08 . Reminiscence

41 3 20
                                    

  "Di semesta ini, kamu‐aku adalah matahari dan bulan, Yeonjun."

-o-

Ryujin menoleh pada Beomgyu yang mendudukan diri di sebelahnya. Hanya sesaat dan kembali dia memperhatikan sahabatnya yang asyik bermain air bersama Yeonjun. Jauh dari posisinya yang hanya memilih duduk di batang pohon tumbang di tepi pantai semenjak mobil Yeonjun terparkir di tepi jalan—mungkin sekitar dua puluh menit lalu. Sekedar menikmati angin petang musim semi di bawah sinar mentari yang mulai menjingga tanpa ada niatan mengganggu sepasang manusia yang sesekali mencuri senyumannya.

"Hai, Noona?" panggil Beomgyu tanpa mengalihkan pandangan dari dua insan dalam pelukan mata.

"Hm," dengung Ryujin pun tanpa pergerakan tambahan.

Setelah ratusan jam Shin Ryujin bercengkrama dengan Choi Beomgyu, gadis itu sudah tidak terkejut lagi akan mode apa yang Beomgyu gunakan saat ini.

"Aku minta maaf," ujar Beomgyu tanpa menoleh.

Angin berembus menginterupsi momen mereka. Masih bergeming, Ryujin menutup kelopak itu sesaat dan hembusan napas berat keluar dari kedua belah birainya. "Tidak apa-apa," sambutnya kemudian.

"Terima kasih," balas bayi beruang masih di posisi yang sama.

Kembali hening. Tawa Yeonjun terdengar samar-samar diantara deburan ombak yang tidak berhenti untuk melantunkan melodi nan menenangkan.

"Noona, aku ingin bertanya."

"Apa?"

Beomgyu menunduk. Atmanya kini memandang intens pada bekas kuku Ryujin yang telah ditutup dengan plester. Menyentuh dan mengusap lembut di tempat plester Rilakuma tersebut berada, bayangan senyum Yeji yang tampil setelah memasangkannya pun muncul dalam pikiran Beomgyu.

"Apa bagi Noona, Yeji Noona itu berharga?"

Beomgyu menoleh ke Ryujin seketika setelah mendengar gadis di sebelahnya tertawa kecil. Dia memandang heran side profile Ryujin yang masih menerawang jauh ke depan sana. Merasa Beomgyu masih menatapnya, Ryujin melirik pemuda Choi sekilas.

"Kau benar-benar penasaran dengan itu?"

Beomgyu mengangguk antusias dan berhasil mencuri senyum Ryujin. Dan dalam satu tarikan napas, Ryujin memulai kisah yang terjadi beberapa tahun silam.

"Aku bertemu Yeji saat dia pindah ke sekolahku. Saat itu awal semester dua di kelas satu SMP. Aku tidak mempunyai banyak teman. Mungkin, dari satu kelas hanya beberapa yang mau berkomunikasi denganku, tapi tidak selalu. Aku suka menyendiri. Sedikit takut untuk bersosialisasi karena trauma. Hehehe." Ryujin tertawa sendiri mengingat masa itu.

Dahi Beomgyu mengernyit dalam. Begitu menghayati cerita Ryujin. Ia sedikit memiringkan kepala ketika si story teller menyinggung kata 'trauma' .

"Ada temanku yang lain, waktu SD, dia bilang kalau aku terlalu galak, suka mengatur, pokoknya bukan anak yang baik untuk dijadikan teman—"

"Itu memang benar, sih," batin Beomgyu menginterupsi seraya mengalihkan wajah. Jujur saja, dia ingin tertawa mendengar itu.

"Ibu juga mengatakannya. Hehehe," lanjut Ryujin diakhiri sebuah tawa. "Itu sebabnya aku lebih memilih untuk menyendiri. Kau tahu sendiri, 'kan, kalau aku sudah bicara? Apalagi, saat badmood."

"Iya. Itu sangat buruk," sambung Beomgyu. Kepalanya mengangguk tanpa beban.

"Hehe. Apa seburuk itu?"

Fokus ain mereka menyelami satu sama lain. Beomgyu kemudian mengedikkan bahu. "Entahlah."

Èvasion • Yeji&YeonjunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang