Bab 2 - Perempuan Tua Berbaju Biru

280 12 1
                                    


Seperti balita yang baru saja bertemu ibunya setelah sekian lama, Loli dan Lili menempel pada semesta. Loli si beruk jantan bergelantungan di kaki Semesta sementara Lili lebih tenang dan duduk di pangkuan Semesta. Bi Marni dan ibu-ibu yang hendak salat subuh di masjid berduyun menonton kejadian yang baru saja mereka alami. Galih, ketua pemuda kampung Pasir Maung beserta ketua RW dan perangkat kampung lainnya melakukan investigasi sebelum melaporkan ke pihak berwajib.

Darah yang berceceran mulai dari pintu gerbang sampai teras untungnya bukan darah manusia. Setelah Bilal memanggil petugas ronda yang bertugas di pos, mereka berdatangan karena semua mengira kejadian yang terjadi adalah perampokan. Nyatanya, pintu masih terkunci dengan baik. Meski salah satu loster kayu di atas pintu yang berfungsi sebagai ventilasi rusak. Bagi Semesta, kejadian ini lebih mengerikan dari sekadar perampokan. Loster kayu yang koyak seperti dihiasi dengan bercak-bercak merah yang hampir mengering.

Saat bilal membuka pintu yang terkunci, disaksikan para pemuda dan perangkat kampung terpampang jelas apa yang ada di ruangan tamu vila. Semua memekik, ada yang memalingkan wajah karena ngeri dan jijik.

“Duh Gusti, apa lagi ini?” jerit Marni diikuti dengan teriakan-teriakan parau Loli dengan matanya yang melebar dan juga mulutnya yang terus terbuka menampakkan gigi-gigi kecil yang tajam.

Semesta mendekat, dia pilih pijakan agar tidak menginjak darah. Tepat di meja klasik yang terbuat dari marmer peninggalan jaman penjajahan, bangkai ayam yang sudah koyak teronggok begitu saja. Tidak hanya itu, Semesta juga melihat dua yang lainnya di lantai.

“Itu di lempar lewat sana?” tanya salah seorang pemuda. Semua sontak melihat ke arah loster. Ukurannya memang memungkinkan ayam-ayam itu di lempar melalui lubang tersebut. Semesta mendekat tanpa rasa takut, ketiga ayam berbulu hitam itu sudah dalam posisi disembelih. Satu di antaranya mengenaskan seperti dikoyak binatang buas.

“Ayam cemani, ya?” tanya warga yang penasaran.

“Bukan, cemani kan hitam semuanya. Itu kakinya masih biasa aja kayak ayam kampung. Ini kira-kira kenapa ya masukin ayam ke sini?”

Percakapan-percakapan itu Semesta abaikan, dia terlalu lelah setelah menyerahkan Loli dan Lili kepada Marni untuk dikembalikan ke kandangnya perempuan itu menelusuri vila. Bagian ruang tengah gelap tak ada pencahayaan, tetapi barang-barang antik yang disimpan di lemari berkaca masih bisa Semesta lihat karena mendapatkan pencahayaan dari ruangan tamu dan dapur.

Rasa lelah dan keinginannya untuk tidur sirna sudah, perempuan itu menghempaskan punggungnya di kursi jati dengan bantalan busa yang tipis. Dia tengadahkan kepalanya dan pejamkan mata sejenak. Bukan melawan lelah fisik yang hampir hilang itu, tetapi otaknya sedang proses semua kejadian sejak dirinya masih di ibukota sampai menjejakkan kaki di tempat yang diharapkan bisa memberikan ketenangan.

Galih, ketua Pemuda kampung Pasir Maung yang kebetulan sedang menjadi petugas ronda mendekati Semesta. Dia memberikan secangkir teh hangat yang sebelumnya dibawa Marni untuk Semesta. Sementara itu perempuan yang masih terpejam dengan suara bising di kepala itu menyadari kedatangan seseorang karena aroma melati dan yang berpadu dengan teh begitu menggelitik indra penciumannya.

“Eh, Kang,” sapa Semesta dengan rikuh. Pemuda berkulit khas pemuda Sunda tersenyum dan memberikan cangkir putih dengan aksen bunga berwarna ungu. Semesta berterima kasih dan mengulurkan tangan menyambut cangkir teh yang masih mengepulkan asap tipis di atas permukaan cairan berwarna cokelat itu.

“Saya Galih, dulu pas kecil kita pernah tersesat di kebun bambu sana,” ungkap Galih.

“Galih?”

“Iya Galih putra pak Jejen.”

“Oh. Aa yang itu, iya-iya ingat. Duh makasih ini tehnya,” jujur Semesta. Teh yang nikmat itu membantu Semesta menghangatkan tubuhnya yang hampir beku.

“Janggil Aa apalagi, Kang, panggil Galih saja," usul Galih, Semesta hanya mengangguk. "Itu teh dari Bibi Marni, tadi saya bantu bawa ke sini sekalian ada yang mau disampaikan.”

Galih membenahi ikat kepalanya, lalu minta izin untuk duduk di kursi sebelah. Semesta mengizinkan kemudian siap mendengarkan apa yang akan dikatakan Galih.

“Ini, kejadian ini atas usul Pak RW tidak usah bawa-bawa polisi, nanti ribet. Mamang Bilal nyuruh minta izin dulu sama kamu karena dia tidak berani ambil keputusan karena posisinya sekarang ada kamu yang lebih berhak di sini.”

Teh yang masih panas itu kembali dia sesap, sedikit demi sedikit seperti menikmati teh yang sangat berharga di salah satu Tea House di Jakarta.

“Yakin kejadian ini gak bakal terulang? Masa saya datang ke sini disambut beginian, gak asik banget.”

“Saya pastikan ini gak akan terulang, kami yakin ini orang iseng yang kesal sama Mang Bilal. Posisinya kan gak tau juga bakalan ada kamu ke sini. Tadi bapak-bapak dan pemuda juga bisik-bisik, katanya biar jadi pelajaran buat Mang Bilal abisnya terlalu angkuh, sih.” Kalimat terakhir Galih ucapkan dengan berbisik. Semesta mengintip sedikit, memang terlihat jelas kalau Bilal masih terkejut.

“Selama keamanan saya terjamin, oke gak masalah.”

“Jika ingin yakin, kamu bisa pasang CCTV di depan, hubungi saja saya nanti. Saya ada kenalan kang CCTV di kota.”

Semesta mengangguk dan meletakkan cangkirnya, lantas dia berdiri. Bukan maksud mengusir, tetapi dia tidak nyaman ngobrol berduaan meski di luar dan ruang tamu masih banyak orang. Melihat Semesta berdiri, Galih mengerti, dia mengikuti dan pamit untuk berbaur dengan yang lainnya.

*

Jika ditanya berapa lama Semesta tertidur, dia jelas tidak tahu. Yang pasti, saat terbangun hari sudah sangat terang dan dirinya sangat segar. Keriuhan yang terjadi dini hari tadi kini kembali senyap, hanya kicau burung dan suara goncangan pintu kandang Loli.

Semesta menggapai nakas untuk mencari kacamata, sayangnya ketika berhasil meraihnya benda itu tergelincir dan jatuh ke bawah tempat tidur.

“Sial banget sih hidupku.”

Dia beranjak untuk mengambil minum di dapur, dengan penglihatan minim tanpa kacamata. Di sudut ruangan dapur persis sebelah pintu samping Vila, berdiri sosok perempuan tua dengan busana setelan biru langit.

“Bi, Marni?” panggil Semesta.

Perempuan itu tetap diam menatap Semesta lekat-lekat. Dari jarak dekat barulah Semesta menyadari, perempuan tua berbaju biru itu bukanlah sang Bibi. Dia menghentikan langkahnya berusaha mengerjapkan mata untuk memastikan. Sayangnya saat dia kembali membuka matanya sosok itu menghilang.

TANAH WAKAF [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang