Sandi yang saat itu mulai tersadar, berusaha memahami apa yang sedang terjadi. Setelah perlahan bangkit dari duduknya, Sandi mulai mengangkat badan Adis yang cukup berat itu. Beberapa kali dia seperti hendak limbung, tidak seimbang.
Dia menempatkan Adis di atas ranjang. Sprei putih yang melapisi ranjang mulai bercampur dengan darah dari jalan lahir Adis. Sandi mulai teringat dan sadar dengan apa yang tadi terjadi. Dia mulai berjalan ke arah kamar mandi untuk membasuh muka, dia harus benar-benar sadar.
"Nngghhh omm argghh..", suara Adis cukup keras. Sandi paham, gadis itu pasti tidak bisa menahan hasratnya untuk mengejan.
"Harus kucoba..", gumam Sandi pelan. Dia mulai mengambil tas kecil di lemari tempel yang berada di kamar mandi.
Beberapa suntikan dengan label tulisan berbeda dikeluarkan. Ada juga beberapa obat tablet dengan ukuran besar. Sandi mengambil satu obat dengan warna merah lalu menelannya. Tangannya menadah air keran untuk kemudian dia telan, membantu masuk obat tablet yang baru saja diminum.
"Aku tidak yakin, tapi mungkin bisa kucoba..", Sandi kembali bergumam sambil menyentil ujung jarum itu.
Jarum itu berlabel "duvadylan". Ada dua jarum dengan label duvadylan, keduanya Sandi pegang. Satu dengan warna cairan bening, satu lagi berwarna merah. Cairan berwarna merah itu memiliki label tambahan dari stiker dengan warna kuning.
Sandi menatap sekilas pantulan wajahnya di cermin. Dia menghela napas lalu menutup matanya sejenak dengan kedua tangan yang masih memegang jarum itu.
"Tidak kusangka akan sejauh ini. Seandainya tadi aku tidak mengiyakan ajakan Tomi. Hah!", Sandi berkata dengan nada menyesal.
Dia lalu membuka kembali matanya dan menatap ke arah pintu kamar mandi. Masih bisa didengar rintihan dari Adis yang mulai melemah.
"Pelacur akan tetap pelacur, apapun alasannya, Dis.", Sandi berjalan keluar dari kamar mandi.
"Hhhhh..", wajah Adis sudah sangat pucat. Sprei itu sudah sangat basah dengan cairan darah Adis. Wajahnya menoleh ke arah Sandi yang baru saja menutup pintu kamar mandi.
"Sebentar, kau tidak akan mati. Tenang saja.", Sandi berjalan keluar kamar setelah meletakkan kedua jarum tadi dan kotak penyimpanan hitam dari kamar mandi di atas meja.
Sandi menuju lemari pendingin khusus yang lebih kecil. Dia mengambil dua kantong darah lalu kembali lagi ke kamar Adis.
"Kau pasti meminum sesuatu. Seharusnya tidak separah ini. Cairan ketuban cukup bisa menjaga bayimu. Biasanya juga aku menindihnya saat kita bercinta.", Sandi berbicara sambil menyiapkan beberapa peralatan.
Sandi mulai melebarkan kaki Adis, setelah selesai memakai sarung tangan. Dia mengusap dahulu jalan lahir Adis dengan kasa, membersihkan sisa darah disana.
"Tahanlah. Ini akan sedikit sakit dan perih.", Sandi mengatakan itu cepat cepat sambil menepuk paha Adis untuk memastikan dia tidak tegang.
Sandi mulai menyuntikkan cairan pertama. Cairan bening. Tetapi sepertinya efek obat yang dia telah berikan tadi tidak begitu bagus. Pandangannya kabur dan kepalanya pusing. Sandi menahannya hingga menyelesaikan suntikan kedua, berisi cairan merah. Adis mendesis sambil meremas sprei yang basah juga karena keringatnya.
"Sial."
"Sakit sshh perih, Om. Aahhh."Adis mendesah panjang saat tiba-tiba jemari Sandi melesak masuk ke jalan lahirnya. Sandi mendorong lagi jemarinya masuk. Itu membuat Adis semakin mendesah, sakit tapi juga ada sensasi aneh, terlebih setelah cairan yang Sandi suntikan di jalan lahirnya.
"Om, aahhh jangan didorong, perut Adis jadi mulas.", Adis mengusap perut buncitnya yang sakit, tapi kali ini bukan kontraksi. Perutnya sakit, tapi tidak menegang.
Sandi melakukan sesuatu di dalam sana, Adis merasakan gerakan jemari besar pria itu. Sandi menggeleng-gelengkan kepalanya, pusing, dia merasa tubuhnya berputar. Itu yang membuat Sandi dengan cepat menarik keluar jemarinya dari dalam lubang kewanitaan Adis.
Tangan Sandi meraba meja dan mengambil kotak hitam berisi beberapa obat dan peralatan dokternya. Dia kembali mengambil tablet merah itu dan menelannya tanpa air. Kotak hitam itu dikembalikan ke meja.
"Adis bisa berdiri, sebaiknya pindah ke kamar sebelah. Ini terlalu kotor. Aku akan panggil seseorang untuk membersihkannya.", titah Sandi pada Adis.
Adis menggeleng. Kali ini dia tidak menyanggupi permintaan Sandi. Perutnya sakit sekali, belum lagi ada sensasi aneh di jalan lahirnya. Dia bahkan tidak tahu apa yang baru saja Sandi lakukan.
"Aku terlalu pusing, aku tidak kuat menggendongmu. Cobalah pindah ke kamar sebelah. Aku akan ke kamar mandi sebentar, ada yang perlu ku lakukan." Sandi berkata dengan jelas sebelum menutup pintu kamar mandi.
"Seharusnya obat tadi bekerja, setidaknya dia tidak akan menyusahkan dalam waktu dekat." Sandi berkata sambil kembali membasuh mukanya.
Samar-samar Sandi masih mendengar rintihan pelan dari Adis. Sandi mengabaikannya, karena dia yakin itu bukan kondisi darurat. Sandi mengambil tali dan mengikat bagian lengan di dekat sikutnya. Dia kemudian mengambil kembali satu jarum suntik berisi cairan merah, kali ini tidak ada label yang menempel. Setelah menyuntikkan habis isi cairan dalam jarum suntik, Sandi beranjak duduk di atas closet dan memejamkan matanya sebentar. Sepertinya dia sedang menunggu reaksi dari obat yang sudah dimasukkan ke dalam tubuhnya.
"Setidaknya jika ekstrak itu berhasil dihasilkan dari Adis. Artinya semua pelacur bisa menghasilkannya juga.", kata-kata rekannya terngiang di telinga Sandi.
Sandi bergegas menelepon seseorang dari daftar kontak di ponselnya. Beberapa detik menunggu, terdengar jawaban dari seberang.
"Ada apa?"
"Kau dimana?"
"Lab, ini baru saja akan pulang."
"Kau sampai di rumah dengan aman kan?"
"Aku tidak pulang ke rumah."
"Kau gila, istrimu terus mengirim pesan padaku, dia menanyakanmu, harus ku jawab apa lagi nanti."
"Ada yang lebih penting."
"Jangan bilang kau pulang ke tempat pelacur itu."
"Aku menyuntikkan hasil percobaan kita padanya."
"Sandi, kau serius? Kau gila ya? Bagaimana bisa? Bukankah dia sedang hamil?"
"Itu dia, itu diluar rencana, tapi setidaknya kita bisa melihat apakah efek samping yang diinginkan itu bekerja."
"Tapi tujuanmu memelihara pelacur itu bukan untuk itu kan. Kita bertiga kan sudah sepakat di awal."
"Aku tahu, tapi Adis memerlukannya, keadaannya tidak bagus."
"...dan kau membuatnya semakin tidak bagus."
"Tidak, aku sudah mencobanya dengan jemariku, sejauh ini aman. Mungkin setelah energiku kembali aku akan mencobanya dengan kejantananku."
"Terserah kau saja. Kau butuh aku ke tempatmu tidak? Apa bayinya masih hidup?"
"Masih, akan kupastikan setelah ini. Kau datanglah besok. Kurasa malam ini akan tetap aman."
"Benar juga, semua ini diluar prediksinya, seharusnya semua obat tadi masuk setelah Adis selesai melahirkan bayinya. Tapi apapun itu, tidak ada salahnya mencoba lebih awal untuk menyelamatkan nyawa mereka. Yang terpenting adalah pihak Laboratorium dan Rumah Sakit tidak boleh mengetahui ini."
"Makanya aku memberitahumu."
"Oke dokter Sandi yang mulia, aku akan membawa sisa hasil eksperimen dari Lab besok."Telepon itu terputus begitu saja. Sandipun sudah tidak mendengar suara rintihan dari luar kamar mandi, sepertinya Adis sudah beranjak dari sana. Sandi membuka pintu kamar mandi dan keluar. Benar firasatnya, Adis sudah berjalan sampai depan pintu kamar. Saat ini dia menoleh ke arah suara langkah Sandi, hingga memperlihatkan bentuk tubuhnya yang tanpa penutup dengan perut buncit yang begitu sexy. Sandi menelah ludah.
"Sialan, efek obat tadi membuatku birahi.",gumam Sandi pelan.
"Om, bayinya aktif sekali, lakukan sesuatu, aku tidak nyaman berjalan seperti ini. Bisa keluarkan dia sekarang?", ujar Adis dengan wajah memelas. Wajahnya masih berkeringat, tapi sudah tidak terlihat pucat.
[Masih ada yang baca lanjutan cerita ini disini? Kalian masih mau lanjut baca disini juga kah? Jangan lupa bintang dan komennya supaya aku semangat untuk lanjutin dengan cepat. Terima kasih.]
KAMU SEDANG MEMBACA
Sentuhan Pelacur
Teen FictionWARNING 🔞⚠️ Follow dan Vote sebelum membaca. Beberapa bab dengan rate dewasa akan diprivate setelah bab 10. Selamat membaca Sentuhan Pelacur. [DILARANG COPAS] [NO PLAGIARISM] Adis yang bergelimang harta memilih untuk menjadi pelacur VIP dan mel...