Part 38 |•

4.2K 403 1
                                    

Asya duduk di pinggir danau.

Cuaca hari ini mendung, begitu mendukung perasaan Asya yang juga sedang galau.

Entah sudah berapa kali ponselnya berbunyi namun ia abaikan.

Bahkan notifikasi pesan beruntun entah dari siapa tak ia gubris.

Ia hanya ingin sendirian, memeluk diri sendiri sambil menenangkan fikiran dengan pemandangan di hadapannya.

Danau yang terlihat dangkal.

Kali ini tak ada senja, semuanya tertutupi oleh awan.

"Gue gak tau berapa lama lagi harus bertahan." ujarnya dengan helaan nafas di akhir kalimat.

"Lo harus tetap bertahan." ujar seseorang di belakangnya.

Agak sedikit panik. Namun, ia berusaha menoleh.

Di belakangnya sudah berdiri Zegran dengan pakaian santainya. "Ngapain disini?" tanya pria itu.

"Mau nenangin diri." jawab Asya, memalingkan wajahnya dari Zegran.

Asya kembali mengingat kejadian kemarin malam kala ia mengusir Zegran.

"Nenangin diri atau mau nyemplungin diri?" tanya Zegran, menyelipkan anak rambut Asya.

Asya menepis tangan kekar yang dengan berani menyentuhnya itu. Ia melirik sinis. "Gak usah sok perhatian lo sama gue."

"Kenapa si lo sama gue? perasaan gue gak bikin masalah."

"Kehadiran lo di hidup gue itu udah masalah!" kesal Asya, ketika ingatannya memberikan sebuah fakta bahwa Ayah Zegran adalah pembunuh sahabatnya.

Saat melangkah menjauh dari Zegran, pria itu menarik tangan Asya. Tapi, Asya sama sekali tak bergerak, ia tetap memaksa tubuhnya untuk berdiri di tempatnya.

"Asya? kata Rafael ada sesuatu yang mau lo bicarain sama gue." tanya Zegran, melepaskan genggamannya pada Asya saat gadis itu melirik tangannya.

"Lupain. Gue harap ini pertemuan terakhir kita." Asya kembali melangkah, namun, perkataan Zegran setelahnya membuatnya berhenti sejenak.

"Gue penyebab trauma lo muncul kembali, ya?"

"Berhenti fikir apapun tentang gue, semakin lo cari tau, semakin sakit yang lo dapet." balas Asya.

****

Lesu.

Itu yang dapat Rafael simpulkan saat melihat adiknya baru saja pulang dengan langkah lemah.

"Kenapa?" tanya Rafael saat Asya baru saja duduk di sampingnya.

Asya menggeleng pelan. Tak lama, ia menghela nafas panjang. "Capek, padahal gak ngapa-ngapain." ujarnya, terkekeh di akhir kalimat.

Rafael tau sebenarnya yang terjadi di markas, mengangguk. "Mandi dulu habis itu makan dan istirahat."

Asya lagi lagi mengangguk, gadis itu berjalan dengan menunduk, hanya melihat lantai. Bahkan ia tak menyapa Xuan dan Xavier yang baru saja keluar dari arah dapur.

"Dia kenapa?" tanya Xuan pada Rafael yang memijat pangkal hidungnya.

"Kata Putra, Teresa bilang ke Asya kalau anaknya hanya Rey dan Vano." ujar Rafael, mendongak menatap adik kembarnya yang seiras.

Xavier berdecak. "Ini udah gak bisa di biarin. Dia sengaja ngomong kayak gitu supaya mental Asya keganggu!"

"Dia bukan tahanan lo. Yang berhak ngelakuin sesuatu itu hanya pemilik tahanan itu sendiri." Ujar Xuan, berusaha agar membuat Xavier sadar bahwa Asya tak suka jika sanderanya di siksa oleh oranglain selain dirinya.

CHANGE SOUL [TERBIT E-BOOK]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang