Entah ritual macam apa yang dilakukan oleh Bilal, Marni dan beberapa orang yang dipercaya lelaki itu. Yang pasti segala macam sesajen yang dibeli Bilal dan ditata Marni di kampung disiapkan dengan sebaik-baiknya. Taburan bunga tujuh rupa disebar dan dihamparkan di vila berlantai tegel. Lili dan Loli sengaja diungsikan terlebih dahulu tepat di depan rumah Bilal dan Marni, Semesta hanya bisa melihat kedua hewan kesayangannya dari balik kaca bertirai jaman dulu. Semua pintu terkunci dari luar sehingga tidak ada akses Semesta untuk keluar sekadar menghampiri Lili dan Loli.
Kedatangannya ke Pasir Maung untuk memulai hidup baru yang bahagia dan melupakan semua kesedihan atas pengkhianatan. Melarikan diri dan membuang semua duka lara yang disebabkan dua orang yang telah dia percaya seumur hidupnya. Nyatanya, serangkaian kejadian ini membuat Semesta semakin nelangsa dan sengsara. Lampu redup yang menerangi rumah itu pun menambah kesan melankolis yang dirasakan Semesta saat ini. Ditambah Bilal sengaja mengurungnya karena keberadaan Semesta dikhawatirkan akan mengacaukan ritual pengusiran Neneng Sinden. Semesta tidak bisa minta tolong kepada siapa pun dikarenakan provider telekomunikasi yang dia gunakan tidak menangkap signal yang optimal.
Tidak kehabisan akal, Semesta menuju bagian belakang rumahnya, sebuah dapur yang cukup luas dengan kompor gas di sisi kanan sedangkan di seberangnya tungku kayu bakar yang masih sangat tradisional. Ada sebuah pintu akses keluar yang berhadapan dengan kamar mandi. Semesta berusaha membukanya meski ternyata sulit, berusaha terus mengguncang pintunya berharap bisa terbuka.
“Mang, Bibi, buka deh, masa aku dikurung gini?” Meski rasanya percuma, tetapi Semesta terus berusaha sampai akhirnya dia menyerah. Kembali ke ruangan utama dan melihat dua monyet kesayangannya terikat dengan rantai pada pohon jambu.
Sementara itu di vila, Bilal dibantu dengan lelaki tua yang dipercaya sebagai orang pintar pengusir makhluk halus mengadakan ritual itu. Beberapa kendi berisi kemenyan dan kembang diletakkan di penjuru vila sedangkan sebuah tampah dengan sesajen utama hendak mereka letakkan di tanah wakaf tepatnya hilir tempat air mengalir menuju pesawahan dan perkebunan warga sekitar. Salah satu tempat yang dipercaya angker dan tidak ada seorang pun yang berani datang ke tempat itu kecuali Bilal.
“Kang, jangan terlalu lama, kasihan Semesta di rumah sendirian.” Marni gelisah sesekali menatap langit yang tidak terasa hampir menggelap, melakukan hal itu dari siang hari sampai menjelang malam. Di kejauhan dia melihat petani berduyun menyusuri pematang sawah pertanda hari akan berganti menjadi malam.
“Jangan sampai ritual sakral ini gagal gara-gara kita buru-buru, tenang, semua harus dikerjakan dengan telaten. Ingat kemunculan Neneng Sinden udah ngambil satu nyawa, jangan sampai ada nyawa lainnya yang ikut melayang.”
Marni mengangguk patuh, dia merinding kala mengikuti suami dan Mbah yang memandu proses ritual, mereka melewati jalanan memutar dikarenakan kebun jeruk yang biasa dilewati menuju sumber air di tanah wakaf masih diberi pembatas garis polisi yang tidak bisa dilalui karena masih dalam proses penyelidikan.
“Awas kakimu keserimpet akar pohon, nanti kecebur kayak Semesta kemarin itu.” Bilal berhenti, sejujurnya yang dia khawatirkan bukanlah kaki Marni, tetapi apa yang Marni bawa. Perlahan Marni menyerahkan nampan itu dan berjalan di pematang kolam dengan hati-hati, tanahnya memang tidak padat dan cenderung mudah bergeser.
Mbah-mbah yang membawa kendi berisi kemenyan berjalan di depan, dengan jampi-jampi yang dia percaya bisa mengusir bala dan malapetaka. Ritual ini memang harus diadakan saat sareupna, waktu di mana matahari hampir tenggelam. Waktunya dianggap tepat karena gerbang antara dua dunia sedang terbuka dan menjadi momen di mana mereka yang tak kasat mata melintasi dua dunia itu.
Lelaki tua yang membawa kendi sambil membaca jampi-jampi itu berhenti sejenak, seperti ada keraguan di sana. Langkah yang semula tergesa karena dikejar waktu kini terhenti, bersamaan dengan itu sesosok makhluk kecil muncul dan berlari menuju arah Mbah. Tiga orang yang ada di sana seakan terhipnotis tidak bisa melakukan apa-apa. Kejadiaannya begitu cepat, sosok kecil yang ternyata monyet persis Lili itu mengacak-acak kendi yang dibawa Mbah sampai terjatuh dan pecah. Tidak habis sampai di situ, monyet itu pun menyambar tampah berisi sesajen utama, berisi bakakak ayam, telur ayam kampung, kopi hitam dan sajian lain yang dipersiapkan dengan apik.
“Huss! Sana pergi, sana pergi!” usir Bilal, berusaha merebut ayam yang dipegang tangan berbulu.
Marni ketakutan, pengalamannya mengasuh Lili dan Loly membuat dia bertindak mengambil ranting kering di bawah pijakan kakinya. Lili dan Loly biasanya ketakutan jika Marni mengancamnya dengan ranting atau pun sapu. Namun kala ranting itu ditujukan tepat di hadapan wajah monyet beringas itu perlawananlah yang Marni terima. Ayam yang ada di genggaman binatang kecil itu dilepas sampai Bilal terjungkal dengan posisi terlentang, kepalanya berada di ambang kolam. Bahkan rambut putihnya hampir menyentuh air kolam yang tenang.
Dengan sigap, Mbah meraih kaki Bilal agar lelaki itu tidak tercebur. Marni berusaha terus memukulkan ranting ke arah monyet sambil berteriak minta tolong. Segalak-galaknya Loli dan Lili monyet ini lebih galak, menyeringai menunjukkan gigi-giginya yang kecil dan tajam.
“Heh, lepasin, pergi kamu, pergi. Toloooong!” teriakan Marni semakin lantang, monyet terus menyerang dengan beringas, sementara Bilal dan Mbah tidak bisa menolong karena jika pegangan tangan Mbah dilepaskan Bilal masuk ke kolam dengan posisi kepala lebih dahulu.
“Bi!” Dari arah lain, terdengar suara Semesta, diikuti Galih yang berlari tergesa.
Saking paniknya tidak ada pertanyaan bagaimana caranya Semesta bisa keluar rumah, sementara Marni yakin sudah mengunci semua pintu agar perempuan itu tidak bisa keluar untuk menggagalkan ritual yang begitu penting ini.
Galih berlari seraya membawa sepotong batu bata, mengusir monyet yang terus menyeringai dengan ganas. Merasa kalah jumlah, monyet itu melipir lalu pergi melompat ke arah perkebunan milik warga. Galih dengan sigap membantu Mbah untuk menaikkan Bilal dan Semesta memeluk Bi Marni yang ketakutan karena serangan monyet itu. Sesajen yang disiapkan berserak di tanah, maka dari itu Semesta tidak lagi butuh penjelasan. Rencana untuk menggagalkan ritual itu tidak terlaksana, karena monyet kecil yang galak sudah mendahului Semesta dan Galih.
“Bagaimana caranya kamu keluar rumah?” Bilal bertanya dengan wajah garang, tidak peduli pakaiannya kotor penuh dengan ranting kering dan tanah.
“Saya tadi dengar Semesta minta tolong, saya pikir dia terkunci di dalam,” ucap Galih.
“Lagian ngapain, sih make dikunci. Kalau Tuhan sudah berkehendak, gak perlu aku yang gagalin, tuh pertolongannya selalu ada dari mana saja!” ketus Semesta.
“Kamu tidak akan mengerti,” ujar Bi Marni. Semesta menepis pegangan tangannya lalu berjalan menjauh.
“Ini demi keselamatan kita semua, kamu, lain kali gak perlu ikut campur,” peringat Bilal. Galih mengangguk lalu mundur dan mensejajarkan diri dengan Semesta.
“Malam ini aku kembali ke Vila,” cetus Semesta.
“Tapi-“
“Gak ada tapi, aku berada di tempat milik orang tuaku, bukan tempat orang lain,” tegasnya, lalu pergi meninggalkan semuanya di tepi kolam. Dia marah karena harus menuruti hal-hal tidak masuk akal yang terjadi di sini.
KAMU SEDANG MEMBACA
TANAH WAKAF [Terbit]
Mystery / ThrillerInfo pemesanan silakan DM :) Kampung Pasir Maung menjadi tempat pelarian Semesta dari kekecewaan atas kandasnya hubungan dengan sang kekasih. Dia ingin mencari ketenangan di sana, tetapi justru ketegangan yang didapatkannya. Sejak malam perdana Seme...