Bab 7 - Masa Lalu Neneng Sinden

163 9 0
                                    

Penyelidikan terkait kematian Bah Rus sudah ditemukan. Polisi menyimpulkan bahwa kematian lelaki paruh baya tersebut dikarenakan kecelakaan yang menimpa dirinya ketika sedang menebang pohon mati di kebun jeruk dekat tanah wakaf.

Ada beberapa pohon yang sudah mati dan lapuk, yang tersisa dari pohon itu adalah batang yang tidak lebih dari satu meter dan juga akar. Bah Rus, adalah salah satu warga yang menggunakan tungku sebagai alat untuk memasak sehingga membutuhkan kayu sebagai bahan bakarnya. Tentu saja jika perbuatan itu diketahui oleh Bilal dia akan diamuk, berdasarkan penyelidikan Bah Rus masuk ke area perkebunan dengan mengendap-endap dan memotong kayu dengan tergesa.

Di salah satu sudut kebun dekat dengan pohon mati tersebut ada sebuah kapak berlumuran darah. Sedangkan pada jenazah Bah Rus terdapat luka yang memanjang tepat pada pahanya. Kecelakaan yang merenggut sosok itu terjadi karena korban lemas kehabisan darah. Kasus di tutup meninggalkan sebuah kejanggalan.

"Masih marah sama Bibi?" Semesta melirik kemudian menggeleng dan duduk di sofa dekat dengan dapur. Pada meja di depannya sudah terletak beberapa kudapan khas kampung itu dan juga teh hangat.

"Semesta nggak pernah marah sama Bibi, kemarin Semesta kecewa aja, pada akhirnya ritual juga nggak jadi kan? Dan bukan semesta yang menggagalkan."

"Kami hanya takut ritual itu tidak bisa dilaksanakan, semua dilakukan demi keselamatan kamu, keselamatan kita semua di kampung ini?"

"Yakin demi aku dan keselamatan kampung? Bukan atas dasar kepentingan pribadi Mamang dan Bibi?"

Perempuan separuh usia yang sedang menyiangi sayuran itu tiba-tiba berhenti ketika mendengarkan pertanyaan Semesta barusan. Matanya yang kecoklatan berirobok dengan milik Semesta yang sehitam obsidian.

"Bukan hanya seorang dua orang yang mengatakan pada Semesta kalau itu hanyalah akal-akalan mamang dan Bibi aja. Lagi pula aku kan udah bilang jangan galak-galak sama warga Kampung sini, seharusnya area perkebunan dan juga tanah wakaf pun tidak dipagari."

"Ada banyak alasan mengapa area perkebunan dipagari," potong Marni. Tangan perempuan itu kembali dengan cekatan menyiangi sayuran.

"Yang namanya Wakaf kan harusnya untuk kepentingan bersama, Bi. Kalo Bibi dan Mamang bersikukuh tetap memagari semuanya biar aku bilang aja sama papa biar dia yang nyuruh orang buat bongkar."

"Alasan kamu mau buka pagar itu apa?" Bilal tiba-tiba muncul, wajahnya menunjukkan rasa tidak suka yang begitu besar.

"Vila dan perkebunan terlihat sangat angker, ditambah lagi adanya kemunculan Neneng Sinden, trus kasus kematian Bah Rus. Semua jadi bikin tanah ini makin serem." Semesta bicara tanpa menoleh. Lebih tepatnya menghindar tatapan Bilal yang cukup membuatnya takut, takut karena tatapannya tajam dan mengancam.

Makanan yang disiapkan Marni di meja itu seketika membuat Semesta tidak berselera. Padahal perutnya lapar, sayang perdebatan kecil itu bikin Moodnya berantakan.

"Gini aja, perkebunan tetap kami pagari karena banyak monyet liar, anjing bahkan orang luar kampung yang berniat tidak benar. Meski begitu, mulai sekarang kami akan mengizinkan semua orang kampung Pasir Maung untuk bebas keluar masuk area ini." Marni menengahi, Semesta tahu dia mengatakan itu agar perdebatan tidak terus terjadi.

"Baguslah kalau begitu, kita ini jangan sampai gila hormat," sindir Semesta. Bilal hanya diam lalu meninggalkan ruangan tanpa kata.

"Kamu rapi begini mau ke mana?" tanya Marni, setelah menyadari betapa rapinya Semesta.

"Mau pergi sama Galih, Bi. Mau pasang CCTV di seluruh area Vila dan perkebunan."

Marni hendak menyanggah pernyataan Semesta, tetapi Semesta keburu berdiri dan menyambut kedatangan Galih yang berdiri dan senyum manis di ambang gerbang vila.

TANAH WAKAF [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang