Bab 11 - Ketenangan Sementara

147 8 0
                                    

Setelah semua ketakutan yang terjadi di Kampung Pasir Maung sirna, pada akhirnya Semesta bisa menikmati liburannya dengan baik. Di pagi hari dia melihat para petani berduyun menuju sawah, sesekali Semesta juga membantu bibi dan pamannya untuk memanen jeruk yang sudah ranum.

Tidak hanya itu, sepulang memberikan penyuluhan tentang pertanian kepada warga Galih biasanya mampir ke Villa membawa hasil panen. Entah itu buah-buahan ataupun sayuran. Dengan senang hati lelaki itu akan memberikan makanan-makanan itu kepada Semesta.

Lalu keduanya akan berbincang sampai sore tiba. Sayangnya kedekatan antara Galih dan juga semesta benar-benar ditentang oleh Bilal. Lelaki itu akan marah-marah jika melihat semesta sedang berduaan dengan Galih. Meski sesungguhnya Bilal tidak memiliki keberanian untuk melarang Galih secara langsung.

"Ta, jangan mentang-mentang Galih Itu kuliah di kota terus kamu mendekati dia atau mau didekati sama dia. Mamang tahu betul dia bukan orang baik."

"Jangan suka menuduh, Mang, Galih itu baik, obrolan kami juga nyambung. Kalau bukan karena dia, masyarakat nggak akan percaya bahwa yang kemarin meneror itu bukanlah Loli. Kalau bukan karena Galih juga aku tetap sedih meratapi kepergian Loli," bela Semesta.

Bilal mendengkus, sayangnya Semesta bukan putrinya jadi dia tidak bisa melarangnya lebih jauh. Cukup memberikan peringatan kepada perempuan itu.

"Mang, kira-kira yang melempar bangkai ayam pas Semesta baru datang ke sini siapa ya?"

Semesta tiba-tiba teringat kejadian ketika pertama kali dia datang ke Vila ini. Rasanya baru kemarin dan bau amis dari darah yang tercecer di lantai masih terasa jelas di penciumannya.

"Jangan ungkit-ungkit sesuatu yang sudah terjadi. Sekarang kita di sini sudah aman, warga juga sudah tentram, meskipun monyet yang jahat itu belum juga ditemukan tapi kami pastikan dia tidak akan kembali lagi."

"Apa jaminannya dia tidak akan kembali?"

"Kami yakin itu bukan sekedar monyet biasa seperti Loli dan Lili. Ada pesugihan yang memuja monyet, ketika melakukan pesugihan itu maka sebagai perjanjiannya si pelaku akan diberi monyet untuk dipelihara. Dan tentu saja minta tumbal."

Bilal mengipasi wajahnya yang penuh keringat dengan dudukuy, atau topi yang terbuat dari anyaman bambu.

"Jadi orang sini ada yang melakukan pesugihan gitu ya?" tanya semesta semakin penasaran.

"Biasanya orang yang ikut pesugihan monyet itu tingkah lakunya juga sama seperti monyet. Wajahnya mirip monyet, bukan mirip dari lahir, tetapi lama-kelamaan wajahnya itu menyerupai monyet. Ciri-ciri lainnya orang itu biasanya suka bicara sendiri dan aroma tubuhnya bau seperti busuk. Meskipun memakai parfum satu botol itu tidak akan bisa menutupi baunya. Dan di kampung ini tidak ada sama sekali warga yang seperti itu. Semua tanpa terlihat normal, tidak ada yang bertingkah laku seperti monyet, tidak ada yang wajahnya menyerupai monyet apalagi berbau busuk dan suka bicara sendiri."

Semesta manggut-manggut, ternyata memang ada kejadian seperti itu. Perempuan itu tidak menyangka Mang Bilal tau banyak tentang dunia gaib seperti ini.

"Mang, kalo Neneng Sinden?" tanya Semesta.

"Dia itu seperti pertanda bahwa kejadian buruk akan menimpa warga sini. Itulah sebabnya ritual perlu diadakan untuk jaga-jaga. Sayangnya kemarin ritualnya gagal dan kejadian buruk itu tetap terjadi."

"Sudah jangan ngobrol terus, kopinya keburu dingin," sela Marni. Dia membawa ubi jalar goreng dan menyimpannya di sebelah kopi Semesta juga Bilal.

"Neneng Sinden beneran mati ditumbalkan?"

"Kenapa kamu penasaran sekali sama dia?"

"Soalnya aku beberapa kali didatangi, perasaanku saat bertemu dia itu seperti saat bertemu dengan orang yang membutuhkan pertolongan. Hatiku tergerak untuk terus mengikutinya kemana pun dia pergi, meski akhirnya aku tidak dapat apa-apa selain kehilangan sosok itu di tempat-tempat tertentu dalam keadaan pingsan."

TANAH WAKAF [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang