CUPLIKAN:
Masuk ke dapur, aroma saus tomat yang kental memenuhi ruangan, dan tampak ibuku, mengenakan celana jeans biru dan blus lengan panjang, sedang menyajikan makanan yang sudah selesai dimasaknya di meja makan.
Dia tidak berkata apa-apa, dan sepertinya menghindari kontak mata denganku.
Duduk berseberangan di meja makan, kami pun mulai menyantap makan malam kami dengan kikuk dan canggung tanpa bersuara sama sekali.
Hingga beberapa menit kemudian, karena merasa sangat tidak nyaman, aku memutuskan memecah kesunyian tersebut.
"Aku minta maaf soal tadi pagi, Ma."
"Eehmm, tidak apa-apa. Aku seharusnya mengunci pintunya," katanya agak terbata.
"Aku yang mestinya mengetuk pintu dulu. Aku benar-benar minta maaf. Itu... memalukan."
"Iya," katanya mengangguk, menatapku dengan senyum tipis.
"Memalukan kamu sampai melihat tubuh tua ini," tambahnya.
"Tidak! Bukan itu maksudku. Mama tidak tua. Aku hanya terkejut. "
"Tidak tua?"
"Tidak. Mama tidak tua sama sekali."
"Senang mendengarnya," katanya sambil mengutak-atik sendoknya pada makanan di atas piringnya.
"Serius. Mama tidak tua."
Mendengar kata-kataku, dia lalu tertawa tergelak.
Aku pun ikut tertawa, dan kecanggungan serta kekikuan di meja makan pun pecah.
Sungguh lega dan senang rasanya melihat ibuku tertawa lepas seperti itu. Sudah lama dia sendirian sejak perceraian, dan dia juga tidak berkencan dengan siapa pun.
Walau rasanya aneh memikirkan ibuku berkencan lagi, tetapi aku sama sekali tidak keberatan jika dia terlibat dengan laki-laki lagi, baik untuk hubungan jangka panjang, maupun hanya sebatas one night stand.
Bagamaimanapun juga, dia tentu punya kebutuhan biologis yang harus dipenuhi.
Tetapi dengan kesibukannya sehari-hari mengurus usahanya, rumah dan aku, kemudian ditambah pandemi COVID-19, dia sama sekali tidak punya waktu dan kesempatan terlibat atau bersosialiasai dengan laki-laki, sehingga dia hanya terkurung di rumah bersamaku.
"Baguslah kamu tidak trauma dengan apa yang kamu lihat," katanya.
Aku merasa tidak yakin apakah dia sedang serius atau bercanda, karena aku menangkap ada nada serius dan nada bercanda dalam kata-katanya itu.
"Trauma? Jelas tidak," kataku.
"Kamu tidak..."
Dia tidak menyelesaikan kata-katanya.
"Apa?" aku bertanya.
"Kamu tidak berpikir buruk tentang tubuh aku?" tanyanya.
"Apa maksudnya berpikir buruk? Kenapa aku harus berpikir buruk?"
"Entahlah. Aneh saja kamu melihatku..."
"Telanjang?"
"Iya," jawabnya dengan mata menatap piringnya.
"Rasanya memang aneh, tapi tidak perlu khawatir. Tubuh Mama masih terlihat bagus," kataku berusaha meyakinkannya.
"Mama tidak kalah dari cewe-cewe yang yang aku kenal, walaupun Mama punya..."
Tiba-tiab aku menghentikan kata-kataku, tersadar telah berbicara terlalu banyak.
"Apa?" tanyanya mengangkat kepalanya.