Sejagat tidak mengangkat kepalanya, begitu juga dengan Naga. Keduanya harus menghadiri pemakaman Ankara sebagai perwakilan Lyra yang masih tak sadarkan diri di rumah sakit. Kedua remaja laki-laki itu memang tak saling kenal bahkan belum berkenalan satu sama lain. Namun, hari ini keduanya berdiri bersama-sama dengan tangis yang nyaris sama juga.
“Lo beneran lihat Lyra di kamar mandi? Lo beneran jadi saksi atas kasus ini? Ini pemerkosaan berencana!” kata Naga dengan emosi. Wajahnya yang merah karena tangis dan marah menjadi satu membuat Sejagat terdiam.
“Jawab gua!” bentak Naga, “ini pemerkosaan, ‘kan?”
Sejagat hanya memandang dingin pada Naga yang mengamuk. Remaja laki-laki itu berjalan menjauh dari Naga, ia tak mau mengulang ingatannya. Kalaupun ia harus jadi saksi untuk Lyra, dalam hati ia tidak mau. Namun, jika itu bisa membuat Lyra bahagia di masa depan, Sejagat siap. Naga menarik tangan Sejagat sekuat tenaga, ia mencengkeram kuat-kuat tangan laki-laki itu sambil menatap tajam. Sementara itu, Sejagat hanya mengerutkan wajahnya begitu kecewa.
“Jawab gua, jangan pergi gitu aja!” bentak Naga.
Sejagat mengempaskan tangan Naga dari tangannya. Remaja laki-laki itu mendorong tubuh Naga tersungkur ke belakang. Sejagat memandang dengan tajam. “Kalau lo jadi gua, apa lo bisa menjawab pertanyaan yang lo berikan ke gua? Kalau lo jadi gua apa lo sanggup? Apa lo sanggup menceritakan apa yang lo lihat di saat itu? Ini tentang Lyra, bukan Ankara, bukan!” balas Sejagat sama-sama membentak.
Naga terdiam, ia mati kutu mendengar ucapan Sejagat yang bergemuruh di dadanya. Naga juga tidak bisa membayangkan apa yang Sejagat lihat hari itu dan membuat Lyra masih berbaring tak berdaya di rumah sakit. Naga menunduk tak berdaya.
“Apa pun yang gua lihat, gua nggak akan pernah bilang pada siapa pun, sampai jumpa di pengadilan! Gua pasti dan akan meringkus orang yang udah melukai Lyra!”
Naga tidak menyangka seseorang yang baru mengenal Lyra bisa memancarkan sorot mata penuh kasih dan sayang dalam amarahnya. Pembelaan itu membuat Naga sadar, kalau sosok remaja laki-laki yang baru saja berada di dekatnya itu terlalu istimewa.
***
Lyra berdiri di balik jendela, menutup dirinya dengan tirai. Renjana menjadi rumahnya, setelah melalui masa-masa paling menyakitkan dalam hidupnya. Dua tahun setengah berlalu sejak malam itu, ia tidak menjalani serangkaian kebahagiaan putih abu. Ia memilih homeschooling meski tidak belajar di rumah, melainkan di rumah sakit. Akan tetapi, Lyra merasa bangga ia mampu menyelesaikan tekanan di kepalanya walau tak seindah yang pernah ia bayangkan.
Meski ia masih menyalahkan kakinya kenapa berlari ke rumah bukan ke tempat ramai. Ia pikir rumah akan melindungi, penjahat itu tetap mengejarnya dan menerkamnya di tempat terkutuk itu.
Sejagat membuka pintu kamar Lyra, kata Nushkaela, Lyra tak pernah keluar dari kamarnya selama setengah tahun terakhir ini. Tepatnya sebelum UAS dan setelah UN. Sejagat juga tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk melihat wajah gadis itu, karena setiap waktu ketika ia berkunjung, Lyra selalu berdiri di sana, di dalam tirai. Seperti tak mau menyaksikan bagaimana Sejagat lulus sekolah dan mengejarnya di tangga kedewasaan.
“Gua ada pertandingan, lo mau nonton?” lontar Sejagat pada Lyra yang berdiri kaku. “Gua kangen lo!” imbuh Sejagat sambil berjalan mendekati.
Lyra membalik tubuhnya, kini tampak bentuk wajahnya yang cantik semakin cantik meskipun Sejagat benar-benar tidak bisa melihatnya lagi. Sejagat bediri tepat di hadapan Lyra.
“Gua minta maaf, karena nggak bisa nemenin lo setiap waktu. Tapi jangan khawatir lagi, ya, orang jahat itu lambat laun akan membusuk di penjara!” bisik Sejagat dengan lirih.
KAMU SEDANG MEMBACA
DEPRESWEET | SELESAI✔
Fiksi Remaja[Depresweet | Salam untuk Sejagat] Perdana Publikasi 12 Januari 2023 Publikasi ulang Januari 2024 [Fiksi Remaja] Blurb : Ketika ia bertemu Lyra, sosok yang begitu misterius duduk menangis di ruang konseling. Sejagat berubah pikiran, ia hanya ingin...