Di Balik Sikap yang Tulus

8 2 0
                                    

Sinar matahari begitu cerah kala gorden terbuka. Bayangan sosok laki-laki tampak terlihat sangat jelas. Seorang laki-laki tengah duduk tegap sembari membaca sebuah buku dan menyantap kopi susu pagi hari. Kesan lelaki cuek dan dingin sesuai dengan tampangnya, wajahnya begitu sangat tegas.

Seulas senyum terbentuk dari sudut bibirku. Entahlah bagaimana rupaku sekarang. Samar kumelihatnya menghampiriku, sampai akhirnya aku memutuskan untuk bangun karena khawatir akan tidur lagi. Rasanya begitu sangat lelah dan badan terasa begitu remuk. 

"Udah bangun?" tanya Kak Satria.

"Iya, Kak. Maaf Manda harus menginap di sini," ucapku dengan suara bindeng. Ternyata aku sudah terkena flu.

"Semalam badan kamu panas, makanya saya biarkan kamu di sini, biar Mama ngerawat kamu," ucapnya tulus.

Aku terharu. Ternyata, keluarganya sama baiknya dengan kak Satria.

"Oh, ya. Ini pakaian yang saya beli semalam. Semoga pas di badanmu," sambungnya.

Aku mengambil pakaian itu. Sweeter berwarna purple begitu indah kulihat. Bahannya halus, juga celana longgar tak kalah cantik. Aku tersenyum dan menerimanya. Karena sejak semalam aku tidak ganti baju. Mungkin ini yang menyebabkan aku terkena demam dan flu.

"Saya tunggu di bawah," lanjutnya lagi.

Aku hanya mengangguk. Menatapnya hingga ia menghilang dari pandangan Melihatnya seperti ini, aku berkhayal bahwa kak Satria adalah suamiku. Haha, pikiran macam apa itu. Bagaimanapun, aku tidak pantas untuknya. Meski aku tahu sedikit tentangnya, kurasa ada penyebabnya. Apa pun itu, bukan hakku untuk mengorek kehidupannya.
Selesai mandi dan berganti pakaian. Aku bergegas turun dengan penampilan yang berbeda, lebih segar.

Satu per satu, anak tangga aku turuni dengan perasaan gugup. Kulihat mamanya kak Satria duduk anteng dengan seorang gadis belia yang sangat cantik. Gadis itu, yang pernah aku lihat saat aku pergi ke pasar. Ternyata benar, dia anak Ayah alias adikku. Mungkinkah aku memanggilnya begitu? Rasanya tidak mungkin.
Badanku semakin gemetar tatkala melihat Ayah menghampiri mereka. Berbahagia seolah tidak ada yang bisa menghancurkan kebersamaan mereka. Keharmonisan ini, begitu sangat aku rindukan setelah berpisah dengan Ibu.

Hingga tinggal satu tangga terakhir. Aku terpeleset hingga kakiku terkilir.

"Aw!"

"Amanda, kamu tidak apa-apa sayang?" panik Tante Hanna setelah menghampiriku.

Aku menggeleng lemas,  "Enggak apa-apa, Tante. Cuma terkilir."

"Ayo, kak. Silvana bantu," ucap gadis itu. Ternyata ia bernama Silvana.

Kulihat sangat dekat, dia begitu cantik dan anggun. Suaranya lembut dan nyaman sekali untuk didengar.

Aku bangkit dibantu oleh Silvana dan Tante Hanna. Sementara Ayah? Kulihat dia sudah tidak ada di ruang keluarga.

"Tante ambilkan air hangat dulu, ya. Kamu di sini sama Silvana."

"Enggak usah Tante," tolak ku cepat. "Manda nggak apa-apa, Insyaallah Manda baik-baik aja."

"Benar?" Tante Hanna memastikan.
"Iya."


"Ya sudah, sebelum kak Satria datang, kamu tetap di sini sama Silvana. Kebetulan dia libur sekolah," pesan Tante Hanna.

Aku menyetujuinya, "Makasih, Tante."
Tante Hanna bergegas pergi. Karena aku rasa beliau juga seorang wanita karier. Setelahnya, aku berbincang santai bersama Silvana. Anak bungsu dari Ayah dan Tante Hanna.

Mendengar ia menceritakan kehidupan keluarganya. Tentu saja aku sangat iri, karena aku tidak pernah merasakan hal ini sejak kecil. Ayah selalu bekerja hingga larut, memperhatikanku di saat aku libur saja. Selebihnya, Ayah selalu pulang saat aku sudah terlelap.

Sementara Silvana, kulihat dia begitu bahagia dengan kehidupannya. Memiliki keluarga yang lengkap dan harmonis. Meskipun aku tidak mendapatkannya, semoga kelak keluargaku yang harmonis.
Lama berbincang, terdengar suara mobil terparkir di halaman rumah. Silvana begitu girang saat tahu siapa yang datang.

"Abaaaaaaang! Akhirnya kita bisa berduaan!" serunya. Ia melupakanku.

"Kata siapa berdua? Kak Manda gak di ajak?"

"Eh, iya ya! Haha. Ya udah deh, kita bertiga!"

Aku tersenyum senang melihat Silvana begitu akrab dengan kak Satria. Seperti sepasang kakak-beradik pada umumnya.

"Itu apa, Kak?" tanyaku saat melihat kak Satria membawa sesuatu.

"Oh, ini bubur ayam. Buat sarapan kita, yuk," ajaknya.

"Bubur ayam?" tanyaku bingung.

"Kak Satria suka banget sama bubur ayam. Tiap pagi harus ada. Terus Silvana juga ketagihan deh!" jelas Silvana.

Aku mengangguk dan ber-oh ria saja. Aku mulai tahu kesukaannya.

Setelah itu, kami mulai sarapan. Tidak ada obrolan selama kami menyantap bubur ayam yang dibawa kak Satria. Mungkin ini salah satu adab yang mereka jaga. Tidak boleh berbicara saat makan.

Masuk ke dalam keluarga ini tanpa sengaja sungguh membuatku canggung. Siapa pun pasti akan bingung dan harus melakukan apa saat berada di lingkungan yang asing seperti ini. Namun, meskipun terasa asing, kulihat keluarga Kak Satria sangat baik-baik saja. Seperti tidak ada masalah yang terlihat.

Selesai makan, aku memutuskan untuk berpamitan dengan Kak Satria dan Silvana. Rasanya sudah tidak nyaman berada di rumah ini. Kak Satria tentu tidak akan membiarkanku pulang sendiri dan memilih mengantarku.

Samar kudengar, Silvana tengah berbincang dengan kak Satria di belakangku.

"Jangan pernah bawa kak Manda lagi ke sini, Silvana nggak mau liat Kak Satria deket sama perempuan kayak dia!"

"Jangan pernah halangi Abang untuk dekat dengan siapa pun, bukan hak kamu!"

“Tapi ayah tidak suka dengan perempuan itu. Ayah bilang dia bukan perempuan baik-baik!”

“Bagaimana kamu ayah tahu?”

“Nggak tahu lah. Abang tanya lagi aja sama ayah.”

Aku senang, Kak Satria membelaku. Namun, aku sedih saat melihat sesuatu yang tidak nyata dari sebuah ketulusan. Bahkan lelaki yang kusebut Ayah itu ternyata dia tidak menyukaiku dan malah menjelekkan di hadapan Silvana, aku yakin Ayah mengenalku.

Tertunduk dan menahan air mata, hanya itu yang bisa kulakukan. Menautkan jemariku menahan keringat dingin yang mulai keluar. Entah kenapa, seringkali aku merasakan panik saat takut akan sesuatu. Ulu hati pun terasa begitu nyeri dan sesak.

Lemas.

Bruk!

Aku tersungkur ke lantai dengan keadaan lemas. Seluruh tubuhku bergetar hebat, tangisku mulai tak bisa aku bendung lagi.

"Manda!" Kak Satria menghampiri dan menatap lekat wajahku.

"Kamu pucat sekali, kita ke rumah sakit sekarang," ajaknya.

"E-enggak." Aku menoleh ke arah Silvana. Raut wajahnya menunjukkan sedikit panik dan heran.

Aku pun memalingkan wajah dan meminta kak Satria untuk segera mengantarku pulang. Tidak semua orang yang kita anggap tulus, itu benar-benar tulus dari hatinya. Melainkan hanya ingin terlihat baik.

***


Diary Amanda [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang