Bertemu Bibi

17 3 0
                                    


"Kebohongan hanya akan menghancurkan dirimu. Maka dari itu, berusahalah untuk jujur walau sangat pahit."

***

"Baik anak-anak. Sekian pelajaran hari ini. Jangan lupa ya, minggu depan kita sudah masuk ujian semester satu. Persiapkan diri kalian untuk mengikuti ujian dan acara pentas seni nanti."

"Baik, Bu!"

Dengan serentak kami menjawab apa yang dikatakan oleh guru kelas. Sebentar lagi, kami akan meninggalkan kelas XII. Rasanya sangat terlalu cepat. Begitu pula perubahanku yang sekarang.
Banyak yang mempertanyaka dengan penampilanku yang memakai pakaian lebih longgar dari biasanya. Bahkan ada beberapa teman yang mencurigaiku, semakin hari aku malam semakin takut, apalagi usia kandunganku memasuki empat bulan. Aku harap masih bisa bertahan dengan keadaan ini, meski orang-orang menatapku curiga.

Banyak sekali orang-orang yang frustasi jika diberikan ujian hidup yang sangat berat, bahkan sangat disayangkan jika ada yang bun*uh diri saking tidak sanggupnya. Padahal, itu adalah fase yang harus kita hadapi. Layaknya sekolah, sebelum lulus kita harus menghadapi ujian terlebih dahulu. Tentu dengan nilai yang baik. Dan mendapatkan nilai yang baik itu kita harus belajar dengan giat, dan fokus. Begitu pula dengan memperbaiki diri.
Jangan mudah goyah hanya karena mendengar dan mendapat cacian dari orang-orang yang tidak pernah tahu kehidupan kita seperti apa dan bagaimana.

Selesai pelajaran terakhir. Aku dan Rani memutuskan untuk pergi ke rumah sakit. Sesuai dengan apa yang dikatakan dokter Nadia minggu lalu. Aku harus bisa USG untuk memastikan kondisi janin yang ada dalam perut. Juga untuk kontrol kembali karena obat sudah habis. 

"Naik mobil gue aja, Man. Biar cepet!" ajak Rani.

Aku hanya mengangguk. Menyetujui apa yang dikatakan Rani.

Sepanjang jalan, aku hanya melamun dan memikirkan bagaiman nasib anak ini. Bagaimana jika dia tahu lahir tanpa seorang Ayah. Lalu, bagiamana jika Bibi mengetahui semuanya? Teringat lagi, bagaimana kabar Bibi sekarang? Rasanya sudah lama tidak melihat beliau. Ucapan-ucapannya yang terkadang menusuk, nyatanya membuat hidupku jauh lebih berarti.

Aku mulai banyak mempelajari tentang hukum-hukum anak yang lahir di luar nikah. Ternyata sangat berat. Semoga yang lahir adalah laki-laki. Meskipun masih tak terlihat, tetap harus dipikirkan. Sulit rasanya dihadapkan dengan situasi seperti ini.

"Udah sampe, Man. Yuk turun!"
Lagi dan lagi, aku hanya menurut. Dan ternyata aku tak menyadari apa pun sepanjang perjalanan. Hanya melamun dan melamun saja. Rasanya memang hampa dan tidak tahu harus bagaimana.
Saat masuk ke lobi rumah sakit. Dari jauh aku melihat Bibi sedang berada di resepsionis. Siapa yang sakit?

"Bibi?" Aku menyapanya sebelum masuk ke ruangan dokter Nadia.

"M-manda? Ya ampun, Nak. Bibi kangen banget sama kamu, gimana keadaan kamu? Baik-baik aja kan? Kamu banyak berubah, syukurlah." Cerocos Bibi.

"Iya Manda baik, Bi. Gimana keadaan Paman sama Nisya? Mereka sehat?" tanyaku tanpa menyebutkan nama Rayhan.

"Bibi sama semuanya sehat. Ini siapa?" tunjuk Bibi pada Rani.

"Ini Rani, Bi. Teman yang selalu aku ceritain ke Bibi."

“Makasih banyak ya, Nak. Kamu sudah mengizinkan Amanda untuk tinggal di tempat kamu, Bibi bersyukur banget."
Rani menatapku heran. Aku hanya tersenyum dan mengangguk, isyarat untuk mengiyakan apa yang diucapkan oleh Bibi.

"Iya, Bi. Sama-sama. Kami teman dari SMP." Bibi hanya mengangguk-anggukan kepala.

"Bibi sedang apa di sini?" tanyaku akhirnya. Karena merasa penasaran.

"Rayhan di rawat di sini. Dia sakit."

"Oh." Jawabku singkat.

Setelahnya. Kami berpamitan, aku menggunakan nama Rani untuk alasan mengapa aku di sini. Jika Bibi tahu aku akan diperiksa ke dokter kandungan. Pasti dia bertanya-tanya dan dia pasti akan merasa bersalah karena telah gagal menjagaku. Padahal ini bukan salahnya. Melainkan anaknya.

Setibanya di sana, aku langsung diperiksa dan di USG. Benar dugaan sebelumnya. Kondisi janin lemah, ukuran janin sangat kecil, tapi sudah lebih baik karena sudah diberikan obat sebelumnya. Mudah-mudahan, setelah ini aku bisa lebih menjaga dan bayi ini bisa bertahan sampai melahirkan nanti. Tidak peduli apa yang terjadi kedepannya. Asalkan dia selamat dan sehat.

"Terima kasih, Dok. Permisi." Pamitku.
Segera aku dan Rani pergi dari rumah sakit dan kembali ke kosan untuk beristirahat.
***

Diary Amanda [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang