Menyingkap Fakta

15 1 0
                                    

Aku terbangun pukul 5 pagi. Namun, napasku terasa sesak saat kulihat kak Satria memelukku dalam tidur. Entah apa yang terjadi semalam, kak Satria memutuskan untuk menemaniku tidur karena aku menangis semalaman. Baju kak Satria pun masih yang dipakainya saat datang ke kosanku.

Aku melepaskan tangannya dan beranjak dari tempat tidur yang sempit itu. Membersihkan diri lalu bersiap untuk berangkat ke sekolah.

"Kak Satria, bangun. Udah siang, Manda mau ke sekolah," ucapku dengan penuh hati-hati, tapi kak Satria tak kunjung bangun.

Karena takut terlambat ke sekolah, aku pun memutuskan untuk meninggalkannya dan bergegas untuk ke sekolah tanpa mengunci pintu kos.

Sepanjang jalan, tubuhku seolah hampa, tak ada perasaan apa pun lagi. Sudah lelah rasanya menghadapi setiap permasalahanku sendiri. Meskipun terlihat baik-baik saja, nyatanya ragaku sudah tak utuh bahkan untuk  sekadar merasakan bahagia. Pecahan kaca itu tak bisa dikembalikan seperti semula.

Saat di sekolah. Semua orang memandangku dengan tatapan tak biasa. Hari ini, aku memutuskan untuk memakai pakaian sekolah sebelumnya kembali dan memulai keseharian ku seperti dulu. Melupakan pesan ibu dalam mimpi dan mencoba untuk melupakan segala yang terjadi. Singkat bukan?
Mungkin kalian pikir begitu. Saat ini, aku hanya ingin hidup tenang. Ternyata tidak bisa setenang dulu.

Kulihat mading di penuhi dengan berbagai foto aku saat berpelukkan di tengah hujan saat itu, juga beberapa foto saat aku di rumah sakit dan periksa ke dokter kandungan.

"Astaga, ada apa lagi ini?" Keluhku.
Aku merobek semua poster yang ada di mading. "SIAPA YANG NGELAKUIN INI, HAH? JAWAB!"

Tidak ada yang berani menjawab, justru mereka pergi meninggalkan kerumunan. Air mata ingin tumpah, tapi rasanya tidak bisa. Seolah sudah habis dan aku tak di izinkan untuk menangis. Kali ini, kehidupanku benar-benar terasa hampa. Sepi, sunyi, tidak ada yang peduli padaku.

"Man, nih ada surat dari sahabat lo," seseorang memberiku sebuah kertas.

"Rani?"

"Iya," jawabnya ketus.

Aku masuk ke kelas dan membuka surat itu.

To Manda,
Dari Rani, sahabat baikmu.

Maaf karena aku nggak pamitan sama kamu, Man. Jujur ini mendadak banget. Aku harus ikut orang tua aku ke luar negeri dan pindah sekolah di sana. Maaf aku tidak bisa nemenin kamu lagi, maaf aku tidak bisa membantu masalahmu lagi. Semoga kamu kuat dalam menghadapi kehidupanmu ya, Man. Terima kasih sudah menjadi sahabat terbaik buatku selama ini.

Oh, ya, Man. Aku sempat liat nomor rekening kamu. Aku udah transfer beberapa uang untuk nambahin kebutuhan kamu selama sekolah. Itu sebagai ucapan terima kasih karena kamu sudah mau menjadi sahabat aku.

Bahagia terus ya! Miss you so much, semangat bestiku!!

Itulah isi surat yang diberikan Rani. Bagus. Semua orang pergi meninggalkanku sendirian. Aku hanya bisa tertunduk lemas, menatap mading yang penuh dengan ucapan cacian, umpatan, bahkan aku tidak tahu harus bagaimana setelah ini.

***

Termenung dalam kegelapan, adalah yang sangat menyenangkan untukku saat ini. Tidak peduli seberapa anehnya tatapan orang-orang terhadapku. Aku hanya ingin damai, ingin hidupku tenang.

Akan tetapi, sepertinya Tuhan masih belum mengizinkan. Sosok laki-laki yang kemarin aku lihat di kafe, kini dia muncul di hadapanku dengan tatapan tajam menusuk.

"Saya harap kamu tidak menemui saya lagi!" tegasnya.

Aku menggeleng lemah. Berharap orang yang di depanku adalah ayahku yang dulu.

"Apa Ayah lupa sama kenangan masa kecil Manda? Kita begitu bahagia Ayah, kenapa Ayah tinggalin aku sama Ibu!"

Dia menyeringai, "Saya sudah melupakan kenangan itu dan kamu jangan beusaha mengingatkannya lagi untuk saya.”

“Kenapa? apa salah Manda sehingga kalian tega memperlakukan Manda seperti ini? Kenapa kalian sangat tidak menginginkan kehadiran Manda? Kenapa?”

“KARENA KAMU ANAK PEMBAWA SIAL!!!”
Aku semakin lemas dibuatnya. Benarkah? Benarkah yang dia bilang?

“Benarkah? Apa yang Manda lakukan sehingga Ayah berpikir bahwa Manda adalah anak pembawa sial? Apa yang Manda lakukan sehingga kalian beranggapan bahwa Manda adalah pembawa sial? Apa yang selama ini Manda lakukan sehingga kalian menginginkan Manda mati! KENAPA? KENAPA?!!!”

“Sudahlah, tidak ada gunanya kamu bertanya seperti itu. Saya tidak akan peduli. Bahkan jika kamu memohon pun saya tidak akan pernah peduli. Saya sudah menganggapmu mati dan kamu bukan anak saya!”

Aku mundur beberapa langkah, "Enggak! KENAPA KALIAN JAHAT SAMA MANDA KENAPA. SALAH MANDA APA?!"
Aku tak bisa menahan laju air mataku. Menangis sejadinya.

"Saya lelah, dihantui rasa bersalah karena telah meninggalkan kamu dan ibumu. Tapi, saya juga punya kehidupan baru dengan keluarga saya, kali ini saya ketemu kamu untuk memperingati kamu!"

"Maafkan saya, Manda. Jangan pernah dekati keluarga saya, termasuk Satria. Dia sudah saya jodohkan dengan orang lain," dia memperingati.

"Satu lagi, jangan pernah panggil saya Ayah lagi, karena mulai sekarang, saya bukan ayah kamu lagi!"

“Yah, Manda mohon jangan seperti ini. Manda sendirian sekarang, Manda butuh Ayah di samping Manda. Tolong jangan tinggalin Manda,” mohonku.

"Sudah cukup! Saya muak mendengar panggilan Ayah dari kamu. Mulai sekarang, jangan pernah ganggu kehidupan saya lagi!"

Setelah mengatakan itu, ia berlalu pergi dan meninggalkanku yang penuh dengan sayatan luka. Luka menelan pahitnya sebuah fakta yang baru saja aku terima. Lantas bagaimana aku menjalani kehidupan ini.

"AYAAAAH!!!"

Aku hanya bisa meneriakinya, tapi ia tak menghiraukan dan melajukan kendaraannya dengan kecepatan sedang.

"Ibu, kenapa Manda harus menelan kehidupan seperti ini, kenapa banyak sekali kebohongan yang Manda terima, sekarang aku harus bagaimana?"

Diary Amanda [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang