Untukmu

159 1 0
                                    

"Selamat pagi, jangan lupa tersenyum di pagi hari. Karena senyummu meneduhkan hati." terdengar suara perempuan dari langit-langit kereta api.

"Jaga keselamatan diri. Karena anda orang spesial di hati. Terimakasih sampai jumpa lagi." sambung suara perempuan.

Kereta perlahan bergetar. Bergerak maju menuju arah barat. Satu-dua menit kereta menjauhi stasiun. Pemandangan alam tergambar jelas di jendela kereta di sampingku.

Aku menyangga kepalaku di atas telapak tangan. Aku melihat keluar jendela panorama sawah terbentang luas.

Seseorang perempuan berbaju putih dengan celemek hitam mendekat ke arahku. Perempuan itu mendorong meja troli berisi berbagai makanan.

"Permisi mas, hari ini mau makan apa?" kata perempuan itu.

"Hmm.. Saya mau makan makaroni schaal saja." kataku.

"Kalau minumnya?" sambung perempuan itu.

"Orange squash." kataku.

Perempuan berbaju putih dengan celemek hitam membuka meja lipat di hadapanku. Perempuan itu mengambil mangkuk kecil dan gelas di atas meja troli dan menaruhnya di atas meja lipat.

"Perjalanan anda tinggal satu jam lagi. Selamat menikmati." kata terkahir perempuan itu sebelum pergi dengan meja trolinya.

Aku mulai menyantap dua-tiga sendok makaroni schaal. Rasanya manis dengan perpaduan makaroni, daging dan saus keju. Aku mengeluarkan buku diary didalam tas selempang cokelat di sampingku . Aku mulai menulis di atas buku kecil. Sesekali melihat kearah luar jendela kereta.

"Selamat pagi kekasih. Selamat beraktivitas di pagi yang indah ini. Kita akan tiba di stasiun berikutnya lima menit lagi. Jangan lupa barang bawaan anda." suara perempuan terdengar jelas di langit-langit kereta.

Kereta berjalan perlahan tanda hampir tiba. Suara klakson kereta berdenging keras. Tampak bangunan cokelat berdiri kokoh dari luar jendela. Aku memasukkan buku dan meminum habis gelas berisi orange squash.

Roda kereta berhenti tepat di rel peron tiga. Aku berdiri menyelempangkan tasku. Pintu kereta terbuka perlahan. Aku melangkah keluar dari kereta.

Terlihat ramai orang berlalu-lalang di lobi. Aku keluar dari stasiun untuk mencari becak. Tukang becak telah menungguku di depan pintu gerbang stasiun.

"Mas tampan, mau saya antar?" kata tukang becak memakai blangkon di kepalanya.

"Saya mau pergi ke Malioboro." kataku kepada tukang becak.

"Monggo mas." kata tukang becak memberiku tumpangan.

Aku menelusuri kota bersejarah. Aku melihat bangunan putih khas Belanda di kanan dan kiri jalan. Tampak sekolompok orang berbusana garis-garis cokelat dan hitam lengkap memakai blangkon di kepala.

"Itu ada acara apa pak?" tanyaku pada tukang becak yang sedang mengayuh sepeda.

"Oh itu mau ada acara grebeg." jawab tukang becak.

Perjalanan dilanjutkan. Sampailah di perempatan jalan. Di sebelah kiri terdapat tulisan besar bertuliskan 'Benteng Vredeburg'. Sekilas memori di otakku teringat sesuatu.

Becak memasuki area Malioboro. Tampak tanda nama dengan aksara jawa terpampang jelas di pinggir jalan.

"Mas tampan, kita sudah sampai." kata tukang becak.

"Terima kasih nggih pak. Kembaliannya buat bapak saja." kataku sebelum melangkah jauh.

Pasar berjejer rapi di atas trotoar. Aku berjalan di antara keramaian orang. Aku melihat ada benda menarik perhatianku di salah satu toko. Aku mendekati toko itu.

"Bu, ini harganya berapa?" kataku menunjukkan blangkon yang tertata di atas meja.

"Lima puluh tujuh ribu nak." jawab ibu yang sedang duduk di atas kursi plastik.

"Nggak boleh kurang bu?" kataku.

"Lima puluh ribu aja deh, soalnya masnya ganteng." kata ibu itu sambil tersipu malu.

Aku memberikan selembar uang kepada ibu penjual. Lalu mengambil blangkon di atas meja dan memakainya. Aku melanjutkan perjalanan menuju tempat yang ingin sekali aku datangi.

Aku bejalan kaki cukup dekat hanya lima kilometer. Akhirnya sampai juga di bangunan putih dengan tulisan kecil diatasnya 'Benteng Vredeburg'.

Aku menjejakkan kaki di atas  jembatan kecil yang dialiri air dari ari mancur. Aku membuka tasku dan mengambil kamera hendak memotret pintu masuk dinding putih.

Tanpa sadar sebuah foto jatuh dari tanganku. Aku mengambilnya dari tanah. Foto itu jelas ada di ingatanku. Tergambar foto diriku memakai baju batik dengan latar belakang bangunan putih Benteng Vredeburg.

Dalam foto itu ada perempuan berbaju  kebaya putih lengkap dengan kerudung putih menutupi rambutnya. Perempuan itu berdiri tepat di sebelahku.

Aku memasukkan foto itu kembali kedalam tas. Aku mengambil kamera dan mengarahkannya lurus ke arah bangunan putih. Tampak dari layar kecil kameraku ada seseorang perempuan berkebaya putih berdiri tepat di hadapan kameraku.

"Mas Ardhi udah lama gak ketemu. Ngomong-ngomong blangkonnya bagus." kata perempuan itu mengejutkanku.

Aku terperangah melihat sosok perempuan berbaju kebaya berdiri di depanku.

"Ehm itu, biasa sibuk terus." kataku sambil tertawa tipis.

"Mas, nggak nyangka bisa ketemu lagi." kata perempuan itu.

"Ehm iya. Mumpung disini. Aku mau kasih foto ini." kataku memberikan foto yang tadi jatuh.

"Udah lama ya. Ini foto zaman SMP nggak sih." kata perempuan itu

"Iya mungkin aku lupa-lupa ingat." kataku tertawa kecil.

"Oh iya mas Ardhi sendirian aja?" tanya perempuan itu.

"Iya." jawabku singkat.

"Kamu sama siapa kesini?" tanyaku balik.

"Itu suami dan anakku lagi beli balon." jawab perempuan itu.

Aku melihat kebelakang. Dari kejauhan ada seorang laki-laki tinggi berkulit putih sedang menggendong anaknya yang berumur satu tahun.

"Ohh itu." kataku sambil menunjuk.

"Oh iya mas, aku lanjut dulu ya. Sepertinya anakku nangis tuh." kata perempuan itu dengan senyum tipis diwajahnya.

Perempuan berkebaya putih melangkah jauh dariku. Aku  sedari tadi menggenggam erat kotak kecil di belakang tangan kiriku.

"Ya Nisha, padahal aku jauh-jauh datang kesini mau melamar kamu." kataku sembari menaruh kembali kotak kecil ke dalam tas.

Kumpulan Cerpen FiksiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang