Aku menunggu beberapa saat setelah bersandar di punggung ranjang. Bara sama sekali tidak bergerak. Perlahan ku coba untuk melepaskan diri dari Bara.
"Ahh, akhirnya, kupikir akan mati dempet kita berdua." ucapku saat berhasil melepaskan diri. Aku berdiri tepat di pinggir ranjang sambil menatap tubuh Bara yang tengkurap.
"Mati?"
"Bar? Hei?"
"Bara, lo jangan becanda, anjir Bar."Kupukul-pukul tubuhnya dengan guling. Tapi tetap saja tidak bergeming. Tanganku mulai mendekat dan menyentuh badannya. Terasa dingin. Karena takut, kubiarkan Bara di atas ranjang. Aku memilih keluar kamar dan bergegas menghubungi Sandi.
...
...
...Tidak diangkat. Aku lalu mencoba mengiriminya pesan. Tapi tetal saja tidak ada balasan.
"Apa Om masih ada operasinya?"
Aku menatap ke arah kamar, dari luar masih bisa terlihat jelas tubuh Bara di atas ranjang. Aku masih berusaha memikirkan cara untuk memberitahukan ini pada Sandi. Bagaimanapun ini tempat Sandi dan aku tidak tahu apa yang terjadi pada Bara.
Dret
Dret
DretPonsel Bara tiba-tiba bergetar. Tertera di layar handphone nama "Desi". Mungkin teman kantornya atau teman kuliahnya. Aku tidak berani mengangkatnya. Akhirnya kuputuskan untuk menunggu respon dari Sandi saja.
2 jam aku menunggu. Sandi tak kunjung menghubungiku balik dan handphone Bara juga terus menerus berbunyi. Sesekali ada niat untuk mengecek lagi ke kamar, tapi aku terlalu takut. Akhirnya aku memilih untuk mandi dan membersihkan tubuhku. Lagipula sejak berhubungan badan dengan Bara tadi, perutku terus terasa sakit, walaupun samar tapi cukup mengganggu.
"Sebentar, apa karena..", ucapku saat melamun di dalam bathup.
Ada beberapa kemungkinan yang kupikir terjadi pada Bara. Pertama dia pingsan, tapi mustahil hingga 3 jam dia belum terbangun. Kedua dia tertidur, ini terlalu konyol karena aku sudah mencoba membangunkannya tapi tak kunjung ada respon. Terakhir dia mati, dia paling masuk akal, tubuhnya dingin dan kaku.
"Ah sudahlah, setelah ini akan kulihat lagi.", gumamku pelan dan langsung bergegas keluar dari bathup.
"Kok kenceng banget ya?", ucapku di depan cermin sambil mengusap perut buncitku.
"Apa karena hari ini ngewe sama Bara pakai obat kuat ya?"
"Sebentar, obat kuat?"
"Astaga!"Aku panik dan bergegas mencari handphoneku. Mengetikkan sesuatu di laman mesin pencarian untuk mencari informasi apakah obat kuat bisa menyebabnya orang pingsan atau mati.
"...mengkonsumsi obat kuat, sebab selain membahayakan bagi kesehatan juga dapat menyebabkan kematian."
Mataku menatap ke arah kamar sambil menelan ludah setelah membaca penggalan kalimat di salah satu website kesehatan. Aku bergegas mengambil kopi yang kusuguhkan pada Bara dan membuangnya di closet. Kemudian kembali ke kamar dan membalik tubuh kekar Bara yang sudah kaku. Kuletakkan telingaku di atas dada bidangnya, berusaha mendengar detak jantungnya, tapi nihil. Tidak ada. Bara mati. Entah karena ada penyebabnya, aku bukan medis yang bisa menentukannya. Tapi bukan tidak mungkin karena obat kuat itu.
Dret
Dret
DretHandphoneku berdering, panggilan telepon dari Sandi. Sandi tepat waktu, saat ini aku merasa begitu takut.
"Om, hiks hiks om.", aku mulai terisak.
"Adis, hei yaa ada apa? Maaf aku baru saja selesai dengan pekerjaanku. Ada apa?"
"Om, Adis takut. Om tolong Adis."
"Adis tenang, coba jelaskan. Aku dalam perjalanan pulang. Kau masih tetap di apartemen kan?"
"Om, cepat pulang, hiks gimana dong ini om?"Aku menatap tubuh Bara yang tergeletak di atas ranjang sambil terus terisak, sama sekali tidak bisa merespon pertanyaan Sandi. Seseorang mati di depanku, saat bersamaku dan mungkin saja karena perbuatanku.
Sambungan telepon belum terputus, suara Sandi yang terus berusaha menenangkanku masih terdengar disana. Aku hanya berdiri bersandar di dinding kamar sambil terus menatap tubuh kaku di depanku.
15 menit berlalu.
Kakiku mulai kaku karena cukup lama berdiri, walaupun punggungku bersandar pada dinding, itu tidak banyak membantu. Rasanya juga perutku mulai menegang, pikiranku masih belum bisa jernih.
"Hiksss, om masih lama? Adis takut sendirian di sini." isakku pada Sandi yang masih terdengar suaranya di telepon.
"Dis tenang yaa, om sudah di lantai bawah, 5 menit lagi sampai. Ingat jangan lakukan apapun.", ucap Sandi dengan napasnya yang sedikit terengah.
Benar saja, 5 menit kemudian terdengar suara pintu terbuka. Suara Sandi terdengar memanggil namaku. Langkahnya juga mendekat ke arah kamar.
"Ommmm.." teriakku dengan langkah kaki berlari ke arahnya.
Tubuhku langsung memeluknya erat, membenamkan kepala dan wajahku di dada bidangnya. Meski posisi ini membuat perut buncitku menekan tubuh Sandi. Tapi Sandi paham, dia berusaha membuat sedikit jarak sembari mengelus punggungku untuk menenangkanku.
"Siapa?"
"Bara omm, adik tingkat Adis."
"Apa yang terjadi?"
"Adis gatau om, Bara tiba-tiba begitu."Sandi berhenti bertanya lalu menuntunku ke arah ruang tengah. Sandi melepaskan pelukanku sambil menatap tajam kedua mataku yang sudah sangat bengkak. Bagaimana tidak? Aku hanya bisa menangis saja sedari tadi.
"Adis duduk disini, di meja ada minum dan beberapa makanan. Om bawa biar Adis makan. Bara biar om yang urus." titah Sandi padaku sembari menyodorkan sebotol air mineral.
"Om, Adis masukin obat tadi di kopi Bara. Om Adis gatau kalau.." ucapanku terpotong oleh lumatan bibir Sandi.
"Mmhhh...ommhh.." tangan kekar Sandi mengusap perut buncitku tanpa melepaskan lumatan lembutnya di bibir.
Tanganku mulai memeluk lehernya, menarik tubuh lelaki ini mendekat dan memperdalam lumatan kami. Tapi Sandi tiba-tiba melepaskan ciuman dan tertawa pelan.
"Adis habis nangis masih bisa sange yaa?" ucap Sandi sambil tertawa.
"Issshh omm!" kesalku sambil memukul dada bidangnya.
Tangan Sandi mengusap air mata yang menetes di pipiku dengan satu tangannya yang masih mengelus-elus perut buncitku.
"Perut kamu kaku gini, sakit kan? Jangan stress, Bara biar om urus. Kamu nonton disini sambil makan saja." perintah Sandi sebelum beranjak dari sofa dan meninggalkanku.
Benar juga, karena ketakutanku rasa nyeri di perutku tidak terlalu kuperhatikan. Walau hanya sedikit-sedikit saja tapi memang sedari tadi terasa. Sepertinya rasa takutku pada kejadian tadi cukup bisa membuat nyerinya terabaikan. Aku juga belum memakan atau meminum apapun sedari tadi. Sandi begitu peka dan perhatian. Pembawaannya yang tenang membuatku ikut tenang.
"Dis? Ini barang-barang dia kan?" Sandi berteriak dari arah kamar. Aku hanya menoleh sebentar lalu mengangguk.
Terlihat sekilas dari ruang tengah, tubuh Bara sudah tidak ada lagi di ranjang. Hanya terlihat Sandi yang sedang memilah barang-barang Bara.
Sesaat kemudian terdengar suara musik dari dalam kamar yang cukup keras. Cukup menggangguku yang sedang menikmati tontonanku. Aku menoleh sebentar tapi tidak menemukan sosok Sandi. Pintu kamarpun jadi tertutup setengahnya.
"Om ish, berisik." teriakku dari ruang tengah. Tapi sepertinya tidak begitu terdengar hingga ke dalam kamar.
Aku bersandar di sofa dengan sekotak ayam krispi di sampingku. Sudah hampir satu jam berlalu tapi Sandi belum juga keluar.
"Dis?" panggilan Sandi terdengar jelas karena baru saja musik dari dalam kamar mati.
Aku menoleh dan membelalakan mata menatap Sandi yang berdiri di depan pintu kamar.
"Om????"
KAMU SEDANG MEMBACA
Sentuhan Pelacur
Teen FictionWARNING 🔞⚠️ Follow dan Vote sebelum membaca. Beberapa bab dengan rate dewasa akan diprivate setelah bab 10. Selamat membaca Sentuhan Pelacur. [DILARANG COPAS] [NO PLAGIARISM] Adis yang bergelimang harta memilih untuk menjadi pelacur VIP dan mel...