4.

14 7 1
                                        

"Tuan Grabber Leixin".

Dua pria dengan jaket hitam datang menghadap sosok yang di maksud.

Ayah.

Aku membuang wajah, menyaksikan bagaimana rupa pria itu sekarang membuat ku merinding.

Pembunuh.

Aku menepuk-nepuk bahu kiri nenek yang menangis tersedu-sedu, nenek memelukku, melampiaskan kenyataan pahit ini dalam dekapan ku.

"Kami dari pihak kepolisian, beberapa bukti sudah kami temukan dari tempat kejadian, anda dianggap tersangka utama disini, maka dari itu, anda harus ikut bersama kami untuk dilakukan pemeriksa-".

"Aku tidak membunuh nya, aku tidak membunuh nya pak, saya melihat nya, saya melihat kejadian nya, anak itu, anak tidak tahu diri itu menikam istri saya".

Ayah menunjukku, menyakinkan polisi tentang kepalsuan yang dibuat nya, tubuh nya gemetaran, sorot mata nya ketakutan melihat diriku.

"Dia, dia ingin membunuh saya pak, karena istri saya berusaha melerai kami, dia menusuk istri saya, dia menusuk ibu nya sendiri", telunjuk pria itu terus mengarah ku, wajah nya berkeringat.

Tangan ku terkepal, tubuh ku bangun dari kursi, melepas pelukan nenek, berjalan cepat, melemparkan satu pukulan tepat di wajah nya, menarik kerah baju nya, memaksa wajah busuk ini kembali menghadap ku, memukul nya kembali, dengan kekuatan yang tersisa ku jatuhkan tubuh hina ini menghantam lantai, badan ku tindih kan di atas nya, melampiaskan seluruh amarah yang ku tahan selama ini.

"Karena kau! Karena kau! Ibu ada disini! Karena kau, ibu sakit-sakitan! Karena kau ibu terus menangis! Ayah? Ayah apanya! kau, kau bahkan tidak pernah peduli, kau bahkan.. tidak pernah ada, kau tidak pernah ada saat kami membutuhkan mu!".

Nenek berlari, memelukku dari belakang, dua pihak kepolisian ini melerai, mereka menahan tangan ku yang tidak berhenti melempar pukulan, memisahkan ku dari pembunuh yang menghancurkan segala nya.

Tangis ku pecah, badan ku lemas, nafas ku tidak terkendali, memaksa lepas dari pelukan ini, aku ingin memukul nya, memukul pembunuh itu.

"Kenapa! Kenapa tidak kau saja! Kenapa, kenapa harus ibu! Kenapa harus ibu! Brengsek!", Aku memberontak, melepas pelukan nenek, berlari mengejar pria yang berjalan pergi dengan dua polisi di samping nya.

Dom menahan ku lalu menarik tubuh ku pada pelukan nya, membungkam mulut ku agar berhenti berteriak, kemudian menepuk pelan punggung ku.

"Dia akan mendapat balasan nya, nak, dia pasti akan mendapatkan nya, paman dan nenek masih ada disini bersama mu", bisik nya pelan.

"Maaf, kami minta maaf, pendarahan nya sangat parah, ibu anda.."

"..tidak bisa kami selamatkan".

"Anakku, anakku, ini salah ku! Harusnya aku tidak pergi! Harusnya anakku masih hidup!", nenek meronta, berteriak keras.

Dom memeluk ibu nya erat, wajah nya tertunduk, pandangan nya tertutupi oleh rambut-rambut nya yang layu.

"Luna".

Aku mengangkat wajah ku, mendapati wanita muda dengan wajah sembab nya menatap ku lekat.

Grisel Leixin.

Adik perempuan ayah.

"Bibi Gris, ibu-".

Aku tidak melanjutkan, kehabisan kata-kata, terkejut dengan apa yang dilakukan bibi Grisel padaku.

The legend of MereleonaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang