"Semesta, Bibi mau bicara," ucap Marni setelah Miad pergi menyusul keluarga Adji.
Marni yang sudah terlihat segar menuntun keponakannya untuk bicara empat mata di tempat yang dia anggap aman.
"Mamang dikejar warga," ucapnya pelan.
"Dikejar gimana?"
"Karena dia pelaku dari semua teror ini." Suara lantang di ambang gerbang membuat Semesta dan Marni berpaling. Perempuan itu mengerutkan kening dan menatap Marni juga orang itu bergantian.
"Kalian salah paham, tidak seperti itu, justru kami sedang menyelamatkan kampung ini dari teror. Ada yang melakukan pesugihan dan minta tumbal di sini. Percaya pada kami." Marni berkata dengan suara gemetar.
"Kalaupun perkataanmu benar, maka itu adalah kalian. Buktinya sesajen-sesajen itu dan semua kelakuan kalian yang bikin resah. Neng Semesta, kalau saja tadi kami gak liat kalian berantem masalah tanah wakaf, kami gak akan yakin dengan ini."
Semesta hanya diam, dia berusaha mencerna sebaik-baiknya karena dia tidak mau berdiri di pihak yang salah. Meski Bilal dan Marni adalah kerabatnya, saudara dekat kedua orangtuanya, jika mereka salah, Semesta tetap kan menyalahkan mereka. Sudah cukup bukti bahwa Bilal nyaris mengganti tanah Wakaf yang luas dengan tanah sepetak yang dia miliki dengan dalih warga hanya butuh air. Padahal tidak hanya air banyak sekali manfaat dari tanah itu untuk pertanian warga.
"Tolong percaya sama kami, Semesta. Kalau bukan kamu yang akan percaya dengan kami siapa lagi? Semua orang sudah meragukan kesaksianku, kini pamanmu dalam bahaya, bibi khawatir orang-orang akan menyiksa dia atas tuduhan yang tidak pernah dilakukannya."
Semesta melepaskan pegangan tangan Marni. "Tadinya aku mau percaya sama kalian, tapi dari serangkaian peristiwa yang terjadi mau tak mau aku harus berada di pihak warga. Ada banyak kejanggalan yang menjadi perang batin ku, Bi. Termasuk hilangnya Loli sementara kandang tetap terkunci. Emangnya Loli monyet gaib yang bisa keluar begitu saja? Ditambah lagi CCTV yang baru saja dipasang kini sudah tidak berfungsi."
Marni menangis, dia terduduk di kursi depan Vila. Suasana itu diinterupsi dengan kedatangan keluarga Adji. Perempuan berusia 40 tahunan terlihat begitu bersemangat dengan lelehan air mata di pipinya. Kehilangan anak selama lebih dari dua hari membuat dia semangat untuk datang ketika dikabarkan bahwa Adji baik-baik saja.
"Adjiii!" teriak perempuan itu. Semesta keluar dari area Vila dan menghampiri pertemuan yang mengharukan itu. Adji belum sepenuhnya sadar, tetapi matanya yang semula nyalang kini bergerak mengikuti sumber suara.
Pemuka agama yang ikut datang ke area gazebo atas kolam itu membaca doa-doa. Kemudian meniupkannya pada segelas air yang tersedia di sana.
"Berikan padanya, usapkan sebagian di kepala dan juga wajahnya. Jangan lupa telapak tangan dan kakinya," perintah ustaz yang biasa dipanggil Ceng Amin itu.
Dengan tangan gemetar, Ibu Adji melakukan semua perintahnya.
"Ceng Amin, itu di tangannya ada sesuatu." Rosadi mengungkap hal itu. Dengan mengucapkan basmalah terlebih dahulu Ceng Amin lantas mengambil dua benda yang masing-masing digenggam di tangan kanan dan tangan kiri Adji.
Tangan kanannya memegang kerang besar berwarna ungu, sedangkan tangan kiri seperti sebuah kain lusuh yang terikat dengan simpul tali yang begitu rumit.
"Jangan!" Adji meraih kerang ungu dan menyembunyikannya di balik baju yang lembap. Sementara kain lusuh dengan simpul itu diserahkan kepada Ceng Amin.
"Ini Buhul," ucap Ceng Amin. "Sarana sihir para tukang sihir untuk menyakiti mangsanya, atau sarana meletakkan teknologi alam jin untuk kekuatan sihir."
KAMU SEDANG MEMBACA
TANAH WAKAF [Terbit]
Mystery / ThrillerInfo pemesanan silakan DM :) Kampung Pasir Maung menjadi tempat pelarian Semesta dari kekecewaan atas kandasnya hubungan dengan sang kekasih. Dia ingin mencari ketenangan di sana, tetapi justru ketegangan yang didapatkannya. Sejak malam perdana Seme...