"Kapan Benedict akan tiba?" tanya Xavier pada Karina.
Wanita itu melirik pada jam cartier nude pink di tangannya. "Seharusnya sebentar lagi. Tadi sudah kuminta Aksara untuk turun menyambutnya," balas gadis itu.
Baru saja pria itu dibicarakan, tiba-tiba mereka melihat Aksara masuk bersama dengannya. Karina dapat melihat senyumnya merekah saat mereka saling bertatapan.
"Benedict, senang bisa bertemu lagi denganmu," ucapnya sambil menjabat tangan pria itu.
"Hei, tidak perlu begitu." Belum sempat Benedict membalas, Aksara sudah lebih dulu menarik Karina menjauh. "Kau tidak perlu sampai bersalaman padanya. Cukup menyapa saja memangnya tidak bisa?"
Karina berdecih mendengar hal itu. "Aku hanya menyapanya, Aksa. Itu hanya sikap dasar dari sopan santun. Memangnya tidak boleh?"
Aksara berusaha membersihkan kerongkongannya yang tidak gatal. Harus ia akui, terkadang memang pria itu merasa cemburu jika Karina bersikap ramah pada pria-pria lain. Aksara selalu berusaha menahan kecemburuannya meski itu sangatlah sulit.
Benedict yang melihat kejadian itu hanya tertawa pelan. Dari sudut matanya, Aksara dapat melihat ada senyum getir yang tampil singkat di wajah pria itu. Namun, secepat itu juga senyuman getir Benedict hilang dan digantikan ekspresi biasanya.
"Hei, kita tidak di sini untuk saling cemburu, bukan?" Xavier mengangkat satu alisnya. Pria itu berjalan mendekati Benedict untuk bersalaman yang diikuti oleh kembarannya. "Duduklah terlebih dahulu, Uncle Alex belum datang," sambungnya lagi.
Kelima orang itu mengambil tempat duduknya masing-masing. Benedict terlihat tengah berbicara dengan Dion terkait pembelian perusahaan. Sementara keempat orang lainnya hanya menatap layar ponsel mereka sembari menunggu kedatangan Alexander Ambroise, pemimpin Ambroise Corp.
Sudah lebih dari tiga puluh menit mereka menunggu, dan masih belum terlihat batang hidung pria paruh baya itu. Benedict sudah terlihat sedikit gelisah menunggu. Karina menoleh pada kedua sepupunya yang dibalas tatapan yang sama.
"Tidak biasanya Uncle Alex terlambat seperti ini," bisik Karina. "Apa sesuatu terjadi?" tanya gadis itu.
"Aku juga tidak tahu, Kar," balas Xander berbisik. "Aku tadi berusaha menghubungi asistennya, tetapi belum di balas."
"Sebaiknya kau tanya saja pada salah satu bawahannya, Kar," saran Aksara.
Karina mengangguk. Gadis itu berdiri dari tempat duduknya dan menghampiri salah seorang bawahan Alexander. "Maaf, apakah Uncle Alex akan datang sebentar lagi? Kami sudah menunggu lebih dari tiga puluh menit."
Bawahan itu menunduk dalam. "We apologize, Ma'am. Mr. Ambroise tidak bisa hadir saat ini," ucapnya yang membuat mereka semua melotot keheranan.
"Tidak bisa hadir? Mengapa tidak bilang sejak tadi?!" Xander ikutan berdiri dari tempat duduknya.
"Apa kalian tahu bahwa kami sudah menunggu di sini selama setengah jam?" Xavier melipat tangannya kesal. Ia sendiri ikutan dongkol karena sudah menyia-nyiakan waktu berharganya.
"Ma-maaf, kami sendiri juga baru tahu," ujarnya dengan gugup. "Tetapi, Mr. Ambroise telah menunjuk penggantinya–"
"Hei, apa kabar sepupu-sepupuku?" Seorang pria dengan kemeja yang kancing atasnya terbuka itu berjalan menghampiri. Ia tersenyum tatkala tatapan mereka beradu. "Sepertinya sudah lama sekali aku tak melihat wajah menyebalkan kalian."
"Ivander Ambroise, jaga sikapmu," geram Xander. Dia sesungguhnya memang tidak menyukai pria itu. Sedari kecil, Ivan selalu menyebut mereka sebagai keturunan Ambroise gadungan hanya karena mereka sudah tidak menyandang nama belakang Ambroise lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Billionaire's Desire
Fiction généraleAXJ SERIES #1 18+ Menjadi putra pertama keluarga Bourge membuat Aksara Damien Bourge menjadi satu-satunya pewaris perusahaan turun temurun keluarganya. Pria blasteran Amerika-Indonesia itu memang salah satu yang paling tampan di sejarah keturunan Bo...