Tatapan Aneh Bibi

15 3 0
                                    

"Kita tidak dapat memaksa seseorang untuk mengatakan sesuatu yang memang belum tahu kebenarannya agar tidak salah paham."

***

Pemandangan sore hari di kota begitu indah. Lalu lalang kendaraan begitu ramai memadati jalanan. Matahari dari ujung barat menyapa begitu indah. Senja−orang menyebutnya seperti itu. Memang sangat indah, warna jingga yang terang menciptakan kedamaian hati serta kesejukan saat memandangnya. Hal yang sangat disukai banyak orang.

Alam adalah salah satu anugerah dari Tuhan yang harus dijaga dan dirawat kelestariannya. Namun, banyak sekali orang yang malah membiarkan alam tetap kotor dan banyak polusi. Kendaraan yang berlalu-lalang tak heran jika mengeluarkan asap hitam yang bisa membuat siapa pun terbatuk-batuk.

Setelah dari rumah sakit, aku dan Rani menunggu angkot di halte bus. Karena, mobil yang kami pakai sebelum ke rumah sakit sudah pulang lebih dulu bersama sopir. Banyak sekali yang kami ceritakan dan masa-masa indah saat aku melahirkan nanti. Bahkan, Rani sudah berpikir jauh tentang kehamilanku ini. Perlu memikirkan bagaimana caranya agar tidak kelihatan saat perutku membesar.

"Man, gue pengen deh ngenalin pacar gue ke lo," ucap Rani tersipu.

Baru kali ini Rani terbuka soal pacarnya padaku. "Serius? Sejak kapan kamu pacaran Ran?"

"Baru satu bulanan gitu, dia itu manis, baik, dan usianya lumayan lebih dewasa loh, sekitar 20 tahunan lebih," papar Rani.

"Lebih dewasa dari kamu dong Ran?"

"Iya, sabar banget dengan sikap gue yang kek preman, haha," tawa Rani diakhir kalimatnya.

Aku hanya menggelengkan kepala. Memang unik temanku yang satu ini. Kupikir dia tidak akan berpacaran karena dia sendiri perempuan yang sangat jarang sekali dekat dengan laki-laki. Bahkan bila ada lelaki yang mendekatinya, lelaki itu yang mundur duluan melihat tampang Rani yang tomboy.

"Ya ampun, Ran. Sumpah, beruntung banget deh kalau dia tahu aslinya kamu seperti apa. Pasti kagum banget sama kamu."
"Iya, Man. Tapi gue mau liat dulu, seberapa tulus dia melihat kelakuanku gue yang super bar-bar ini."

Aku hanya tertawa tipis mendengarnya. Mengetahui Rani punya pacar, entah kenapa aku teringat pada kak Satria. Udah hampir seminggu dia tidak menghubungiku. Apa mungkin dia sibuk atau masi memikirkan hal yang waktu itu?
Ah, apa yang kupikirkan? Toh dia bukan siapa-siapa.

Hampir lima belas menit menunggu. Akhirnya angkot yang kami tunggu telah tiba. Kami bergegas masuk dan menuju pulang untuk istirahat. Rasanya sudah lelah seharian ini, tapi kulihat Rani biasa saja seolah tanpa ada rasa lelah sedikit pun. Apa karena memang perubahanku?

***

Sekolah yang tampak sepi, kini sudah ramai oleh beberapa wali murid yang ingin menghadiri acara pentas seni setelah semester dan menantikan penampilan dari  anak dan saudara mereka. Semua acara telah dipersiapkan dengan matang oleh para OSIS dan juga guru-guru yang bertugas untuk mempersiapkan acara sebaik mungkin.

Panggung yang megah, dekorasi yang indah serta cuaca yang sejuk. Seolah mendukung acara ini agar tidak kepanasan dan kehujanan. Para tamu sudah berdatangan silih berganti. Melihat para orang tua yang datang bersama anak-anaknya. Senyum bahagia mereka terpancar di sana. Ada pula yang merasa sedih, karena ada beberapa dari keluarga mereka yang tidak datang. Meskipun bukan sekolah elit, di sini selalu mengusahan dan memanfaatkan uang sekolah agar lebih banyak peminatnya dengan mengadakan acara seperti ini.
Satu per satu, para tamu menuliskan nama mereka di buku penerimaan tamu. Kemudian diberikan Snack yang berisi makanan ringan yang cocok untuk ngemil di sepanjang acara.

Aku dan dua teman lainnya ditugaskan untuk menjadi penerima tamu. Jumlah siswa di sini lumayan banyak bahkan hampir 500 orang dengan keseluruhan. Sebelumnya kami juga menerima beberapa murid pindahan, tercatat ada seratus orang yang mendaftar dan itu menjadi kebanggan bagi sekolah kami. Kami meminta para pendaftar pindahan untuk mempersiapkan persyaratan pindah sekolah pada umumnya.

Saat aku memegang ponsel, suara yang tak asing mengejutkanku. Suara yang selalu ketus dan membuatku merasa bersalah. Namun, itu sudah menjadi karakternya.

"B-bibi?"

"Iya, ini Bibi."

Aku beranjak lalu memeluknya dengan erat. Tangisku pecah seketika. Entah kenapa rasanya aku merindukan Bibi, tapi aku tidak bisa kembali ke sana dalam keadaanku yang sekarang. Bibi pasti akan mencurigaiku.

"Maafkan Bibi, ya, Nak. Selama ini Bibi kurang baik sama kamu, Bibi kurang memperhatikan kamu selama kamu tinggal di rumah Bibi," ucapnya spontan.

Aku melepas pelukan Bibi dan menatapnya heran. "Ada apa, Bi?"

"Nggak apa-apa. Semua baik-baik saja, kamu sehat? Sekarang kamu lumayan berisi ya?" kata Bibi. Membuatku sedikit takut.

"Iya, Bi. Manda baik-baik aja kok,”

Bibi tersenyum tipis. Tatapan itu aku tak bisa mengartikannya. Setelahnya, Bibi masuk ke tenda untuk melihat acara karena akan segera di mulai. Perasaanku mulai tidak enak. Entah apa yang akan terjadi setelah ini. Aku hanya berdoa semoga semuanya baik-baik saja.

Aku pun turut masuk untuk mengikuti acara selanjutnya karena sepertinya tamu sudah datang semua. Terlihat dari tenda yang sudah full terisi.

***

Diary Amanda [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang