"Sudah saya bilang jangan pernah main ke sini. Dasar anak-anak tidak tahu diatur!" bentakan kasar terdengar dari luar pintu samping vila. Semesta yang sedang kebingungan tentang hilangnya sosok yang baru saja berdiri dekat dengannya teralihkan perhatiannya. Dari suaranya dia tahu itu Bilal, terdengar juga suara anak-anak sepertinya berbuat onar.
Ketika Semesta membuka pintu, di hadapannya terhampar tanaman-tanaman yang ditanam oleh Bilal, di sisi kiri terdapat tanah kosong dan juga hamparan kolam dengan mata air yang selalu mengalir sepanjang tahun tidak mengenal usia. Semesta tidak dapat melihat dengan jelas wajah lima anak yang sedang dimarahi Bilal, yang pasti mereka menunduk ketakutan dengan tubuh mungil yang bergetar.
"Kenapa, Mang?"
Sontak Bilal menoleh, tak lupa dengan lima anak yang mukanya terlihat tampak cerah setelah merasa mendapatkan pertolongan. Satu di antaranya melihat sekeliling seperti sedang mencari peluang untuk melarikan diri. Sisanya melihat Semesta dan Bilal bergantian.
"Anak-anak ini berusaha masuk, mau apa? Nyuri jeruk?" tanya Bilal, suaranya serak mirip seorang entertain yang pernah membawakan salah satu reaity show uji nyali di stasiun TV Nasional.
"Kami lagi nyari layangan putus, gak ada niatan mencuri," bela anak yang paling tinggi.
"Alah, alasan saja. Sudah kubilang jangan pernah injakkan kaki di kebun ini apalagi tanah wakaf dan kolamnya. Celaka tau rasa!"
"Sudah, Mang gak apa-apa. Kalian, lain kali nurut sama Mamang ya, sudah pulang sana!"
Derap langkah anak-anak tanpa alas kaki di tanah kebun itu menghasilkan debu yang mengambang di sekitar kaki mereka. Semuanya berdesakan melalui celah pagar yang agak lebar tempat mereka masuk sebelumnya. Padahal pintu keluar kebun sudah terbuka, tetapi anak-anak itu terlalu sungkan untuk lewat sana karena harus mendekat ke arah Bilal.
"Sudah sering mereka menyelinap masuk kebun, main di sirah cai. Kalau ada apa-apa siapa yang tanggung jawab?" Lelaki itu menggerutu, seraya mendekat ke arah celah pagar untuk memperbaikinya agar anak-anak tidak lagi menyelinap masuk ke sana.
"Emang gak boleh, Mang?" tanya Semesta penasaran.
"Gak boleh! Pokoknya gak boleh!"
Semesta tak lagi bertanya apa alasannya, dia menghampiri pohon jeruk yang tingginya satu setengah kali tinggi badannya, memetik sebuah jeruk Garut yang rasanya segar. Lalu kembali ke dalam dan menutup pintu samping sebelumnya. Di tengah keterbatasan pandangannya, perempuan itu kembali ke kamar untuk mencari kacamata yang tadi jatuh.
Pintu depan tampak masih tertutup, tetapi vila terlihat sudah rapi. Dia tahu, mungkin sang bibi sudah merapikan semuanya. Manakala membuka pintu sosok berbaju biru yang semula berdiri di ambang pintu dapur kini terlihat di antara tanaman hias dekat kandang Loli. Kali ini lebih jelas mengingat Semesta sudah mengenakan kacamatanya.
"Bu, maaf ada yang bisa saya bantu?" suara Semesta sedikit lantang, mengingat jarak mereka cukup jauh. Perlahan Semesta mendekat, dia juga melihat Loli yang tenang seperti biasanya. Padahal, monyet jantan itu biasanya suka kesal melihat atau berdekatan dengan wanita kecuali dirinya dan bibi yang mengurusnya.
Semakin dekat Semesta menghampiri perempuan berbaju biru, semakin menjauh sosoknya, kini terhalang oleh tanaman bougenvil berbunga ungu yang sedang mekar. Melihat kemarahan Bilal ketika orang lain masuk ke area vila dan kebun serta tanah wakaf, dirinya khawatir ibu ini pun akan jadi sasaran kemarahan lelaki yang dikenal arogan dan juga pemarah itu.
Namun ada yang aneh, Semesta seperti berada di alam mimpi yang mana untuk menggapai atau mendekati seseorang rasanya sulit sekali. Langkah demi langkah begitu berat dan keadaan sekitar seperti diam tak begerak. Bahkan semua seperti dihentikan sampai diam membeku, tidak ada angin dan tak ada suara. Perempuan yang tengah penasaran dengan sosok itu pun terus berjalan di atas lantai tegel dengan jejeran tanaman hias dalam pot keramik dan tanah liat.
Semakin dekat kini Semesta bisa melihat dengan jelas wajah perempuan berbaju biru yang ternyata seorang nenek, wajahnya keriput, hampir seluruh rambutnya berwarna putih dan matanya aneh. Dia berusaha tersenyum sambil mendekat, bibirnya tiba-tiba kelu tak sanggup lagi untuk sekadar menyapa nenek itu. Semesta hanya terus berjalan dengan langkah berat. Pada kondisi ini dia tiba-tiba ingin disadarkan, dia harap Loli menghentikannya atau Mang Bilal sekalian.
Alas kaki Semesta tak lagi menginjak lantai, rasanya dia melayang beberapa sentimeter di atas permukaan tanah. Penghilatannya fokus pada sosok di hadapannya, seringai mengerikan dengan mata gentat seperti sendok yang cekung ke dalam. Selain itu pipinya yang keriput seperti tersedot juga, tidak ada gigi di mulutnya, pada titik ini Semesta seperti kehabisan napas, perempuan itu merasaskan dingin di sekujur tubuhnya. Hal terakhir yang dia ingat adalah langit biru dengan gumpalan awan abu-abu. Semesta tercebur ke dalam kolam ikan hias yang persis berada di depan vila.
*
Semesta membuka mata, dia mengerjap karena rasanya sama seperti deja vu, dia merogoh nakas untuk mengambil kacamata. Tidak jatuh, ah ... ini bukan deja vu. Dia menyibak selimut dan mendengar suara bising persis depan kamar. Perlahan, Semesta mengintip dari balik tirai, dia melihat Mang Bilal dan Galih sedang merapikan tanaman bougenvil dan tanaman hias merambat di sekitar kolam.
"Udah bangun?"
Perempuan itu terperanjat, dilihatnya Sang Bibi membawa cangkir teh dan makanan. Semesta mengangguk lalu mengambil cangkir itu dan meneguknya sekaligus. Hangat menjalar melalui saluran cerna, membuat perutnya yang sakit karena kedinginan seketika sembuh.
"Bibi takut banget pas dengar kamu tenggelam di kolam depan, untung ada Galih yang liat, kalau enggak apa yang harus bibi katakan sama Teteh dan Kakang di kota."
"Tenggelam?" tanya Semesta.
"Hampir, Galih mau ke sawah saat liat kamu kecebur kolam, katanya kakimu keserimpet sama tanaman yang merambat itu. Makanya bibi langsung minta mereka buat bersihin tanamannya, bikin celaka."
"Oh ... aku gak ingat apa-apa, Bi. Tapi tadi aku liat ada orang di sana, dekat kandang Lili," ungkap Semesta.
"Gak ada siapa-siapa, Galih sendiri yang memastikan. Kami kira kamu mau ke kandang Lili. Nanti kandannya mau dipindahin aja sekalian dekat kandang Loli. Ini mau makan di sini atau di depan aja?"
"Di depan aja, Bi."
Semesta mengikuti Bibi ke ruangan depan, keluar dari kamar dengan ribuan tanya. Jelas dia melihat sosok itu dua kali, bahkan Semesta masih ingat dengan jelas baju biru yang dia kenakan mirip seperti baju kurung orang Melayu.
KAMU SEDANG MEMBACA
TANAH WAKAF [Terbit]
Misterio / SuspensoInfo pemesanan silakan DM :) Kampung Pasir Maung menjadi tempat pelarian Semesta dari kekecewaan atas kandasnya hubungan dengan sang kekasih. Dia ingin mencari ketenangan di sana, tetapi justru ketegangan yang didapatkannya. Sejak malam perdana Seme...