Malam ini Semesta tidak mau tidurnya terganggu, Dia meminta Marni untuk menyimpan bokor di tempat yang aman. Dia juga menyingkirkan benda-benda yang bisa membuat dia terbangun ketika tidur. Tujuannya hanya satu, semesta berusaha menyangkal atas kehadiran kembali Neneng Sinden yang selalu datang memberi pertanda dengan suara-suara benda jatuh ataupun angin kencang di sekitar Semesta.
Namun usahanya sia-sia, sosok itu tetap datang ditemani dengan angin kencang yang membuat tirai tersingkap. Jangankan bisa tidur dengan nyenyak, untuk menenangkan diri pun Semesta tidak mampu. Apalagi seperti ada orang yang sengaja mengguncang-guncang pintu samping sampai menimbulkan bunyi yang tidak nyaman dan mengganggu dirinya.
Perlahan-lahan Semesta bangun, sengaja tidak mengenakan kacamata agar dia tidak perlu melihat dengan jelas sosok itu. Benar saja pintu samping tempat di mana Semesta keluar mengikuti Neneng Sinden sudah dalam keadaan terbuka. Mulanya dia khawatir ada orang yang masuk untuk berbuat jahat, akan tetapi setelah melihat ke sekeliling ruangan semesta sama sekali tidak melihat siapa-siapa di mana pun. Sebaliknya ketika dia melihat ke arah luar, perempuan dengan setelan baju warna biru seperti berusaha melambaikan tangan ke arahnya.
Ada pergolakan batin dalam hatinya, apakah dia harus mengikuti di ke mana sosok itu pergi, atau menutup dan mengunci pintu kemudian kembali ke kamar dan tidur.
Namun pada akhirnya Semesta mengalah, jika orang-orang sekitar tidak peduli dengan apa yang dia katakan. Semesta yakin bisa menyelesaikan semuanya sendirian.
Dia melangkah dengan penerangan seadanya, terlebih penglihatannya terbatas karena kacamata sengaja dia lepas. Sosok yang seakan-akan ingin diikuti itu selalu hilang di hilir kolam yang berada di areal tanah wakaf. Yang mana sumber mata air ditampung di kolam itu agar seluruh warga bisa memanfaatkan air tersebut dengan sebaik-baiknya.
Lagi-lagi sosok itu menghilang di satu tempat. Semesta penasaran dengan tempat itu, dia mendekat, tetapi nyatanya tidak ada apapun di sana selain tanah yang kering dan di bawahnya merupakan aliran air menuju sawah.
Sebelum dia kembali membawa rasa takut karena serangan monyet bertaring, Semesta berdiam diri sejenak, menunggu siapa tahu sosok yang dia ikuti mau menunjukkan lagi wujudnya. Sayang dia benar-benar menghilang di tempat itu. Pada akhirnya Semesta kembali ke kamarnya, membawa seluruh kejadian menjadi sebuah kegelisahan sepanjang malam.
Menjelang subuh barulah dia bisa memejamkan mata, dalam tidurnya yang tidak panjang itu semesta seperti mendengar teriakan dan tawa orang-orang. Namun teriakan-teriakan dan tawa canda orang-orang itu sepertinya tidak terjadi di alam mimpi. Melainkan berada di luar Vila. Sontak perempuan itu terbangun dan mengambil kacamata, benar saja hari sudah terang, dia melihat Lili sudah bergelantungan di pohon itu artinya Bilal dan Bi Marni baru saja dari sini.
Canda dan tawa serta teriakan itu kembali terdengar, dia buka tirai yang menutupi jendela kamarnya. Ada pemuda dan pemudi yang sedang berjalan menyusuri depan Villa menuju ke area pesawahan.
"Sudah bangun?" Semesta kaget begitu membuka pintu dia sudah melihat Galih yang duduk di teras Vila.
"Lih, dari tadi?"
"Enggak, baru saja. Mau ke penyuluhan ke desa sebelah, tapi Amah nitip ini, dimakan ya."
Semesta menerima sesuatu yang dibungkus oleh kantong plastik. Tanpa bertanya apa isi dari kantong plastik itu Semesta mengucapkan terima kasih. Kemudian Galih pamit, sebelumnya lelaki itu tersenyum dengan begitu manisnya.
Tidak sabar semesta membuka bungkusan itu. Sesuatu yang dibungkus oleh daun pisang yang sudah dipanaskan di atas api. Wanginya begitu menggoda, ketika dia lihat itu adalah nasi ketan yang di dalamnya terdapat taburan kacang merah.
KAMU SEDANG MEMBACA
TANAH WAKAF [Terbit]
Mystery / ThrillerInfo pemesanan silakan DM :) Kampung Pasir Maung menjadi tempat pelarian Semesta dari kekecewaan atas kandasnya hubungan dengan sang kekasih. Dia ingin mencari ketenangan di sana, tetapi justru ketegangan yang didapatkannya. Sejak malam perdana Seme...