"Coba buka celanamu, Dis!", ucap Sandi sambil membuka pintu kemudi.
Beberapa orang memperhatikan kami. Tentu saja karena Sandi cukup panik saat mengetuk pintu mobil. Aku menarik celana dalamku turun dan Sandi langsung menghela napasnya sambil menaikkannya kembali. Sandi mengulurkan tangannya.
"Biar aku saja yang mengemudi. Ayo pindah.", titah Sandi yang langsung kulakukan.
Sandi memapahku ke kursi penumpang, lalu dia segera kembali dan mengemudikan mobil. Aku heran kenapa ya? Apa belum waktunya? Tapi perutku sangat tidak nyaman. Rasanya masih seperti ada yang menarik punggung dan perutku.
Sandi menoleh padaku sambil meletakkan tangannya di atas perut buncitku. Matanya kembali fokus pada jalan sementara tangannya lihai mengelus perut buncitku.
"2 menit. Apa kau baru saja berhubungan seksual dengan seseorang?", Sandi bertanya dengan nada yang begitu formal, membuatku mulai takut. Kenapa suasana di mobil jadi seserius ini?
"Iya, selama Om pergi. Adis kesepian di apartemen sendirian. Kenapa, Om?", ucapku sambil menurunkan posisi jok untuk menyamankan tubuh.
"Masih sakit?", Sandi melepaskan tangannya.
"Sedikit. Kukira bayinya mau keluar, Om.", aku menatap Sandi yang sepertinya sedang memikirkan sesuatu. Aku tidak bisa membaca pikiran pria ini.
"Kita periksa di Rumah Sakit saja dulu. Aku akan langsung mampir."
"Harus ya, Om?"
"Aku ragu, jadi harus."
"Apa berbahaya?"
"Seharusnya tidak."
"Adis takut, Om."Aku mulai khawatir dengan setiap jawaban Sandi yang terkesan ragu. Perlahan aku mulai mengelus kembali perut buncitku, berharap bayi ini segera lahir saja. Setidaknya orang tidak akan bernafsu lagi denganku. Sebenarnya tidak menyenangkan menjadi favorit setiap pria hidung belang.
"Apa dia mengeluarkannya di dalam?"
"Crotnya, Om."
"Iya, apa di dalam?"
"Seingat Adis iya, aahh—"
"Why?"
"Gerakannya membuat nyeri perut Adis."
"Perutmu tegang?"
"Hmm..tidak.."Aku tidak merasa perutku mengencang seperti tadi. Sekitar 20 menit di perjalanan, akhirnya kami tiba di rumah sakit tempat praktik Sandi. Saat berjalan menuju ruangannya, beberapa mata memandangku dengan wajah penuh pertanyaan.
"Om, ishh.", gerutuku karena langkah kaki Sandi yang sangat cepat dan membuatku tertinggal beberapa langkah darinya.
"Ruanganku di ujung lorong, tidak akan jauh, perlahan saja. Kau bisa masuk setelahku, agar tidak menimbulkan pertanyaan mereka.", jawab Sandi dengan lirih tapi masih bisa kudengar dengan jelas.
Aku mengikuti Sandi masuk ruangan lalu menutup pintu. Kulihat seorang dengan jas dokter juga datang mendekat. Sandi langsung menyuruhku berbaring dan menarik gorden untuk membatasi tempatku dengan meja kerjanya. Dia sepertinya paham akan ada seseorang datang menyusul.
"Pasien?"
"Keponakan."
"Mau lahiran disini, San?"
"Engga, Don."
"Apa keluhannya?"
"Entah, ini baru akan aku pastikan."Dokter wanita itu langsung menutup kembali pintu ruangan Sandi dan keluar setelah memastikan jawaban Sandi.
"Om, sakit lagi ughh..", ucapku sambil saat merasakan rasa nyeri itu datang lagi.
"Sebentar. Coba atur napasmu.", Sandi berkata sambil menyingkap bajuku lalu menempelkan gel dan menarik mesin USG-nya mendekat.
Terdengar suara detak jantung bayi, seperti biasanya saat pemeriksaanku sebelumnya. Hanya saja menurutku ini lebih cepat saja.
"Posisinya bagus, ketubannya utuh, plasentanya baik, tapi detak jantung bayimu tidak bagus. Coba tekuk kakimu, biar kuperiksa bukaan vaginamu.", Sandi menjelaskan panjang tapi aku terlalu fokus pada rasa nyeriku.
"Sshh, perih, Om. Pelan.", desisku saat jari Sandi membuka labiaku dan mendorong jarinya masuk.
"Belum ada bukaan. Belum waktunya.", kemudian Sandi memasang satu lagi alat seperti ikat pinggang yang dilingkarkan di perut buncitku.
"Ini CTG. Tetaplah disini dulu, sepertinya aku perlu mendiskusikan ini dengan rekanku. Aku bingung kau kenapa sebenarnya.", usap Sandi sebelum pergi berlalu dari hadapanku.
Aku merubah posisiku menjadi setengah duduk. Itu membuat napasku jadi sedikit berat dan sesak. Tapi sepertinya mengurangi rasa nyerinya. Nampak, kertas dengan gambar garis-garis tidak jelas keluar dari alat yang dipasang Sandi.
Perutku juga terasa begitu begah, mungkin karena sudah hampir seminggu aku susah buang air besar tapi justru terlalu sering buang air kecil. Sekarangpun rasanya ingin buang air kecil.
Aku mencoba duduk dulu menunggu Sandi, khawatir jika aku pergi ke kamar mandi dan melepaskan alat ini dia akan marah.
Tiba-tiba gorden di samping tempatku berbaring terbuka dan menunjukkan dua sosok pria. Satunya Sandi dan satu lagi lebih tua darinya.
"Om, pengen pipis.", ucapku refleks karena sudah tidak bisa menahannya lagi.
"Sebentar.", ucap Sandi membiarkan pria yang bersamanya memeriksa keadaanku.
Dia menekan beberapa kali bagian perut bawahku. Aku hanya mengernyit saat rasa nyerinya terasa. Dia kemudian berbicara sambil berbisik di telinga Sandi. Aku tidak bisa mendengarnya karena mereka berdiri agak jauh dari tempat tidur.
"Baiklah. Terima kasih, Prof. Akan saya lakukan.", ucap Sandi sambil berjalan ke arah pintu dan membukakannya untuk pria tua tadi.
Sandi kembali menghampiriku lalu melepaskan alat yang dia pasang. Dia membantuku turun dari ranjang periksa dan mengantarku ke kamar mandi.
"Sebenarnya tidak perlu selebay itu. Aku masih bisa jalan tanpa dipapah, Om."
"Iya, tapi jalanmu kaya penguin kalau sendirian. Om gregetan, lambat banget."
"Makanya buruan keluarin bayinya biar aku cantik dan sexy lagi, Om."
"Kau masih cantik dan sexy, Dis."Setelah buang air kecil, Sandi memasukkan sesuatu melalui lubang anusku. Katanya itu obat. Dia juga menyuntikkan sesuatu, cukup pekat, karena nyeri saat cairan itu terdorong masuk ke pembuluh darahku.
Kemudian Sandi mengajakku pulang dan kami sempat mampir ke Apotek kecil. Sandi membeli beberapa peralatan dan bahan di sana. Kupikir dia akan mengambil dari rumah sakit. Sepertinya itu untuk perlengkapan saat di apartemen, karena memang disana tidak ada apa-apa.
"Om boleh mampir ke kamar mandi dulu ga?"
"Bentar lagi nyampe, Dis. Di apartemen aja, kenapa? Mau pipis?"
"Mules perut Adis, Om."
"Kaya tadi?"
"Bukan, mules biasa, pengen pup."
"Nanti aja ya, bentar lagi nyampe, kamar mandi di luar kotor, nanti infeksi."
"Kamar mandi di club juga kotor, Om."
"Bisa nahan kan?"
"Hmm, bisa kalau kepaksa, huh."
"Mau kentut, boleh?"
"Dis, ac mobil nyala. Jangan ngada-ngada."
"Buka aja kaca mobilnya begini, Om. Udah Adis keluarin kentutnya soalnya."
"Dasar."Sandi tertawa memperhatikan ekspresiku yang menahan rasa ingin buang air besar. Rasanya sudah sangat diujung, tapi lantai kita masih di atas.
"Susah mana sama nahan sange, Dis."
"Pakek nanya. Ya susah nahan sange, Om."Aku berjalan cepat ke arah kamar apartemen begitu pintu lift terbuka. Segera mencari kamar mandi dan mengeluarkan semua kotoranku. Kali ini rasanya cukup keras hingga membuatku mengedan setiap berusaha mendorong kotorannya keluar. Mungkin karena seminggu lebih tidak buang air besar.
"Nngghh.. aahhh, keras sekali nih tai.", aku berasa mengejan untuk mengeluarkan bayi bukan mengeluarkan tai. Menyebalkan tahi keras ini.
"Aduh.", ucapku saat merasakan perih di lubang anusku. Konstipasi ini menyebalkan. Aku mengintip sedikit dan panik begitu melihat ada darah yang ikut menetes walau hanya sedikit.
"Kok ada darahnya ya."
"Om!!", teriakku karena panik. Tapi aku tidak merasakan hal aneh lainnya. Nyeri perut seperti tadipun tidak, hanya mulas saja, tapi kenapa berdarah.
[Jangan lupa bintang dan komennya supaya aku semangat untuk lanjutin dengan cepat. Terima kasih. Sesuai judul, bagian ini versi aslinya 21+ ya, yang disini versi biasanya saja.]
KAMU SEDANG MEMBACA
Sentuhan Pelacur
Fiksi RemajaWARNING 🔞⚠️ Follow dan Vote sebelum membaca. Beberapa bab dengan rate dewasa akan diprivate setelah bab 10. Selamat membaca Sentuhan Pelacur. [DILARANG COPAS] [NO PLAGIARISM] Adis yang bergelimang harta memilih untuk menjadi pelacur VIP dan mel...