CUPLIKAN:
Menjadi anak semata wayang, membuat Novita mendapat seluruh cinta dan kasih sayang aku dan istriku, sehingga sejak kecil dia selalu tidur berpelukan dengan ibunya, di tempat tidur kami.
Kebiasaan itu berlangsung sampai kelas 1 SMP, setelah dia mendapat haid pertamanya, akhirnya istriku mendesaknya tidur di kamarnya, dan hanya mengijinkannya tidur bersama kami saat hujan lebat atau mati listrik di malam hari.
Selama bertahun-tahun, semua berjalan dengan baik, dan dia pun sudah terbiasa tidur sendiri dan semakin jarang tidur bersama kami.
Hingga suatu malam beberapa bulan yang lalu, terjadi hujan badai disertai kilatan petir dan gelegar guntur yang mengerikan, lalu listrik pun mati karena ada trafo yang meledak.
Tidak butuh waktu lama, dia pun sudah datang ke kamar aku dan istriku, dan merebut tempatku tidur berpelukan dengan istriku.
Aku tidak tahu sudah berapa lama kami tidur atau jam berapa, ketika aku terhenyak terbangun karena merasa benturan pada lengan kananku, yang diikuti tangan memeluk perutku dan kaki menindih paha kananku.
Setengah sadar dan mata masih terpejam, aku berpikir istriku berguling dan memeluk aku dalam tidurnya, hal yang sudah biasa, sehingga aku mengabaikannya dan melanjutkan tidurku.
Samar-samar aku masih mendengar suara hujan, yang sudah tidak selebat waktu kami berangkat tidur, dan mengingatkan aku pada Novita yang datang untuk tidur bersama kami.
Tiba-tiba aku terkesiap sehingga mataku terbeliak, tersadar kalau malam itu Novita tidur bersama kami, di antara aku dan istriku.
Lalu, siapa yang sedang memeluk aku?
Dengan perasaan tegang, aku melihat ke bawah, pada kepala yang bersandar miring di ujung pundak kananku.
Walau gelap, tetapi karena jaraknya dekat, aku bisa melihat wajahnya dengan cukup jelas.
Ya Tuhanku! Bukan istriku, tapi anakku.
Apalagi rambutnya panjang dan sangat halus, sedangkan rambut istriku pendek sebahu dan agak kasar.
Tahu yang sedang memeluk aku adalah anak perempuanku, bukan istriku, mendadak inderaku menjadi lebih sensitif, sehingga aku bisa mencium wangi badannya, yang berbeda dengan istriku, dan bahkan bisa merasakan susu kirinya yang menekan lengan kananku, terasa padat, kenyal dan hangat.
Diliputi ketegangan, aku diam tidak berani bergerak, dan bahkan menahan perutku agar tidak naik turun saat bernafas.
Tidak tahu harus berbuat apa, aku hanya berbaring diam, sambil berharap dan menunggu dia berguling kembali ke ibunya.
Namun, setelah entah berapa menit yang menegangkan dan terasa sangat lama berlalu, tidak saja dia tidak berguling kembali ke ibunya, tetapi tangannya malah bergeser ke dadaku dan menekuk kakinya hingga lututnya persis di atas selangkanganku.
Perasaan aku bertambah tegang, sampai-sampai aku menahan nafasku, tetapi kemudian aku terkesiap karena merasa kontolku berkedut dan mulai mengeras di bawah lututnya.
Aku memejamkan mataku, menarik napas dalam-dalam, berusaha tidak memikirkannya, mencoba menenangkan gejolak dalam celanaku, hingga tanpa aku sadari akhirnya aku terlelap.
Menjelang subuh saat aku terbangun lagi, karena listrik sudah hidup dan kamar mendadak menjadi terang benderang oleh lampu yang menyala, aku merasa sangat lega karena dia sudah tidak memelukku, tetapi memeluk ibunya.
Usai mematikan lampu, aku pergi ke toilet karena kebelet kencing, dan mendapati banyak sekali pre-cum dalam kulit kulup kontolku yang tidak disunat.
Sambil kencing, aku mengingat kembali apa yang terjadi tadi malam, dan tanpa sadar tersenyum merasa bergairah karenanya.
Keluar dari toilet, aku tidak kembali ke tempat tidur lagi karena khawatir akan terjepit dalam situasi yang sama, sedangkan istriku bisa bangun sewaktu-waktu.
Sejak kejadian itu, bayangan tangannya memeluk dadaku, susunya menekan lenganku, dan kakinya menindih kontolku, terus-menerus menggangguku pikiranku, tetapi aku merasa senang aku menyukainya.
Tetapi karena merasa tidak sepantasnya seorang ayah memiliki pikiran seksual terhadap anak perempuannya sendiri, aku pun berusaha menepisnya pikiran itu.
Namun ibarat membuka kotak Pandora, sekali sudah terbuka tidak bisa ditutup kembali, api syahwat aku terhadap anak perempuanku sudah tersulut dan tidak bisa dipadamkan lagi.
Hari-hari berikutnya, sikap aku terhadap dia pun mulai berubah, tidak lagi seperti sikap ayah terhadap anak perempuannya, tetapi lebih mirip sikap anjing jantan yang birahi pada anjing betina di musim kawin.
Kadang ketika dia memakai tanktop dan tidak terlihat tali beha di bahunya, aku akan diam-diam mencermati apakah puting susunya terlihat pada bagian depan bajunya.
Atau ketika dia duduk dengan rok mini atau celana pendek, aku akan mencari posisi yang memungkinkan untuk memeriksa apakah dia memakai celana dalam atau tidak, berharap bisa melihat memeknya.
Semua itu membuat adrenalinku terpacu dan merasa muda kembali.
Tidak butuh waktu lama, apa yang aku pikirkan dalam alam sadar, kemudian terbawa ke alam bawah sadar, sehingga aku bermimpi melihatnya telanjang, bercumbu dengannya dan bahkan mengentotnya.
Semuanya menjadi semakin liar, karena dorongan birahiku terhadap anak perempuanku semakin menjadi-jadi, dan aku tidak tahu akan bisa menahan diri sampai kapan.
Yang membuat aku belum berbuat apa-apa padanya, mungkin karena aku tidak punya keberanian, dan juga belum ada kesempatan.
Hingga sekitar satu bulan yang lalu, istriku mendapat tugas dari kantornya, sebagai bagian dari Corporate Social Responsibility (CSR), untuk menjadi salah seorang pembicara dalam sebuah seminar dua hari di kota Malang yang diadakan oleh Kelompok Usaha Perempuan Mandiri.
--oo0oo--