dilecehkan oleh sepupu sendiri. Malang nian nasibnya, siapa lagi jika bukan aku?

Memulai hari yang berbeda, memiliki kepribadian yang menurut teman-teman juga sangat berbeda. Entah sejak kapan aku berubah menjadi pendiam dan cuek seperti ini. Ah, tentu saja sejak kejadian itu.

Aku sudah tidak peduli apa pun lagi, yang jelas aku harus mendapatkan pekerjaan. Memang tak mudah untuk melupakan sesuatu yang membuat kita trauma akan sesuatu. Saat ini, fokusku hanya bagaimana caranya agar bisa hidup dengan baik.

"Eh, Neng Manda, mau berangkat sekolah?" sapa Tante Lastri.

"Iya, Tan. Kebetulan tempatnya dekat dari sekolah, jadi berangkat agak siang aja," jawabku ramah.

Kulihat kembali dia membawa sebuah kotak makan. "Itu apa, Tan?"

"Oh, iya. Ini bekal buat Neng Manda ke sekolah, di makan, ya." Ia memberikan satu kotak nasi padaku.

Aku menerimanya dengan tidak enak. "Makasih banyak Tante, maaf Manda selalu merepotkan."

"Ah, sudah. Ambil saja. Anggap saja Tante ini keluarga kamu," ucapnya lembut.

Aku terharu. Baru kali ini aku bertemu dengan orang tua seperti Tante Lastri yang sangat baik walau kami baru kenal kemarin.

"Baiklah, makasih sekali lagi Tante, sekalian Manda pamit mau ke sekolah.”

Setelahnya. Aku segera berangkat ke sekolah dengan jalan kaki. Itung-itung olahraga dan menyehatkan badan, serta melupakan kenyataan yang menyedihkan atas hidupku.

***

"Gimana? Lo mau kan? Bayarannya lumayan loh!"

Diana berusaha merayuku. Jujur saja aku ragu dengan pekerjaan yang akan kudapatkan saat ini. Tidak ada cara lain yang bisa kulakukan. Apa aku harus bekerja seperti ini?

"Jangan kebanyakan mikir! Kalau Lo gak mau juga gak papa, gue gak maksa."

"Ya udah Na, aku mau. Tapi tolong rahasiakan ini dari Rani ya, aku gak mau dia tahu," pintaku. Jika Rani tahu soal pekerjaan ini, pasti Rani akan membenci bahkan menjauhiku dan tak akan menganggapku sebagai sahabatnya lagi.

"Tenang aja, privasi lo aman kerja di sini, yuk kita berangkat ke rumahnya sekarang."

Aku mengikuti langkah Diana. Ia membawaku dengan sebuah mobil mewah yang entah dapat dari mana ia mendapatkan ini. Pasti dari pekerjaannya ini. Sepanjang jalan Diana banyak bercerita padaku. Karena ekonomi dia harus rela bekerja seperti ini walau hanya siang. Karena jika malam orang tuanya tentu saja curiga.

Diana orang yang baik, pendiam, juga ramah. Tidak seperti yang kubayangkan sebelumnya, penuh ambisi dan selalu bersikap sombong dari apa yang dia miliki saat ini.

Sisi lain Diana sangat berbeda. Orang yang memiliki keceriaan lebih, sikap yang tempramental, bisa saja dia menyimpan banyak luka yang sulit untuk di sembuhkan. Alasan ekonomi adalah yang diberikan oleh Diana padaku, selebihnya aku tidak tahu apa yang terjadi pada hidupnya. Setidaknya, aku bisa memercayainya untuk sementara waktu.

Seperti yang kulihat setelah obrolan tadi, Diana banyak melamun tapi aku tak berani bertanya. Setiap orang punya privasi yang harus dijaga, apalagi aku bukan teman dekatnya. Hanya sebatas teman yang membantu mencari pekerjaan untukku. Selebihnya, aku tidak mau berteman dengan banyak orang.

Mobil membawa kami ke sebuah kompleks perumahan elit. Rumah mewah berjejer rapi dengan cat yang bervariasi. Ini kali pertama aku ada di daerah ini. Selama ini aku hanya tinggal di rumah Bibi yang sederhana.

"Yuk turun."

Mobil berhenti tepat di sebuah rumah mewah bercat cream kombinasi putih. Terlihat sangat elegan bak istana dalam dongeng. Diana mengajakku ke dalam dan bertemu seseorang. Wanita paruh baya menyambut kami dengan hangat.

"Hallo Diana Sayang, gimana kabar kamu? Mami kangen banget lho sama kamu."

Aku hanya memperhatikan interaksi mereka sembari melihat lihat sekeliling rumah. Banyak sekali pintu kamar yang di lantai bawah, juga perempuan-perempuan berpakaian seksi di sini. Sebelum ke sini, Diana memintaku untuk berganti pakaian agar tidak ada yang tahu bahwa mereka masih sekolah.

"Ini siapa Sayang? Pekerja baru kah?" Wanita paruh baya itu menghampiriku.

"Hallo Tante," aku menyapa kaku.

"Jangan panggil Tante, panggil Mami saja, sama seperti Diana."

Aku mengangguk. "I-iya Mami."

"Apa kamu tahu tujuan kamu datang ke sini?"

"Iya Mami, Diana sudah menjelaskan soal pekerjaan ini, dan saya mau," kataku dengan nada gemetar.

"Apa yang membuat kamu ingin bekerja seperti ini?"

Aku tidak tahu harus menjawab apa. Mungkinkah aku harus menjelaskan bahwa aku dilecehkan oleh saudaraku sendiri? Ya Tuhan, bagaimana ini?

"Manda, jawab aja, Mami baik kok, dia juga bisa jaga rahasia kita," Diana memberi keyakinan.

"Iya, kamu tenang saja, Mami akan menjaga rahasia kamu, sekecil apa pun itu. Yang datang ke sini tidak serta merta datang, pasti Mami akan tanya alasannya dan Mami tidak menerima yang masih perawan," jelasnya.

Aku tercengang. Entahlah pekerjaan ini baik atau tidak. Tapi kelihatannya Mami sangat menjaga mereka yang masih gadis alias perawan.

"Em, aku diperkosa sama saudara sepupu aku, Mami," jawabku to the point.

Kulihat wajah Mami dan Diana tampak syok. Hanya mereka yang tahu masalahku saat ini. Sebelumnya aku tidak memberitahukan hal ini pada Diana, tapi akhirnya aku harus menceritakannya. Diana melangkah ke arahku, lalu memelukku dan menangis. Aku keheranan.

"Na, ada apa?"

"Lo sama kayak gue, Man. Gue juga dilecehkan sama saudara gue, makanya gue bisa bekerja kayak gini," jelasnya. Badanku lemas. Ternyata memang benar. Diana memiliki luka yang cukup dalam sama sepertiku.

"S-sejak kapan, Na?"

Diana melepas pelukanku. "Satu tahun yang lalu, Man. Gue gak bisa terima itu dan akhirnya gue frustasi. Akhirnya gue ke sini dan kerja di sini, walau gue tahu hal ini gak bener."

"Na, aku minta maaf. Selama ini aku berpikir buruk tentang kamu." Ungkapku merasa bersalah.

"Nggak papa Man, gue maklumi itu, karena itulah sikap emosional gue."

Diana kembali memelukku. Ternyata dia memiliki hati yang lembut. Memang tidak ada cara lain untuk saat ini. Aku harus menerima pekerjaan ini agar aku bisa mengumpulkan uang untuk kuliahku nanti. Meski dengan cara yang salah.

***

Diary Amanda [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang