Bab 2. Panggih Pengantin

85 10 1
                                    

Satu hari sebelumnya, Juli 1990

Suasana gamelan menggiringi langkah perlahan dua anak muda yang akan mengikat janji sehidup semati,dari arah berlawanan diiringi kedua orang tua masing-masing. Seorang cucuk lampah (penari pengantar iringan) menari dengan gemulai di depan iring-iringan, mengikuti gending Kebo Giro yang mengalun syahdu, menambah kekhusukan prosesi. Senyum tak lekang dari wajah para tamu yang hadir di rumah sederhana keluarga Sulasno, juga kedua pengantin dan orangtuanya.

Mereka mengagumi keelokan pengantin dan mensyukuri keberuntungan Laksmi dipinang laki-laki tampan ,dengan latar belakang keluarga dan pendidikan yang baik. Padahal Laksmi hanya lulusan sekolah menengah pertama bahkan pernah bekerja menjadi penjaga toko di kota kabupaten.

"Mbak Kartini beruntung, entuk mantu ganteng, sekolahe dhuwur, wis kerja tur yo anake wong sugih. (Mbak Kartini beruntung, mendapat menantu ganteng, sekolahnya tinggi, sudah kerja dan anak orang kaya)." bisik Darmi kepada Supini yang duduk di sebelahnya.

"Iyo, padahal Laksmi mung lulusan SMP, muk dadi penjaga toko. Mungkin pelayanane Laksmi jos. Gek-gek malah wis meteng! (Iya, padahal Laksmi hanya lulusan SMP, hanya jadi penjaga toko. Mungkin pelayanan Laksmi memuaskan. Jangan-jangan malah sudah hamil.)" sahut Suparti dari kursi belakang, dengan penekanan kata "pelayanane" yang sangat mendalam. Mata perempuan itu menyipit sinis.

"Eh, pelayanan opo? Ojo nuduh sing ora-ora, yen mbak Kartini krungu piye? (Eh, pelayanan apa? Jangan menuduh yang tidak-tidak, kalau mbak Kartini mendengar gimana?" Yu Jum yang duduk di sebelah Suparti mencoba mengingatkan Suparti yang dianggap tidak pantas .

"Coba mikir Yu, krungu-krungu kenalane mung sedela. Ora ngerti kapan dilamar, terus nikah. Opo coba yen ora meteng dhisik! (Coba pikir Yu, dengar-dengar kenalannya baru saja. Tidak tahu kapan dilamar, langsung nikah. Apa lagi kalau nggak hamil duluan!)" Argumentasi Suparti makin tidak terbendung.

"Ojo ngawur! Ndelengen sing cetho, paesane Laksmi kae! Rambut bathuke dikerik! (Jangan ngawur! Lihat yang jelas, riasan Laksmi itu. Rambut di dahinya dikerik!)" Yu Jum berusaha mematahkan kecurigaan Suparti.

"Maksude piye, Yu? (Maksudnya bagaimana, Yu?" tanya Darmi dan Supini tidak mengerti.

"Lha piye to, jare wong Jawa kok ora mudeng,(Lha bagaimana to, katanya orang Jawa kok gak ngerti) " ledek Yu Jum terkikik pelan. Lalu perempuan bijaksana yang memakai kebaya kuning gading itu menjelaskan sambil sesekali melirih prosesi panggih (temu) pengantin yang sudah masuk acara sinduran (ngidak endog atau menginjak telur)

Laksmi terlihat anggun dan cantik dengan dandanan ala basahan Solo. Kemben berwarna kuning emas membalut tubuhnya yang langsing, dilengkapi dengan kain dodot/ kampuh warna senada. Pada bagian kepala Laksmi mengenakan sanggul berbentuk bokor mengkurep, yang memberi makna kemandirian dan nrimo ing pandum (sikap menerima apa yang diberikan oleh kehidupan), dilengkapi sembilan sunduk mentul, ronce melati bulat kawungan dan tiba dada wiji kawung. Semua hiasan yang mengandung makna luhur bagi sang pengantin.

Paesan di wajahnya tidak kalah sempurna. Gajahan, pangapit, panitis dan godeg terpahat rapi dengan warna hijau yang melambangkan pikiran positif. Gajahan/ panunggul, yang ada di tengah dahi memberi lambang perempuan berilmu. Laksmi memang hanya lulusan SMP, tetapi gadis itu tidak menyerah dengan keadaannya. Dia berusaha menambah ilmunya dengan mengikuti kursus menjahit sepulang dari menjaga toko. Semua orang tahu, Laksmi gadis yang cerdas hanya kurang beruntung karena orang tuanya kurang mampu.

Paes pangapit di kanan kiri gajahan mengingatkan perempuan agar bisa membedakan yang baik dan yang buruk. Sementara, panitis bermakna bahwa perempuan harus bisa memilih yang terbaik. Terakhir godheg, menggambarkan sebuah harapan akan kehidupan rumah tangga yang baik dana hadirnya keturunan bagi mereka.

Pembuatan paes diawali dengan mengerik wolu kalong atau sinom yaitu rambut-rambut halus di dahi. Biasa dilakukan setelah siraman oleh pengrias pangantin yang sebelumnya sudah berpuasa untuk kelancaran prosesi. Dalam prosesi ini dibutuhkan sesaji dan perlengkapan seperti dupa, ratus, kain motif Tuntrum, alat cukur dan masih banyak lagi. Konon kata orang tua, kalau pengantin sudah hamil lebih dulu, bulu-bulu halus yang ada di dahi tidak boleh dikerik.

"Lha ngopo nggak oleh dikerik, Yu?(Lha, kenapa tidak boleh dikerik,Yu?)" tanya Darmi penasaran. Yu Jum mengangkat bahu.

"Tak kiro paham, jebul ora mudeng juga! (Aku pikir ngerti, ternyata nggak paham juga!)" sindir Suparti seperti mendapat angin.

"Aku pancen ora ngerti alasane, tapi jare wong tuwo ngono. Aku percaya bae, aku kan wong Jowo,(Aku memang tidak mengerti alasannya, tapi kata orang tua begitu. Aku percaya saja, aku kan orang Jawa,)" sahut Yu Jum santai. "Pancen Laksmi ayu tenan, ngalahke putri-putri Keraton. (Memang Laksmi cantik banget, mengalahkan putri-putri keraton)." Yu Jum berdecak mengagumi kecantikan Laksmi yang sedang menjalankan prosesi kacar kucur sebagai lambang tanggung jawab suami kepada istrinya. "Mugo-mugo keluargamu langgeng, Nduk,(Semoga keluargamu langgeng, Nak,)" bisik Yu Jum lirih.

Sebagai orang yang mengenal dekat Laksmi dan keluarganya, Yu Jum tidak terima gadis berhati baik itu dihina siapa pun termasuk Suparti. Suparti yang masih belum puas dengan jawaban Yu Jum tersenyum sinis.

"Wis to Mbak, ora usah dilanjutke. Ora apik, ngomongi pengantin sing lagi arep miwiti urip bebrayan. Laksmi karo keluargane ora duwe salah karo sampeyan, to? Nyatane sampeyan diundang, artine sampeyan diajeni lan diarep donga kanggo Laksmi, (Sudah Mbak, tidak usah dilanjutkan. Tidak baik membicarakan pengatin yang akan memulai hidup berkeluarga. Laksmi dan keluarganya tidak punya salah dengan kamu, kan? Buktinya kamu diundang, itu artinya kamu dihargai dan diharapkan doa untuk Laksmi)" tegur Darmi yang ikut tidak nyaman melihat sikap Suparti.

"Iya Ti, positif bae." Supini yang dari tadi hanya mendengarkan ikut nimbrung. Merasa dipojokan Suparti mengentakan kedua kakinya, lalu berdiri dan meninggalkan tempat itu.

"Arep ning endi, Mbak?'(Mau ke mana, Mbak?)" tanya Darmi mencoba menahan. Suparti melengos tanpa menjawab.

"Jarke bae, wong aneh. Mending ndelok Laksmi sing ayu kae, timbang ngurusi tukang sirik!(Biarkan saja, orang aneh. Lebih baik melihat Laksmi yang cantik itu, daripada mengurusi tukang sirik!)" Yu Jum mengajak tetangganya untuk fokus ke prosesi pernikahan yang mengundang gelak tawa para tamu. Hanya sekejap, mereka sudah ikut menertawakan tingkah pengantin yang dianggap lucu.

"Lho lho Mas, ojo akeh-akeh! Eman lipstike mbak pengantin yang cantik dadi blepotan,(Lho Mas, jangan banyak-banyak! Sayang lipstik mbak pengantin yang cantik jadi berantakan,)"celetukan pranatacara (MC) menggoda pengantin yang saling menyuapi (prosesi dulangan/ dhahar Khalimah) spontan membuat para tamu tertawa.

Laksmi tersipu malu, sementara Laksana menatap sang pranatacara tanpa berkedip. Laksana terlihat tidak suka dengan guyonan laki-laki berbusana beskap lengkap itu. Sang pranatacara segera menyadari perubahan ekspresi sang pengantin. Laki-laki itu tersenyum canggung lalu mengalihkan perhatian dengan kembali memimpin prosesi yang masih tersisa.

Sepanjang sisa waktu prosesi yang dikemas sedemikian rupa menurut tradisi pernikahan adat Solo yang klasik dan penuh makna, Laksana seperti kehilangan senyumnya. Sapaan dan godaan para tamu tak juga menerbitkan senyum yang selayaknya menghiasi wajah pengantin yang berbahagia.

Kedungjati, 28 Juni 2023

Puji Tuhan bisa menuliskan bab kedua dengan lancar. Perubahan ide malah melahirkan tulisan yang memuaskan untuk diri sendiri yang sebelumnya tidak terlalu paham prosesi pernikahan rumit ini.

Doakan besok bis menulis bab 3 dengan ide yang sudah menari dalam pikiran. Matur nuwun sudah membaca.

Salam literasi

Dendam LaksmiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang