"Loh, Galih? Udah lama nunggu?" Semesta keluar dari kamar dengan handuk kecil di lehernya, tangannya dengan cekatan mengeringkan rambut yang tergerai.Galih menggeleng setelah sesaat lelaki itu terpana ketika Semesta keluar dari kamar. Dari dalam rumah, Semesta melihat kandang Lili yang sudah dipindahkan dekat gerbang. Kebetulan sekali pemuda itu duduk di ruang tamu, Semesta memang belum mengucapkan terima kasih karena Galih sudah menolongnya.
"Enggak, baru selesai pangkas tanaman itu, trus disuruh ngopi sama bibi. Kamu gak apa-apa, kan?" Galih memastikan.
"Gak apa-apa, rasanya seperti mimpi saja, ngomong-ngomong, terima kasih, ya." Galih mengangguk, kemudian meraih kembali gelas yang ada di hadapannya dan meneguk kopi sampai habis. Gerak-geriknya menunjukkan kalau lelaki itu seperti sedang gugup.
"Lain kali hati-hati, untung saja tadi saya lewat. Gak kebayang kalo gak ada orang."
"Tapikan kolamnya enggak dalam, aku lihat tadi Cuma sebatas paha Mamang aja," seloroh Semesta.
"Iya, kalau terjatuh dalam keadaan sadar mungkin ya jatuhnya lucu. Tadi kamu pingsan bahkan sebelum nyebur ke kolam. Saya panggil-panggil gak nyaut, gak noleh dan ada yang gak beres."
Mendengar itu, ingatan Semesta kembali pada wajah nenek yang tersenyum kepadanya. Masih terbayang senyum yang menunjukkan mulut tanpa gigi itu. Dia yakin, kemunculan perempuan tua itu bukan tanpa alasan, perempuan itu hanya belum mampu menerka maksud dari kemunculannya.
"Jika sekiranya merasa gak aman tinggal di sini, kenapa gak tinggal di rumah Mamang sama Bibi saja. Atau suruh mereka menginap di sini," usul Galih.
"Tidak ada perasaan tidak nyaman, kehidupan di Jakarta seribu kali lebih mengerikan dibandingkan di sini. Apalagi sejak kecil kan terbiasa liburan di sini berminggu-minggu. Aman gak masalah, dan rasanya sekarang pun sama."
Galih mengangguk lagi, rasanya ingin membantah. Sebagai orang yang pernah hidup di kota dia mengerti bagaimana kehidupan para perempuan kota yang manja dan tidak mandiri, tetapi semesta berbeda. Kejadian-kejadian mengerikan yang menyambut kedatangannya justru tidak menjadi sebuah alasan bagi perempuan itu untuk meninggalkan kampung ini segera.
"Saya mengerti, kamu simpan saja nomor ponselku, kalau ada sesuatu bisa hubungi." Lelaki itu menyerahkan potongan kertas yang sudah lusuh, berisi sebaris angka yang kemudian disambut Semesta.
"Oke, saya simpan nomornya. Oh iya, Galih, apa Bibi mempekerjakan orang lain di vila ini? Atau pernah melihat orang selain Bibi dan Mamang di sini?" tanya gadis itu penasaran. Dia melihat ke luar rumah dengan sekali lirikan, bibi terlihat sedang memberi Lili makan sementara Bilal tidak terlihat batang hidungnya.
"Gak ada yang berani datang ke sini selain saya. Semua takut sama Mang Bilal, Bibi juga kadang dijauhi, ini karena Mang Bilal. Dia sumbu pendek, terlalu cepat tersinggung, apalagi jika ada orang yang masuk areal kebun jeruk dan tanah wakaf murka pasti."
Semesta mengangguk, kejadian bersama anak-anak kampung seakan meyakinkan cerita Galih, mungkin Semesta bisa bilang kepada sang paman untuk tidak terlalu pemarah seperti itu. Apalagi alasan kemarahannya itu sungguh tidak jelas, tetapi yang membuat Semesta penasaran saat ini adalah Nenek berbaju biru.
"Ehm ... hari ini aku melihat nenek tua pake baju biru. Di dapur, sama di pinggir kolam tadi, sebelum nyebur."
"Neneng Sinden?" Suara Bibi yang ternyata sudah berdiri di ambang pintu mengagetkan Semesta dan Galih.
Semesta melihat Galih tampak pucat, terlebih lelaki itu buru-buru berdiri dan pamit tanpa menjawab atau menanggapi perkataannya. Bibi menghampiri kemudian memberikan segelas air putih kepada Semesta. Semesta yang tidak merasa haus sama sekali hanya menggenggam gelas itu dan menatap sang Bibi.
KAMU SEDANG MEMBACA
TANAH WAKAF [Terbit]
غموض / إثارةInfo pemesanan silakan DM :) Kampung Pasir Maung menjadi tempat pelarian Semesta dari kekecewaan atas kandasnya hubungan dengan sang kekasih. Dia ingin mencari ketenangan di sana, tetapi justru ketegangan yang didapatkannya. Sejak malam perdana Seme...