Tiga Mangkat Satu Tempo

13 0 0
                                    

Saat itu pagi setengah siang, semua orang sibuk kesana-kemari mempersiapkan acara kecuali perempuan berpakaian toga yang duduk memandang layar gawai di tangannya. Jari perempuan itu sangat lincah membalas setiap pesan yang ada. Tiba-tiba pesan notifikasi muncul dari layar atas gawai yang bertuliskan,

“Kembali Mengenang Momen Kebersamaan”

Tanpa pikir panjang perempuan itu mengetuk notifikasi. Lalu muncul foto beberapa orang yang duduk bersama beralaskan tikar anyaman. Gambaran foto tertanam jelas di benak perempuan itu.

****

Lima tahun yang lalu, aku masih duduk di bangku SMA mendapat kabar mengejutkan. Subuh sebelum fajar terbit, dering telepon memecahkan keheningan pagi. Nenekku yang ada di desa dikabarkan telah dipanggil yang Maha Kuasa. Betapa pilu hatiku yang sedari kecil pulang kampung untuk bertemu nenek setahun sekali saat hari raya. Untung saja hari itu sabtu. Sekolah libur. Tanpa pikir panjang aku dan orang tuaku berangkat ke desa menggunakan mobil yang dipinjam dari tetangga. Keluargaku bukanlah seseorang dari keluarga kaya, bukan pula dari keluarga yang kurang mampu. Harta yang ada hanya cukup memenuhi kebutuhan sehari-hari. Untung saja ada orang baik hati yang ikhlas meminjamkan mobilnya. Perjalanan hanya membutuhkan waktu delapan jam. Selama di perjalanan aku meneteskan air mata tak henti-hentinya. 

Mobil hitam memasuki perbatasan kota disambut dengan replika candi Borobudur di pinggir jalan. Tinggal setengah jam lagi menuju desa di kaki gunung Sumbing. Mendadak hujan mengguyur wilayah tersebut. Air hujan turun perlahan membasahi desa sejuta bunga itu. Setelah melewati jalan yang berbelok tajam terkadang sedikit menanjak, akhirnya mobil berhenti persis di halaman masjid. Masjid besar bercat hijau yang setengah jadi. Tampak tangga dan sisa-sisa kayu hasil renovasi. Pohon tinggi dan besar tumbuh lebat di tengah halaman masjid. Kerumunan orang memenuhi area masjid. Sayangnya mobil tidak dapat masuk di depan rumah yang terletak tidak jauh dari sana. Aku turun dari mobil hendak berjalan sampai ke rumah. Begitu menjejakkan kaki, volume air mataku semakin menjadi-jadi bercampur baur dengan tetesan air hujan. Warga desa menyambut kedatanganku dengan air mata. Tentu saja air mata. Tua maupun muda turut bersedih telah kehilangan sosok yang memiliki gelar “teladan” di desa ini. Warga desa sekitar sudah menganggap nenek sebagai keluarga mereka sendiri. 

Matahari lebih condong ke barat. Kerumunan orang yang tadinya memenuhi pelataran rumah dan ruang tamu mendadak sepi. Hanya tinggal tiga atau empat orang. Isak tangis keluarga sudah tidak tersedu-sedu seperti siang tadi. Perempuan tua dan muda dari keluarga besar berkumpul di atas satu tikar anyaman, berusaha menenangkan diri masing-masing. Mereka sudah ikhlas akan kepergiannya. Kini hanya tinggal kenangan dan kebaikan yang terus mengalir. Munculah anak kecil berusia belum genap satu tahun menghibur suasana dengan tingkah lakunya. Tawa kecilnya bermain boneka kaktus peniru suara membuat siapa yang melihatnya ikut senang. Orang muda dan tua berkumpul menemani anak kecil itu bermain. 

“Fisha, lihat sini. Fisha anak cantik.” kata ibunya sambil menggerakkan mainan kaktus. Tiba-tiba mainan kaktus itu menirukan suara sambil bergoyang.

“Eh… eh.. kaktus kok iso joget. (kaktus kok bisa menari)” kata Mbah Yah sambil tertawa melihat tingkah laku dek Fisha yang menggerakan tangan seperti sedang menari mengikuti kaktus.

Entah apa yang terjadi, seketika raut wajah Fisha berubah menjadi isak tangis. Suara tangis semakin lama semakin keras. Semua orang disekitarnya teringat kembali hanyut dalam duka. 

“Rene boneka ne tak jajal. (sini bonekanya aku coba)” kata mbah Yah menerima boneka kaktus dari tanganku.

“Fisha.. Dek Fisha.. halo hahhhahaha.” kata Mbah Yah di depan kaktus.

Seketika tubuh kaktus itu bergerak ke kanan dan kiri. Suara tiruannya menjadi sangat lucu karena ada suara tertawa. Tangisan Fisha terhenti. Tawa kembali terukir di mulut kecilnya. Begitu pula wajah mbah-mbah di sekelilingnya. Aku melihat senyum dan tawa di wajah saudara-saudara nenek. Lengkap sudah aku tidak memiliki mbah kandung lagi. Kini tinggal mbah Yah dan mbah lainnya yang kuanggap sebagai nenekku sendiri. 

Cahaya matahari pagi menembus awan abu-abu dilangit biru. Hujan semalam membasahi tanah desa itu. Tampak ruang tamu penuh orang yang berdatangan tiada henti. Aku dan keluarga memutuskan mengunjungi makam Mbah Uti. Sesampainya di area makam dengan pemandangan perbukitan, air mataku keluar lagi melihat batu nisan diatas makam Mbah Uti. Aku menabur satu persatu bunga kenanga yang ku petik di halaman rumah tadi sembari mengingat kembali perjuangan mulia Mbah Uti dalam mengajar anak desa membaca Al-Qur’an dan membangun .sekolah. Mbah Uti selalu berpesan kepadaku untuk menolong orang yang sedang kesusahan. Akhlak rendah hatinya akan selalu dikenang warga desa disana. Tak akan pernah lupa.

Aktifitas kembali seperti sedia kala. Sudah lima bulan sejak berita duka itu datang. Aku kembali pergi sekolah dengan raut wajah bahagia. Namun kebahagiaan itu datangnya hanya sementara. Aku kembali mendapat kabar tak terduga. Dek Fisha dan Mbah Yah mangkat menyusul Mbah Uti. Kini aku tidak bisa pulang ke desaku yang sangat tercinta. Ada ujian akhir sekolah yang akan diselenggarakan sebentar lagi. Belum lagi ujian masuk perguruan tinggi. Kali ini Aku hanya bisa mengirimkan doa.

****

“Ananda Atira Rahmayani putri dari bapak.….” kata pembawa acara. 

“Tir, dipanggill itu, maju sana.” kata perempuan disebelahnya menepuk bahuku. 

Aku mematikan gawai dan berjalan ke atas panggung. Selempang merah dengan tulisan dari benang emas menyelimuti tubuhku. Rektor memindahkan tali toga dari kiri ke kanan dan memberi secarik ijazah yang terbungkus rapi dalam map. Aku berdiri diatas podium memberikan satu-dua kalimat di depan khalayak ramai. Semua mata tertuju padaku. Mereka mengapresiasi selempang merah yang kugunakan bertuliskan “cumlaude” ditambah gelar sarjana kedokteran yang kutempuh dengan usia  20 tahun. Aku memegang erat map ijazah seraya memandang ke arah langit, berharap mbah Uti  melihat dari atas sana.

“Lihat mbah. Atira bisa menolong banyak orang dengan cara ini.” ucapku dalam hati.


Kumpulan Cerpen FiksiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang