Sandi menuntun Adis ke kamar sebelah setelah menelepon wanita paruh baya yang biasanya bertugas membersihkan apartemennya. Setelah sampai, Sandi membantu Adis untuk merebahkan badan di ranjang. Sepanjang perjalanan menuju ke kamar, Sandi menahan birahinya sekuat tenaga. Kejantanannya sudah mulai mengeras di balik celana karena ternyata ada efek samping yang tidak dia duga.
Jalan lahir Adis memang berhenti melebar untuk menunda akses bayinya keluar. Perdarahan Adis juga berhenti, saat meraba bagian dinding vagina Adis, Sandi juga tidak merasakan jepitan yang menandakan tidak ada kontraksi di otot vaginanya. Namun, sepanjang jalan ke kamar, selama Sandi menuntun Adis kurang lebih sepuluh menit, wanita muda itu terus mengeluh ada dorongan kuat di jalan lahirnya. Adis beberapa kali berhenti untuk mencoba mengejan, dia merasa tidak bisa menahan bayi yang terus menekan ke bawah.
"Ngghh sshh ahhh omm uhgg".,desah Adis setiap kali menahan dorongan gerakan bayinya itu.
Setiap usaha mengejan itu membuat birahi Sandi memuncak. Tapi dia sadar bahwa obat yang masih dalam eksperimen itu sedang bekerja menahan pelebaran jalan lahir Adis. Dia juga memastikan ketuban wanita itu masih utuh. Jadi dia harus menahan hasratnya hingga 2 hari kedepan untuk membuat obatnya bekerja secara keseluruhan.
Hal lain yang dia pikirkan adalah, sampai kapan Adis merasakan sensasi ingin mengejan itu. Hal itu tidak pernah ada di perkiraannya, entah jika kedua teman dokternya, mungkin mereka mengetahui sesuatu. Belum lagi obat yang Sandi minum tadi menambah parah libidonya. Sekarang saja kejantanannya sudah tegak berdiri, bagaimana tidak, Adis sedari tadi mendesah keenakan, bukan kesakitan. Sandi tidak mengerti apa yang sedang terjadi pada wanita muda ini.
"Omm sshh aahhh sensasi dorongan ini enak, tapi Adis capek, bisa aahh diemin bayinya ga?", permintaan Adis aneh, tapi Sandi tetap mencoba menurutinya.
Namun, kejantanan Sandi sudah sangat nyeri karena belum bisa dibebaskan dari sesaknya celana. Belum lagi Sandi harus mengecek terlebih dahulu keadaan bayi Adis. Dengan hati-hati, Sandi memasukkan jarinya ke liang kewanitaan Adis.
Basah, lubang itu masih cukup basah. Tangan kirinya menekan bagian perut atas Adis, menahannya lalu mendorong jarinya masuk lebih dalam. Ujung jarinya sudah begitu mentok, teraba sesuatu dengan tekstur lembut. Sandi yakin ini bagian cairan pelindung bayi Adis.
"Fuck, ngilu Om..", Adis menahan tangan kiri Sandi yang menekan perutnya. Sandi langsung melepaskan karena paham maksud Adis.
Tekanan tadi membuat bayinya justru semakin aktif. Itu tandanya, bayi Adis aman. Tapi Sandi bingung, bagaimana caranya menghentikan sensasi yang dirasakan Adis.
"Bagaimana?"
"Agak enakan, jari Om coba gerakin, sensasinya jadi menghilang waktu tadi digerakin pelan."Sandi mengerutkan keningnya. Dia memikirkan sesuatu untuk menggantikan jarinya, yang pasti bukan penisnya. Karena itu bisa membuat jalan lahir Adis semakin aktif, semua obat tadi akan sia-sia. Sandi mengeluarkan jarinya dengan cepat lalu beranjak ke arah kamar mandi di ruangan itu. Dia harus segera menuntaskan hasratnya, kejantanannya sudah terasa sangat ngilu.
Kali ini prosesnya cukup lama. Saat memanjakan kejantanannya, Sandi memulai panggilan dengan rekannya.
"Suara apa itu?"
"Nghh gue lagi nuntasin."
"Lo gila, kenapa nelpon gue kalau gitu."
"Butuh saran."
"Gue udah di jalan menuju rumah lo."
"Jangan ke rumah, kita ketemu di klinik gue aja."
"Adis gimana?"
"Menurut lo kalau gue masukin vibrator aman?"
"Kenapa?"
"Dia ga berhenti ngeden."
"Serius lo? Obatnya ga ngefek?"
"Ngefek, cuma itu efek sampingnya, diluar prediksi kan?"
"Udah berapa jam?"
"Ouuchhh ahhh, bentar."
"Sialan lo, lanjut nanti lah, lo kira gue homo."Telepon Sandi terputus, sepertinya memang sengaja diputus oleh lawan bicaranya. Padahal Sandi belum mendengar pendapatnya mengenai rencana vibrator itu, Sandi meletakkan handphonenya dan melanjutkan menembakkan spermanya ke arah closet.
"Sayang sekali harus membuang-buang bibit unggul.", ucapnya sambil membersihkan kejantanannya.
Sandi mengambil vibrator di laci kamar mandi dan berjalan keluar. Dia juga membuka laci kamar dan mengambil dua vibrator lain di sana. Semuanya milik Adis. Dia beranjak ke ranjang tempat Adis berada, wanita itu masih terus mendesah sambil mengelus perut buncitnya.
"Ommhh ngghhh ughhh mulesshh, keluarin bayinya ommhh ahhh.", Adis memohon dengan tatapan sayu.
"No, tidak bisa. Ini mungkin akan mengurangi rasa mulasmu. Aku akan keluar sebentar. Kau akan dirumah dengan Bibi, panggil dia jika butuh sesuatu. Jangan terlalu sering mengejan, karena benda ini akan ikut terdorong keluar dan mulasmu akan terasa lagi.", jelas Sandi sambil memasukkan vibrator di jalan lahir Adis.
"Ommhh masukkann aahhh apahhh", Adis meracau tidak jelas saat Sandi memasukkan ketiga vibrator itu sekaligus ke lubang kewanitaannya.
Sandi bergegas keluar kamar. Semakin lama dia disana, akan semakin tergoda dia. Sementara Adis ditinggal sendirian di kamar. Bibi yang dimaksud Sandi sudah datang, tetapi masih berada di kamar sebelah untuk membersihkan sisa darah yang berceceran.
Hanya butuh waktu sebentar untuk tiba di kliniknya yang tidak berjarak jauh dari apartemennya dengan Adis. Saat tiba di depan pintu ruangannya, dia bertemu sang istri yang duduk di kursi pasien.
"Sayang? Ada apa? Kenapa kemari?", Sandi bertanya sambil duduk tepat di samping istrinya.
"Tadinya ingin menelponmu. Tapi ponselmu mati terus, aku pikir sedang ada operasi di Rumah Sakit."
"Aku memang dari Rumah Sakit. Ini baru saja selesai dan akan bertemu Grey disini. Kau sakit?"Sandi melihat sekeliling dan segera membawa masuk istrinya ke ruang prakteknya. Dia membantu isterinya untuk duduk di kursi.
"Aku sedang menunggu Grey. Apa mau Grey saja yang memeriksamu?"
"Boleh."Istrinya memang selalu menolak untuk ditangani langsung oleh Sandi. Meskipun Sandi seorang dokter kandungan, dia menghormati keinginan istrinya.
"Tidak mau berkonsultasi denganku? Atau ceritakan keluhanmu?"
"Tidak, biar aku menunggu Grey saja disini. Apa kau sibuk?"
"Sangat, beberapa bulan terakhir ada banyak pasien dan aku harus berkeliling ke tiga tempat. Kau tahu itu kan?"
"Iya, maaf aku terus mengganggu dengan panggilan teleponku."
"Tidak masalah. Apa terjadi sesuatu?"
"Entah, hanya tidak nyaman saja selama beberapa minggu ini. Tadinya dokter di depan hendak meneponmu saat aku datang, tetapi aku menolaknya. Sepertinya dia baru ya? Belum tahu jika aku tidak pernah mau ditangani olehmu?"
"Jingga? Dia baru sebulan."
"Pantas saja."Beberapa detik setelah mengatakan itu, tiba-tiba terdengar langkah kaki mendekati ruangan praktek Sandi dan pintu terbuka.
"Gila, lo tinggalin Adis sendirian?", ucap Grey, rekan kerja Sandi, sekaligus partnernya dalam pencobaan penelitian kali ini.
Sandi menatap tajam ke arah Grey. Grey yang bingung tiba-tiba kaget saat mendengar suara wanita.
"Siapa Adis?", tanya Dila, istri Sandi yang saat itu sedang dalam ruangan yang sama.
"Dia pasien di Rumah Sakit. Aku yang harus menggantikan Sandi untuk mengoperasinya. Maaf, aku tidak tahu jika Dila ada disini. Sandi tidak cerita.", Grey duduk tepat di samping Dila.
"Ada apa mengapa ada di Klinik, wajahmu pucat, kandunganmu aman kan, Dil?", ucap Grey sambil sesekali melirik Sandi yang duduk di depannya. Dia hafal belum bagaimana interaksi pasangan suami istri ini.
"Boleh Sandi keluar dulu?", pinta Dila.
[Masih ada yang baca lanjutan cerita ini disini? Kalian masih mau lanjut baca disini juga kah? Cerita ini sudah aku tamatkan di Karya Karsa dengan 20 bagian cerita tanpa sensor. Jangan lupa bintang dan komennya supaya aku semangat untuk posting juga disini. Terima kasih.]
KAMU SEDANG MEMBACA
Sentuhan Pelacur
Teen FictionWARNING 🔞⚠️ Follow dan Vote sebelum membaca. Beberapa bab dengan rate dewasa akan diprivate setelah bab 10. Selamat membaca Sentuhan Pelacur. [DILARANG COPAS] [NO PLAGIARISM] Adis yang bergelimang harta memilih untuk menjadi pelacur VIP dan mel...