Mitha, Laras, Adji dan Dion bukan hilang tanpa jejak. Mereka justru meninggalkan jejak sebagai pertanda bahwa keberadaannya tidak jauh dari sana.
Sandal jepit milik Mitha tertinggal di sana. Itu sudah cukup dijadikan sebagai petunjuk bahwa mereka memang pernah berada di sekitar sini. Beberapa di antara mereka bahkan ada yang turun ke kolam khawatir salah satu diantaranya tenggelam atau celaka.
Perempuan usia 40-an menggendong anak kecil seusia dua atau tiga tahun, dia menangis di ambang gerbang Vila. Pandangannya lurus ke depan melihat kolam, sawah, tetapi pandangannya itu sesekali menerawang jauh seolah seperti sedang melamun.
Duduk bersebelahan dengan Marni, Semesta hanya bisa melihat dengan perasaan iba. Dia bisa membaca dan menerawang kegelisahan perempuan itu. Kehilangan anak apalagi sudah gadis tentu saja membuat setiap orang tua terpukul. Jika ditanya apakah semesta takut atau tidak maka jawabannya adalah takut. Sudah cukup melihat dua kematian tragis di kampung ini. Semesta berharap tidak ada lagi korban-korban berjatuhan dan dia bisa hidup tenang sampai benar-benar bisa pulang ke ibukota.
"Bi, duduk sini," ajak Marni pada ibunya Mitha.
Perempuan itu menggeleng meski anak yang ada di pelukannya meronta ingin turun dan mendekati kandang Lili. Merasa kasihan Semesta mendekat kemudian meminta izin untuk menggendong anak kecil itu dan membawanya melihat Lili dari dekat.
Anak lugu yang tidak mengerti apa-apa terutama kegelisahan orang tuanya, jangankan ibunya, Semesta pun yang tidak memiliki ikatan darah apa-apa begitu cemas dan khawatir dengan anak-anak remaja yang hilang itu.
Sampai malam tiba, pencarian tidak membuahkan hasil apa-apa. Pada sesepuh dan tertua yang menelusuri kolam demi kolam tidak menemukan adanya anak-anak itu di sana.
Karenanya pencarian akan segera dihentikan tetapi sebelumnya mereka berunding terlebih dahulu membuat rencana untuk melakukan pencarian esok hari.
"Mang Bilal ke mana Bi? Kok gak kelihatan?" tanya salah seorang warga ketika Marni dan Semesta berdiri berhadapan tepat di ambang gerbang bersama ibunya Mitha.
"Lagi ke rumah saudaranya ada perlu, besok pagi atau malam baru pulang."
Bapak-bapak yang bertanya itu hanya manggut-manggut setelah mendapatkan jawaban dari Marni. Galih sebagai ketua pemuda yang memimpin jalannya pencarian akhirnya mengakhiri pertemuan malam ini. Semua orang membubarkan diri hingga yang tersisa adalah kesunyian dan kesepian yang kembali mencekam.
Hilangnya anak-anak itu menjadi perbincangan panjang yang terjadi di seantero kampung. Tidak terkecuali Semesta dan sang Bibi yang membahas kehilangan mereka sebelum tidur.
"Kenapa harus mencari di kolam, sih, Bi? Emang yakin kalau mereka tenggelam? Biasanya kan kolam airnya tenang kalaupun ada yang tenggelam setelah tidak bernyawa maka jenazahnya akan mengapung. Berbeda dengan tenggelam di sungai yang akan hanyut terbawa arus." Sebuah pertanyaan mendesak di benak Semesta. Dirinya yakin orang awam sepertinya juga pasti memiliki pertanyaan yang sama.
Marni memperbaiki posisi selimut yang hendak dia gunakan bersama semesta.
"Itulah mengapa Mang Bilal cerewet melarang seluruh warga mendekat ke area ini. Mang Bilal sebenarnya ingin menutup akses ke kolam-kolam yang ada di sini kemudian tanah wakaf ini pun dia ganti dengan tanah yang lain yang bisa mengeluarkan sumber air."
"Maksudnya gimana, Bi? Kenapa mengganti tanah Wakaf?"
Marni tidak jadi berbaring dia duduk sambil menunduk. Kemudian menceritakan tujuan sebenarnya kepergian Bilal malam ini, tidak hanya mengantarkan keris saja melainkan mencari orang yang bisa menentukan mata air yang bisa dibor kembali. Bilal memiliki tabungan yang cukup untuk membiayai seluruh pelimpahan tanah wakaf ke tanah yang baru.
KAMU SEDANG MEMBACA
TANAH WAKAF [Terbit]
Mystery / ThrillerInfo pemesanan silakan DM :) Kampung Pasir Maung menjadi tempat pelarian Semesta dari kekecewaan atas kandasnya hubungan dengan sang kekasih. Dia ingin mencari ketenangan di sana, tetapi justru ketegangan yang didapatkannya. Sejak malam perdana Seme...