3.

18 8 7
                                        

Ibu menatap ku lekat, tangan nya menggenggam erat pergelangan ku, enggan aku pergi, kemudian berkata bahwa dia tidak apa-apa, sesekali tersenyum kemudian termenung, seperti banyak hal yang tidak bisa ia utarakan.

"Luna", panggil ibu pelan.

Aku mendekat, menatap ibu lembut seolah siap dengan apa yang diinginkan nya.

"Ibu besok harus kembali bekerja, mari kita pulang saja", ibu berkata padaku.

Aku menggeleng, "aku akan menggantikan ibu besok".

Ibu terkejut, "tidak, kau tidak boleh bekerja, jika kau bekerja, bagaimana sekolah mu sayang?".

"Aku bisa membuat surat izin, lagipula aku tidak pernah bolos dan selalu masuk, jadi pasti sekolah akan memberi keringanan padaku, ibu di rumah saja".

Ibu menggeleng, tidak menyetujui, "bekerja itu lelah, ibu baik-baik saja, ibu bisa membuat izin keringanan pada majikan ibu agar diberi waktu istirahat lebih".

"Nenek akan marah ibu, ibu tidak boleh memaksa".

Ibu diam, memang benar, nenek pasti akan benar-benar menentang keinginan ibu yang sangat haus bekerja ini.

Aku bisa beralasan besok sekolah pada nenek, namun bekerja di balik nya, itu akan lebih baik dibanding menuruti kemauan ibu yang memaksa bekerja.

"Luna, maafkan ibu".

"Semuanya akan baik-baik saja ibu, aku bisa melakukan nya".

"Tidak Luna, bukan hanya itu", ibu tidak melanjutkan kata-kata nya melainkan membuang wajah ke sembarang arah, mata nya berkaca-kaca, kepala nya terangkat meratapi langit, seolah menolak tangisan untuk luruh mengaliri wajah nya, kemudian menatap ku.

"Ibu tidak tahu harus berkata apa, ibu bodoh, semua nya gagal, ibu selalu gagal untuk melakukan nya, Luna".

Ibu tidak lagi dapat menahan tangis yang terus berusaha pecah, wanita di hadapan ku menangis, terisak-isak, tubuh nya gemetar, nafas nya tersendat-sendat akibat tangisan yang keluar begitu menyakitkan.

Aku memeluk nya, memeluk erat hingga diri ku tenggelam pada hati yang tersayat dengan pedih, menyaksikan betapa hancur nya ibu, wanita yang selalu berjuang untuk bahagia bersama ku.

"Anakku, anakku tidak mati!, Dokter, katakan! Anakku, dia tidak mati kan?".

"Maaf, kami-"

"Ibu, sudah cukup, Yola akan sedih melihat ibu terus seperti ini".

"Tidak! Dia masih hidup! Dia masih hidup!".

Aku menutup pintu ruangan kamar ibu, sepertinya aku tidak dapat meloloskan diri ku dari rumah sakit, ku urungkan niat ku yang ingin mencari angin, lalu berpura-pura duduk di kursi-kursi depan ruangan.

Seorang wanita tua yang berusaha menyakinkan semua orang bahwa putri nya masih hidup, aku tidak berani melihat, sudut pandang ku dapat menerka situasi di sebrang sana yang begitu kacau.

Seorang ibu yang memukul-mukul lantai, petugas rumah sakit sudah mulai menyerah untuk menenangkan nya, begitu pula dengan keluarga nya yang hanya berdiri menutupi hidung dan mulut mereka dengan tisu atau pun sapu tangan.

"Keluarga nya memutuskan untuk memberi suntik bius pada wanita itu, mereka bilang ibu nya sedikit mengalami gangguan jiwa", perawat di hadapan ku berbicara pada perawat yang lain.

"Dia memanggil-manggil anak nya, ku dengar dia korban kecelakaan sore tadi ya?".

Apa katanya? Tadi sore?

The legend of MereleonaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang