Kecurigaan Bibi

10 2 0
                                    

Seminggu pasca keguguran. Aku kembali fokus untuk menata hidupku agar segera pulih. Rasanya masih tidak menyangka jika aku harus kehilangan sesuatu yang aku harapkan. Mungkin begini rasanya jika ibu kita kehilangan seorang anak. Sama halnya dengan aku yang kehilangan Ibu. Rasanya sangat sakit sekali.

Minggu depan sudah mulai masuk sekolah. Aku pun sudah mempersiapkannya dengan baik. Membeli buku-buku baru dan pelajaran semester baru di kelas.
Terkadang aku sedih, di saat hamil waktu itu aku berpikir, mengapa aku harus hamil di saat masih sekolah, padahal usiaku saja masih di bawah 18 tahun. Entah takdir seperti apa yang akan kudapatkan nantinya.

Sore ini, aku hendak pergi ke rumah Bibi. Entah kenapa hari ini Bibi memintaku untuk datang ke rumahnya. Rasa takut, cemas, jelas sangat kurasakan saat ini. Apa yang terjadi setelah aku tiba di sana?

Dunia selalu penuh dengan teka-teki. Di saat kita mengkhawatirkan sesuatu, justru tak pernah terjadi apa pun. Begitu pun sebaliknya.

Setelah mengunci pintu kos. Segera aku pergi ke tempat angkutan umum. Untung saja masih ada angkot sore ini, jadi aku bisa pergi ke rumah Bibi.

Jalanan begitu ramai, orang-orang begitu menikmati jalan-jalan sore bersama orang tersayang, teman, juga keluarga. Andai saja aku pun demikian, mungkin aku juga akan bahagia.

Setelah menempuh jalan hampir 15 menit. Aku tiba di depan gang rumah Bibi. Aku menelusuri gang sempit itu, beberapa tetangga menyapaku dengan hangat.

"Ya ampun, Neng Manda jarang keliatan sekarang, ke mana aja, Neng?" sapa salah satu tetangga.

"Manda ngekos, Bu. Sambil kerja juga, kebetulan tempatnya dekat ke sekolah," alibiku.

"Duh, masih kecil udah kerja. Tapi beruntung, Neng. Kamu keluar dari rumah Bibi kamu, kalau enggak, pasti telingamu pusing mendengar pertengkaran Bibimu dan si Rayhan," ucapnya panjang lebar.

Aku sedikit keheranan, "Memangnya kenapa, Bu? Apa Bibi baik-baik aja?"
"Mending Neng Manda langsung ke sana aja, mudah-mudahan Bibimu baik-baik aja."

Setelah beliau mengatakan itu. Aku mempercepat langkahku menuju rumah Bibi. Rasanya benar-benar campur aduk, entah apa yang dilakukan kak Rayhan setelah tidak ada aku selama ini.
Setibanya di sana. Kudengar suara keributan antara Bibi dan kak Rayhan, terdengar juga suara tangis Naisya di sana. Segera aku berlari dan menghampiri mereka.

"Jawab jujur Rayhan! Apa kamu menodai Amanda?!"

Deg!  Badanku lemas seketika. Entah seperti apa wajahku sekarang. Bayangan itu kembali muncul membuat badanku nyaris tersungkur ke tanah.

"Apa sih, Bu! Jangan nuduh sembarangan!  Mana mungkin aku menodai saudara sendiri!"


Plak!

Suara tamparan begitu keras kudengar. Bibi dan kak Rayhan masih belum menyadari kehadiranku. Saat mengangkat kepala, kulihat Naisya melirikku dengan tatapan penuh iba. Ia berlari dan memelukku.
"Kak Manda!!!" tangisnya pecah.

Bibi dan kak Rayhan mulai menyadari kehadiranku. Aku tak bisa melakukan apa pun, hanya bisa menatap kedua orang itu yang tengah diselimuti emosi satu sama lain.

"Manda, Sayang. Ya ampun Nak," tangis Bibi pecah begitu memelukku.
Entah kenapa rasanya begitu sakit sekali. Sama seperti saat kak Rayhan menyetubuhiku malam itu. Semua kembali terbayang di kepalaku. Entah dapat kebenaran dari mana sehingga Bibi mengetahui hal ini.

"Maafkan, Bibi, Nak. Maafkan Bibi nggak bisa menjaga kamu dengan baik, Bibi sudah gagal menjaga amanah dari ibu kamu, maafkan Bibi," lirih Bibi. Tangisnya terdengar begitu menyesakkan dada.
Sementara kak Rayhan, kulihat dia begitu santai seolah tidak terjadi apa pun saat ini. Aku masih diam, tak bisa berbicara apa pun. Dadaku terasa sangat sesak.

"Ya Tuhan, beginikah takdir yang kauberikan untukku?" lirihku dalam hati.
"B-bi ...."

"Apa yang terjadi antara kamu sama Rayhan?" tanya Bibi to the point.
Aku menggeleng lemah, tak mampu kuceritakan kekejaman sepupuku sendiri. Tanganku bergetar hebat dan Bibi melihat itu.

"Berarti benar kecurigaan Bibi selama ini, Nak. Kamu pergi dari rumah bukan tanpa alasan. Maafkan Bibi sudah membuat masa depanmu hancur," ucap Bibi seraya memegang tanganku.

"M-manda nggak papa, Bi. Manda baik-baik aja."

Hanya itu yang bisa kuucapkan. Tidak mampu berkata banyak. Aku tetap tak bisa melakukan apa pun. Berita Bibi selalu ribut dengan kak Rayhan, mungkin karena hal ini.

"Ngapain sih, pake ngomong segala! Gak guna banget, dasar perempuan murahan!" hardik kak Rayhan tiba-tiba.

Bibi menengok Kak Rayhan, bangkit kemudian kembali menampar Kak Rayhan berkali-kali. Tetapi Kak Rayhan tidak melawan.

"Ibu tidak pernah mengajarkan kamu untuk kurang ajar sama saudaramu sendiri, RAYHAN!"

"TAPI DIA PANTAS MENDAPATKAN INI, DIA SUDAH MEREBUT IBU DARI RAYHAN!"

"Apa kamu bilang? SEDIKIT PUN AMANDA TIDAK PERNAH MEREBUT IBU DARI KAMU, TAPI KAMU YANG TIDAK PERNAH MEMBUAT BANGGA KELUARGAMU SENDIRI!!!"

"Oh, jadi aku bukan anak kebanggan Ibu? Baiklah, Rayhan pergi dari sini!" ancamnya.

“Berani kamu melangkah dari rumah ini, IBU GAK AKAN SEGAN-SEGAN MEMASUKKAN KAMU KE DALAM PENJARA!!!” Ancam Bibi.

“Oh, jadi Ibu lebih membela dia daripada anak Ibu sendiri?”

“SEHARUSNYA KAMU SADAR, MANDA ITU SAUDARA KAMU, KEPONAKAN KAMU, HARUSNYA KAMU MENJAGANYA, BUKAN MALAH MEMBUATNYA MENDERITA!!!”

“Aaaarggggghhhh! TERSERAH. GUE, GAK SUDI PUNYA ORANG TUA KAYAK LO!”

Setelah mengatakan itu, kak Rayhan berlalu pergi entah ke mana. Bibi pun tidak menggubrisnya. Aku hanya diam mendengar ucapan dari mereka. Memeluk Naisya erat sebagai penguatan.

Tangisku sudah mulai reda. Dan aku tidak melihat paman di rumah ini.

"Bi, paman ke mana?" tanyaku.

"Bibi cerai sama pamanmu, Nak. Dia merasa malu karena sudah memperlakukan kamu tidak baik saat tahu kamu dilecehkan oleh Rayhan, sekali lagi maafkan Bibi, Nak."

Bibi memelukku. Ingin sekali aku tanya kenapa harus bercerai. Tetapi, aku sendiri masih syok dengan yang terjadi hari ini. Bibi mengetahui apa yang dilakukan Kak Rayhan padaku dulu. Namun, Bibi tidak tahu bahwa aku hamil anaknya. Dan sampai kapan pun aku tidak akan memberitahukan kehamilan itu sama Bibi. Apalagi anak itu sudah diambil kembali oleh Yang Maha Kuasa.

"Maaf, Bi. Manda harus pulang. Manda nggak bisa lama di sini, karena masih trauma," ucapku berniat pergi dari rumah Bibi.

"Iya, Nak. Sekali lagi maafkan atas kelakuan Kak Rayhan, ya, Nak." Pinta Bibi.

Aku mengangguk. "Iya, Bi. Nggak papa, kok."

"Kak Manda, jangan pergi," tahan Naisya saat aku hendak melangkah.

"Naisya harus terus belajar yang rajin, ya. Kalau ada waktu, nanti Kak Manda main ke sini," ucapku meyakinkan.

Naisya hanya mengangguk.

Setelah pamit, aku segera meninggalkan rumah Bibi. Karena aku tidak tahan melihat Bibi menangis dan suasana gelap rumah itu. Menyisakan banyak luka yang sulit aku sembuhkan.

"Ibu, datanglah ke mimpi, Manda. Manda sangat butuh Ibu," ucapku dalam hati.
***

Diary Amanda [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang