Musik Pengantar Hadiah

107 1 0
                                    

Awan putih perlahan menutupi langit biru. Sinar matahari muncul di antara celah awan.

Seorang pria berbaju putih celana hitam duduk di kursi. Layar laptop di depannya membuatnya fokus mengetik bait-bait kalimat.

Namaku Rehan Galih Pusaka, teman-teman biasa memanggilku Rehan. Aku mempunyai nama kecil Lehen. Nama itu diucapkan ayahku ketika aku belajar membaca namaku di umur 2 tahun.

Aku seorang mahasiswa di University of Artistic and Music, Jakarta.

Aku sekarang tinggal di Perumahan elite padat penduduk.

Sejak umurku lima tahun, ayahku pergi meninggalkan kami. Ayah pergi karena tak mampu membiayai hidup kami.

Apalagi dengan kondisi ibuku yang semakin menurun kesehatannya.

Sementara itu, Ibuku meninggal dua tahun yang lalu karena penyakit jantung yang dideritanya.

****

Lima tahun yang lalu. Di suatu pagi terdapat gubuk yang terbuat dari anyaman rotan dan kardus yang terletak tidak jauh dari tempat pembuangan sampah.

Di Dalam gubuk itu aku tinggal seorang diri.

"Han... Rehan!!!", suara teriak terdengar dari luar pintu rumah.

"Han, berkumpul di tempat biasa!!" ucap seseorang yang sama dengan suara lantang.

Setelah sarapan pagi dengan nasi sisa kemarin, aku mengambil celengan dan memecahkannya.

Aku mengambil satu persatu uang yang jatuh di tanah. Hasil yang lumayan berisi uang koin dan beberapa lembar uang kertas.

Aku menaruh uang itu ke dalam tas selempang dan bergegas keluar rumah.

Aku dan Jihan yang sedari tadi menunggu segera menuju pos ronda.

Sesampainya di sana, ada sekitar lima remaja lelaki dan perempuan berbaju kusut dan sedikit kotor membawa alat musik tradisional.

Tak lama kemudian datanglah seseorang yang besar dan tinggi serta senyum yang tidak terukir.

"Hei.. bro. Aku bawa seruling, angklung, gamelan, dan alat musik lainnya.", kata Gani yang berperawakan tinggi besar itu.

Aku mengambil akordeon sementara Jihan mengambil angklung.

Semua alat musik itu milik orang tua Gani yang bekerja sebagai penyewa alat alat musik tradisional maupun modern.

Aku memberikan Gani setengah uang celenganku untuk menyewa semua alat musik itu.

Setelah itu Gani kembali pulang ke rumahnya dengan senyum yang terukir.

Aku dan teman-teman bergerak menuju tempat strategis. Kami mulai menata alat musik di alun alun kota.

Banyak sekali orang yang berlalu lalang.

Pemain laki-laki memainkan alat musik sementara pemain perempuan melenggak lenggokkan badan sesuai irama.

Suara getaran angklung, nada yang keluar dari akordeon, dan percikkan suara marakas memadukan suara yang sangat indah.

Hal ini sudah biasa kami lakukan hanya untuk mencari sesuap nasi.

"Eh semuanya, Kita ganti lagu Es Lilin aja. Rehan cepat mulai memainkan akordeon," kata Jihan dengan tangan keatas untuk memberikan aba aba.

Aku sudah mahir dalam memainkan bermacam macam alat musik. Namun aku sangat tertarik memainkan alat musik akordeon.

Siapapun yang mendengarnya akan tertarik untuk berhenti sekedar melihat tampilan atau bahkan memasukkan uang kedalam kaleng.

Tidak banyak uang yang terkumpul di dalam kaleng saat itu, tetapi cukuplah untuk membeli sebungkus nasi.

Kumpulan Cerpen FiksiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang