Bibi dan Ayah

7 1 0
                                    

Mobil berhenti tepat di sebuah rumah sakit. Aku hanya mengikuti kak Satria. Mungkin dia mau menjenguk seseorang.

"Sepertinya, rekan ada perlu ke psikiater. Mentalnya sedikit melemah," tutur dokter dengan hati-hati.

Aku sedikit terkejut saat kak Satria membawaku ke sini. Sebelumnya aku tak ingin pergi ke rumah sakit, dan di periksa seperti ini, tapi ia mengatakan untuk kebaikanku.

"Baik, dok. Terima kasih atas informasinya. Saya akan bawa Manda ke ke psikiater," balas kak Satria.

Setelah dokter keluar. Spontan Kak Satria memelukku dengan erat. Entah apa yang terjadinya padanya,  sejak hari ini kami bersama berdua dan membawaku ke sini semua atas keinginannya. Padahal di sini aku yang sedang sakit, tapi kenapa?

"Kak Satria kenapa?" tanyaku penasaran.

"Enggak papa, hanya saja Kakak sedih melihat kamu menderita seperti ini," ucapnya. Ada yang berbeda kali ini. Kak Satria tidak memanggil dirinya dengan sebutan 'saya', melainkan menyebutkan dirinya 'kakak'.

"Kak?"

"Jangan di lepas, biarkan Kakak memeluk kamu, Manda."

"I-iya, Kak." Hanya itu yang bisa kujawab.
Aku pun membiarkan kak Satria memelukku. Pelukannya begitu erat, berbeda dari yang pernah aku rasakan dulu. Entah apa yang terjadi padanya hingga bisa membuat kak Satria tampak lemah seperti ini. Benar-benar sangat berbeda dari biasanya.

“Jangan membenci Kakak, Man.”

Aku sedikit terkejut dengan ucapannya. Bagaimana bisa aku membencinya dengan semua kebaikan yang dia berikan padaku. Ingin sekali kubertanya apa yang terjadi, tapi aku tak berani.

“Tidak akan.”

"Karena bukan benci, sepertinya Manda mulai jatuh cinta sama Kakak," ucapku dalam hati.

***

"Besok kamu sudah masuk sekolah?" tanya kak Satria setelah kami tiba di kos.

"Iya, Kak. Alhamdulillah Manda juga bisa ketemu lagi sama temen-temen Manda."

"Syukurlah. Kalau begitu, jaga diri kamu baik-baik ya, kabari Kakak jika kamu butuh sesuatu, oke?"

"Tentu!"

Setelah mengatakan itu, kak Satria berlalu pergi dan meninggalkan aku di kos. Beberapa hari ini rasanya sungguh tidak nyaman. Apalagi setelah memasuki keluarga Kak Satria. Melihat Silvana yang bersikap pura-pura baik, membuat aku yakin jika mereka tidak menyukai kehadiranku. Hanya kak Satria yang terlihat tulus dan sangat peduli padaku. Tapi akau juga cukup bahagia hari ini. Meski tampak perbedaan dari kak Satria. Aku harap itu bukanlah perubahan yang buruk.

"Neng Manda?!" seru seseorang. Aku hafal betul siapa pemilik suara itu.
"Eh, Ibu. Apa kabar?" tanyaku.

"Kabar baik. Neng Manda ke mana aja, Ibu khawatir," panik Ibu kos.

"Manda baik-baik aja, Bu. Kebetulan Manda baru pulang dari rumah sakit, kemarin sempat kehujanan," jelasku.

"Terus sekarang gimana keadaan Neng Manda?" tanya Ibu kos lagi.

"Sudah mendingan, Bu. Nih, Manda juga udah ada obatnya." Aku menunjukkan sebuah plastik putih yang berisikan obat dari rumah sakit. Bukan obat sakit, melainkan obat yang diberikan dokter khusus untukku.

"Syukurlah. Dua hari lalu neng Rani datang ke sini nyari Neng Manda, katanya kalau Neng Manda pulang, suruh menghubungi dia." Ibu kos memberitahu.

Aku pun mengiyakan. Setelahnya, aku masuk ke kamar kos dan istirahat sejenak. Rasanya badan begitu lemas saat di kos. Namun, rasa lemas itu hilang saat mengingat kebersamaan dengan kak Satria hari ini. Bahagia dan gelisah menjadi satu. Entah apa yang akan terjadi ke depannya. Lebih baik aku tidur dan mempersiapkan diri untuk kembali ke sekolah besok.

***

Rintik hujan menemani pagi di hari Senin. Langit mendung, turun ribuan tetes air hujan yang membasahi tanah bumi. Aktifitas sempat terhambat tapi tidak membuat mereka menyerah.

Aku kembali menjalani hariku di sekolah dengan perasaan sedikit tenang dan lega. Bila dulu aku harus hati-hati karena menyembunyikan kehamilanku, kini aku bisa berjalan tenang karena hanya perlu memikirkan kewarasanku. Semoga tidak ada hal buruk yang terjadi di sekolah.
Suasana sekolah begitu masih sangat sepi. Kulihat bapak penjaga terlalu asyik menikmati alunan gitar yang dipetiknya. Sampai tidak sadar aku memanggilnya berkali-kali.

"Pak Anton!" kali ini suaraku sedikit berteriak.

"Eh," Ia terperanjat. "Ya ampun, maaf Neng. Bapak terlalu asyik main gitar, sampai lupa ada Neng Manda di sini," sambungnya.

"Enggak apa-apa, Pak. Aman. Gimana kabar Pak Anton, sehat?" tanyaku.

"Alhamdulillah sehat Neng. Semangat sekolahnya ya!"

"Tentu. Manda masuk dulu ya, Pak. Permisi.”

Aku melangkah menuju kelas. Mengikuti pembelajaran hingga selesai. Begitu sangat tenang karena suasana kelas cukup hening. Memasuki semester dua, kami memang lebih memperhatikan banyak pembelajaran agar bisa lulus ujian nanti.
Namun, sayang sekali. Saat kami pulang, hujan masih saja turun dan menciptakan rasa sejuk yang menusuk tulang. Tidak mau berlama-lama, segera aku pergi tanpa mengunakan payung atau pun mantel. Hari ini aku tidak melihat Rani masuk sekolah, kupikir pasti dia masih liburan.

Sebelum ke kos. Aku mampir sebentar ke kafe yang tak jauh dari sekolah. Sedikit membeli camilan. Uang pemberian dari kak Satria begitu sangat berguna untukku. Entah darimana ia mendapatkan uang ini, yang jelas aku bersyukur dia mau memberikannya untukku.

Aku melangkah dengan santai sembari membersihkan bajuku yang sedikit basah. Kulihat beberapa meja penuh, pasti mereka juga berteduh. Aku berjalan ke tempat paling sudut, sejenak langkahku terhenti tak jauh dari orang yang kulihat dengan mataku. Bibi dan Ayah.

"Jadi selama ini Ayah tidak lupa sama aku?" pikirku.

Hendak menghampiri, tak sengaja aku mendengar perbincangan mereka yang cukup serius.

"Saya tidak mau tahu, kamu harus singkirkan Amanda dari keluarga saya!"

"Tapi, Mas. Amanda itu anak kamu! Tak seharusnya Kamu memperlakukan dia seperti itu!"

"Kamu Bibinya, kamu urus dia. Aku tidak mau bertemu dengan anak itu lagi! Dia sudah masuk ke keluargaku dan mengenal Satria!"

"Aku tidak tahu menahu soal itu, Mas. Amanda sudah cukup menderita selama ini, bahkan dia sudah tidak tinggal sama aku dan suamiku!"

“Aku tidak mau dia masuk dalam keluarga baruku. Aku sudah bahagia dengan kehidupanku meskipun harus membujuk Satria agar bisa menerimaku sebagai ayah sambungnya!”

“Kamu jahat banget, Mas. Setelah kepergian istrinya, Manda menjadi sangat pendiam dan bahkan kamu tidak ada di saat pemakaman istri kamu dan malah menikah dengnan Hanna!”

"Sudahlah, jangan pernah bahas ini Apa rencanaku yang sebelumnya sudah berhasil?"

"Rayhan berhasil membuat Amanda ternodai dan pergi dari rumah. Tapi aku bercerai dengan suamiku.”

“Tidak apa-apa. Toh hidup kamu juuga sudah Mas jamin, yang penting kamu harus menjaga Naisya!”

“Terus aku harus gimana setelah ini?”

"Kalau gitu, bunuh dia!"

Pranggg!

***

Diary Amanda [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang