CUPLIKAN
Malamnya setelah makan malam, seperti biasa mereka sekeluarga berkumpul di ruang tengah, bersantai bersama dan menonton acara televisi sambil menunggu waktunya tidur.
Biasanya, Benny menjadi yang pertama mengantuk dan masuk ke kamarnya duluan, lalu disusul Jerry dan Mario tidak lama kemudian.
Tetapi malam itu agak tidak biasa, karena lama setelah kedua adiknya masuk ke kamar mereka masing-masing, Mario masih tetap di tempatnya, duduk di sofa sebelahnya.
Yang cukup membuat Rosa merasa malu sendiri adalah matanya entah kenapa terus saja tertuju pada gundukan di selangkangan celana jeans ketat putra sulungnya itu.
'Hentikan! Dia itu anakmu sendiri!' dia memarahi dirinya sendiri.
Beberapa lama kemudian, tiba-tiba Mario beringsut menggeser duduknya mendekat, dan melingkarkan lengannya di bahunya.
"Mama mau membicarakannya?" tanya Mario dengan suara datar.
"Bicara soal apa?" balas Rosa bertanya.
Wajahnya sedikit memanas dan tersipu, merawa was-was kalau putranya sulungnya itu sudah mengetahui sesuatu.
Mario tersenyum menyeringai.
"Aku tahu Mama memikirkan sesuatu yang membuat Mama tersipu. Tidak apa-apa, Mama bisa beri tahu aku," jawabnya santai.
Tidak! Bagaimana mungkin dia memberi tahu putranya sendiri kalau dia birahi sepanjang hari dan juga terangsang menonton mereka coli di kolam renang?
"Terima kasih atas perhatianmu, Sayang, tapi ini hal pribadi," balas Rosa berusaha agar tetap terlihat tenang.
"Ayolah, Ma. Aku sudah anak kecil lagi," sergah Mario dan bergeser lebih dekat lagi.
"Aku sudah mengerti hal pribadi seperti itu," lanjutnya masih dengan santai.
"Hal apa?" tanya Rosa gugup.
Tidak disangka-sangka, Mario memajukan wajahnya dan mengecup sisi lehernya.
"Aku tahu Mama lagi horny," jawabnya dengan suara rendah dan menyerigai nakal.
"Mario! Kamu... apa-apaan kamu!" teriak Rosa terkejut mendengar kata-kata putranya itu, tetapi tidak berani menatapnya sehingga hanya menatap kosong ke depan.
Dengan tidak sedikit pun ada keraguan, Mario mengulurkan tangannya ke dagu ibunya dan memaksa wajahnya menghadap ke arahnya.
Tidak berani menatap mata putranya itu, Rosa melihat ke bawah dan semakin tersipu.
Mario tertawa penuh arti.
"Mama harus membagi masalah dengan seseorang, dan juga perlu mengakuinya," kata Mario lagi.
"Belakangan ini Mama mudah marah, dan hanya ada satu alasan untuk itu," lanjutnya.
'Ya Tuhan! Apakah sejelas itu?' batin Rosa dan merasa malu.
Tidak ingin terjepit oleh situasi tersebut, dia kemudian berusaha melepaskan dirinya dari lengan putranya yang kokoh berotot itu, tetapi Mario justru mempererat cengkeramannya.
Tubuh mereka bergesekan satu sama lain, dan terlepas dari rasa malunya, dia merasa tak berdaya dan terangsang oleh sifat keras yang maskulin dari putranya itu.
Memeknya mulai terasa lembab oleh jus panas merembes keluar dengan deras, dan susunya mengeras serta putingnya menegang, persis seperti kalau Yudi merangsangnya.
Tetapi dia bukan Yudi, bukan suaminya. Dia Mario, putranya sendiri, dan bukan orang yang boleh merangsang birahinya.
Dia menolehkan kepalanya ke arah Mario bermaksud menyuruhnya menghentikan semua itu, tetapi sebelum dia sempat meyadarinya, bibir hangat putranya itu menempel ke bibirnya, mencium dan melumatnya dengan lembut, lalu melesatkan lidahnya ke dalam mulutnya.
