Pelebaran

32.6K 195 8
                                        

Sandi bergegas mengetuk pintu kamar mandi saat mendengar teriakan Adis dari dalam sana. Pria itu ragu saat ingin membuka langsung, takut-takut jika Adis masih melakukan ritual membuang hajadnya.

"Dis? Kenapa? Om boleh masuk?", ucap Sandi dari balik pintu.

"Jangan, Om, sshh aduh!", suara Adis mengaduh dari dalam.

"Kamu kenapa?", suara Sandi mulai panik. Dia hendak membuka pintu tapi Adis lebih dulu membukanya dari dalam.

Kaki Adis dibuka lebar sambil berdiri di depan Sandi. Sandi menahan tawa saat melihat pemandangan itu. Dia mendekat lalu mengusap perut buncit wanita muda itu.

"Kenapa?", Sandi berkata santai saat sudah memahami kondisi wanita simpanannya ini.

"Tadi mules banget tapi malah berdarah.", kaki Adis masih terbuka lebar, seolah ada sesuatu yang membuatnya takut untuk merapatkan keduanya.

"Ayo, ke ranjang, biar Om lihat.", Sandi paham harus bagaimana. Tetapi dia justru meninggalkan Adis yang masih berdiri di depan pintu kamar mandi.

"Kamu coba jalan biasa aja, Dis. Itu gapapa, aneh kamu kaya pinguin cacat jadinya.", Sandi tertawa setelah duduk di atas ranjang saat menunggu Adis mendekat ke arahnya.

"Om kok jadi ngatain Adis? Adis kan takut!", wanita muda itu berjalan dengan begitu pelan. Sandi terlihat tidak sabaran dengan pergerakan Adis.

"Astaga, ini aku bangun rumah sakit dulu kali ya, bisa kelar pas kamu nyampe kasur.", Sandi merebahkan tubuhnya di ranjang.

"Om ngejekin terus, ini kenapa ya, Om?", Adis masih berjalan dengan hati-hati. Dia merasakan pergerakan bayinya begitu menekan ke bawah, perutnya juga terasa tegang, tapi tidak membuat mules seperti saat di kamar mandi.

"Tuh lihat lendir darahnya netes-netes.", Sandi memiringkan tubuhnya menghadap ke arah Adis berjalan. Pria itu begitu santai menatap Adis.

"Biarin, nanti panggil Bibi buat bersihkan.", suara Adis mulai ketus karena kesal. Sandi sedari tadi dengan sengaja menggodanya.

"Adis baring aja, sebentar Om pindah. Ada ibu hamil susah jalan.", nada suara Sandi mengejek.

"Kok ibu? Adek hamil!", protes Adis sambil duduk perlahan di atas ranjang. Sandi kemudian dengan sigap membantunya berbaring.

"Oh iya benar, Adek hamil namanya. Kayaknya kamu sudah mulai fase mau melahirkan, Dis.", ucap Sandi sambil menekuk kedua kaki Adis dan melebarkannya.

"Jadi sudah mau melahirkan? Sakit seperti tadi?", Adis terus menerus mengusap perut buncitnya. Sepertinya memang dia merasa tidak nyaman.

"Lebih sakit, sebentar ya--"
"Shhh Om, ahhh--"
"Jangan desah, nanti Om sange"
"Mana bisa ditahan ahh-- jari Om masuk gede begitu."
"Iya, ini buat cek jalan lahir bayinya."

Sandi mengeluarkan jarinya setelah memastikan pelebaran jalan lahir Adis. Dia melepaskan kembali sarung tangan yang tadi dipakai untuk mengecek liang vagina Adis.

"Aduh, Om! A-akhh!"
"Kenapa? Mules lagi?"
"Di bawah sini sakit, ahhh, Om!"

Adis menekan perut bagian bawahnya. Sandi segera menekan bagian itu dengan pelan lalu mengusap kepala Adis.

"Bayinya mulai menekan ke bawah, jadi disitu pasti nyeri. Kamu pasang pembalut dulu sama mandi. Biar sedikit berkurang rasanya, biar kamu kuat.", Sandi beranjak dari ranjang lalu menuntun Adis berjalan ke arah kamar mandi.

"Om mau pergi? Adis gamau sendirian", Adis memasang pembalut pada celana dalamnya. Pintu kamar mandi sengaja tidak dia tutup.

Sandi masih fokus membalas pesan dari pihak rumah sakit yang memberinya jadwal operasi darurat. Adis sepertinya memperhatikan itu, tapi Sandi hanya mengangguk tanpa menoleh ke arahnya.

Sentuhan PelacurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang