Bab 1 - Ceceran Darah Misterius

615 28 6
                                    


Kesunyian malam itu pecah saat kereta api Cikuray jurusan Pasar Senen tiba di stasiun Garut. Semesta, salah satu penumpang yang sama sekali tidak bisa memejamkan mata sejak lima jam lalu itu pun akhirnya turun. Menyambut dinginnya udara kota Garut yang membelai kulit mulusnya. Stasiun Garut yang megah membuat Semesta takjub dan melupakan sedikit gundah yang dia rasakan.

Perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan ojek. Pengalaman pertama yang luar biasa, hanya ini yang bisa dia lakukan agar tidak terlacak Aziz, lelaki yang hampir menikahinya. Sayang pengkhianatan membuat semua rencananya hancur, Semesta memilih untuk menenangkan diri ke Garut tanpa membawa apa-apa kecuali sekoper pakaian. Jarak tempuh menuju jalan kecamatan kampung Pasir Maung ternyata kurang dari tiga puluh menit dari stasiun, mungkin karena ini dini hari.

Namun, itu bukan perjalanan terakhirnya, pengendara ojek dari stasiun tidak berani mengantarkan Semesta sampai tujuan. Semesta terpaksa mengganti ojek yang mangkal di gapura, pintu masuk menuju kampung Pasir Maung. Angin tidak bertiup kencang, tetapi udara terasa semakin dingin. Pakaian tipis yang biasa Semesta kenakan di Ibu Kota rasanya tidak ada gunanya di kota ini.

Lima ratus meter dari jalan kecamatan tidak begitu menakutkan dikarenakan masih banyak rumah penduduk dengan penerangan jalan. Sayangnya setelah itu Semesta hanya bisa melihat jalanan di depannya dengan pencahayaan dari ojek yang dia tumpangi. Di sisi kirinya merupakan tebing dengan jalanan setapak menuju pengunungan, sedangkan di sisi kanannya hamparan pesawahan dengan kerlip-kerlip lampu pemukiman dari kejauhan yang menyerupai taburan gemintang.

"Babacaan, Teh." Pengendara ojek berusia senja tiba-tiba berbicara. Semesta yang mengerti bahwa lelaki itu memintanya berdoa hanya mengangguk, mengeratkan pegangan pada jaket parasut pengendara ojek seraya merapalkan doa-doa. Sebisanya saja karena rasa takut lebih menguasai dirinya, sehingga ayat kursi yang rasanya begitu mudah pun tiba-tiba menjadi susah diucapkan.

Tak lama dari itu, motor yang mereka tumpangi melewati area pemakaman yang sangat luas, beberapa pohon beringin terlihat gagah, mencekam dan kelam. Ada dua pohon yang paling besar, Semesta menebak umurnya mungkin sudah ratusan tahun. Dia lalu membatin, kenapa setiap datang ke kampung ini Semesta bahkan tidak peka dengan keadaan sekitar. Dia biasanya duduk manis di jok tengah mobil sambil memainkan gawainya atau tidur.

Rasanya lega saat pemakaman luas itu berlalu di belakang Semesta, kini dia melihat hamparan sawah di sisi kiri dan kanannya. Keadaan pun tidak begitu gelap karena cahaya bulan tidak lagi terhalang pepohonan. Lalu di depannya Semesta sudah bisa melihat titik-titik lampu pemukiman yang semakin lama semakin jelas tanda bahwa mereka hampir sampai di kampung Pasir Maung.

"Bapak mau balik lagi ke depan?" tanya Semesta saat membayar ongkos ojek.

Lelaki itu tersenyum dan menggeleng, kemudian pamit dan masuk ke gang kecil di seberang jalan tempat Semesta berdiri sekarang. Tinggallah semesta sendiri menggeret koper di jalan menuju vila milik yang diwariskan kepada kedua orangtuanya. Namun sebelumnya perempuan itu berbelok ke sebuah rumah gaya lama yang dikelilingi pagar bambu dan tanaman teh-tehan.

Rasanya tidak sopan datang ke rumah seseorang tanpa mengabari di sepertiga malam. Namun, jika tidak memaksakan diri bagaimana caranya Semesta masuk ke vila sementara kuncinya ada pada Mamang Bilal, adik sepupu sang ayah yang dipercaya mengelola vila keluarganya.

Pada ketukan ketiga, seorang lelaki dengan kaos partai politik dan kain sarung kotak-kotak tergopoh-gopoh membukakan pintu. Rasa kaget tidak dapat dia sembunyikan, lelaki separuh usia itu bahkan menoleh ke arah tanah lapang yang biasa dijadikan tempat parkir oleh keluarga Semesta.

"Neng Semesta, Mamang kira bukan malam ini. Tadi Kakang memang mengabari Neng mau ke sini. Masuk-masuk," ajak lelaki itu. "Mah bangun, Mah, ada Neng Semesta."

"Biarin Mang, Bibi lagi tidur jangan diganggu, aku pinjem kunci aja mau lanjut tidur di vila."

Bilal berhenti sejenak, tangannya membenahi kain sarung yang dia kenakan lalu membuka tirai kamar berwarna merah marun. Lelaki itu terdengar membangunkan seseorang. Benar saja, perempuan tua beruban keluar dari kamar itu dan memeluk Semesta.

"Bibi sehat, Bi?" tanya Semesta.

"Bibi hampir jantungan liat kamu jam segini di sini, kenapa malam banget, ini hampir subuh malah."

"Pengen nyoba naik kereta, Bi. Nyampe stasiun tadi jam satuan." Semesta mengurai pegangan tangannya, kemudian mengutarakan kembali maksudnya untuk meminta kunci vila. Tubuhnya sudah begitu lelah, ingin rasanya segera rebahan dan tidur melupakan semuanya malam ini.

"Belum Bibi ganti spreinya, ayo bibi antar biar dibantu. Kirain besok datengnya, tadi hanya disapu dan dipel saja. Gak bisa ngapa-ngapain lagi, Loli tiba-tiba rewel."

Bilal membawa senter dan juga kantong kresek berisi beberapa lampu, dia memberi kode agar Semesta dan istrinya jalan duluan.

"Loli rewel kenapa, Bi?" tanya Semesta penasaran.

"Dia seperti tahu pemiliknya mau datang," tutur Marni dengan suara lembut keibuan. Loli dan Lili adalah beruk peliharaan Semesta yang dirawat Marni dan Bilal di vila sejak tiga tahun lalu. Asalnya, Semesta merawat mereka di Jakarta, tetapi Loli yang agresif seringkali kabur dan meresahkan warga kompleks perumahan tempat dia tinggal. Akhirnya sang ayah mengambil keputusan untuk memindahkan keduanya ke vila.

Tidak jauh dari rumah Bilal, Semesta tiba di jalanan setapak berbatu menuju vila. Sisi kiri hamparan kolam ikan dengan gazebo di tengahnya. Pagar setinggi bahu orang dewasa membatasi jalan setapak tersebut dengan kolam ikan tadi, di pagar itu terdapat tumbuhan sirih hijau yang merambat begitu subur. Vila berwarna putih dengan bentuk bangunan yang tinggi seperti kerucut sudah terlihat Semesta semakin semangat. Rasa lelah yang dia rasakan karena lamanya perjalanan pun tidak dia rasakan lagi.

Saat Marni membantu Semesta untuk menapaki bebatuan menuju vila, Bilal terlihat kaget dan berlari kecil. Gerbang besi selebar pintu yang biasa dia kunci dengan gembok terlihat dibuka paksa.

"Sepertinya ada maling!" Wajah lelaki itu memucat. Vila yang memang sedikit jauh dari pemukiman warga membuat orang-orang jahat leluasa untuk melancarkan aksinya. Jantung Semesta berdetak kencang, dia melihat pintu vila yang masih tertutup rapat. Sayangnya bukan itu yang menarik perhatiannya, melainkan ceceran darah yang kontras di atas permukaan tegel zaman dulu berwarna oranye muda.

"Ya Allah Gusti!" teriak Marni panik dan ketakutan. Kedua perempuan itu mematung di pinggir kolam, sunyi yang sebelumnya kini menjadi bising. Loli yang berada di kandang sudut halaman terbangun dari tidur tenangnya membangunkan saudaranya yang juga terlelap. Beruk berwarna abu-abu itu mengguncang-guncang pintu kandang seakan ingin keluar dari sana dan menyambut kedatangan Semesta atau memberikan petunjuk kenapa gerbang terbuka dan darah tercecer di teras dan halaman.

TANAH WAKAF [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang