Bab 3. Kepemilikan

69 9 0
                                    

Harap bijaksana, ada adegan orang dewasa. Penulisnya masih amatiran nulis yang begituan, jadi lama gak kelar-kelar.

Mohon masukan, kritik juga boleh tapi sopan ya... Kita kan manusia beradab hehehe...

Selamat membaca. Gbu

“Nduk, kamu baik-baik saja?” Kartini berbisik lirih mendekati putrinya yang baru keluar dari kamar mandi. Laksmi mengangguk malu. Pipinya merona seperti buah jambu air di depan rumah. Laksmi malu ditatap penuh makna oleh ibu-ibu tetangga yang masih membantu di dapur. Ada yang merapikan perlengkapan resepsi sewaan, ada juga memasak. Di luar, masih banyak tukang yang sedang membongkar tarub (tratag) dan dekorasi pengantin yang membuat pernikahan Laksmi dan Laksana bak pernikahan keluarga keraton. Dekorasinya terlihat mewah, sebanding dengan dandanan pengantin mengenakan basahan adat Solo. 

”Laksmi mencuci ini dulu, Bu.” Laksmi minta izin sambil menunjuk pakaian kotor dalam pelukannya. Kakinya melangkah pelan ke sisi lain sumur yang biasa dipakai untuk mencuci. Kartini mengikuti langkah putrinya, bahkan perempuan paruh baya itu ikut duduk di dingklik (1). Matanya lurus menatap Laksmi, seperti memindai kondisi sang putri yang terlihat lemah.

Kartini sudah pernah menikahkan Janti, putri sulungnya. Seingat Kartini, setelah malam pertama aura kebahagiaan terpancar di wajah Janti dan suaminya. Hal yang berbeda terjadi dengan Laksmi. Kartini memperhatikan Laksmi sejak keluar dari kamar, sendirian dengan langkah tertatih.Sesekali wajahnya terlihat meringis, seperti menahan sakit. Kartini mengkhawatirkan kondisi sang putri.  

”Nduk, kamu baik-baik saja?” tanya Kartini sekali lagi.

”Laksmi nggak apa-apa, Bu. Hanya capek saja,” jawabnya dengan senyum mengembang. Kartini menatap putrinya tidak berkedip. Laksmi memperlebar senyumannya, seperti berusaha meyakinkan perempuan yang melahirkannya kalau dia baik-baik saja.

”Yo wis kalau gitu, kamu istirahat saja tapi sarapan dulu. Bangunkan suamimu, ajak makan ya?” Laksmi mengangguk cepat.

Istirahat, memang itu yang dibutuhkannya sekarang. Namun, Laksmi ragu. Mengingat apa yang dilakukan Laksana semalam, sepertinya tidak mungkin.
***.   

Selesai dengan cuciannya, Laksmi kembali masuk ke kamar yang sengaja dihias seperti layaknya kamar pengantin. Dipan(2) kecil yang menjadi tempat tidur selama ini diganti dengan tempat tidur besar dari kayu jati, kiriman orang tua Laksana. Tempat tidur berwarna coklat tua, memiliki pola ukiran Jepara yang sangat  unik. Bagian kepala tempat tidur, ada ukiran berbentuk burung elang yang gagah. Laksmi ingat, waktu dipan itu datang, bapaknya meraba setiap gentat (3) dengan kagum. Cantik sekali.

Semalam, tempat tidur mereka penuh dengan kelopak bunga mawar berwarna merah. Tentu saja sekarang sudah tidak berbentuk akibat ulah mereka semalam, yang tersisa hanya aroma wangi memguar di seluruh ruangan. Laksana masih terlelap di sisi kiri. Aktivitas di luar kamar sama sekali tidak mengganggu tidurnya.

Tanpa sadar, Laksmi menyentuh dadanya. Jantungnya berdebar kencang, pipinya merona mengingat apa yang dilihat saat mandi tadi. Laksana meninggalkan banyak bekas hampir di sekujur tubuhnya. Laksana rakus menggigit setiap jengkal tubuhnya membuat kulit putihnya menjadi kemerahan. Laksmi menggeleng pelan, mencoba mengusir ingatan yang membuat luka ditubuhnya.

Laksmi bergegas merapikan diri. Beberapa waktu lamanya dia mematut diri di depan meja rias yang juga diberikan mertuanya. Laksmi memoleskan lipstik berwarna merah cerah untuk menutupi wajah pucatnya. Setelah selesai, Laksmi memberanikan diri mendekati Laksana yang masih pulas.

Laksmi berhenti ragu di dekat tempat tidur. Laksmi gugup, jantungnya berdenyut lebih cepat.  ’Nggak apa-apa, kamu bisa. Semalam Laksana hanya melampiaskan kebahagiaannya bisa memilikimu.’ Kata hatinya menguatkan. ”Dia suamimu, dia mencintai kamu. Dia tidak akan menyakitimu.’ 

Perlahan Laksmi mendekat, berjongkok di depan wajah Laksana yang menyunggingkan senyuman. Sebahagia itukah Laksana memilikinya? Sampai dalam tidur pun dia tersenyum?

”Mas, bangun! Sudah siang, disuruh ibu sarapan,” bisiknya pelan. Laksmi memberanikan diri menyentuh lengan telanjang sang suami.  Laksana tidak bereaksi. Laksmi mencoba lagi, tangannya menepuk lengan kekar itu pelan berharap Laksana segera bangun. Mumpung Laksana masih tidur, Laksmi memberanikan diri menjelajahi detail wajah suaminya. Laksmi menyentuh hidung mancung suaminya, lalu bergeser 

Laksmi melonjak kaget ketika Laksana membuka mata. Tubuhnya hampir terjatuh, untung tangan kekar Laksana dengan cepat menahannya. Lelaki yang semalam membuat Laksmi kehilangan kegadisan itu, sekarang duduk di tepi dipan. Laksana memegang erat tangan istrinya, lalu mengelusnya lembut.

”Hati-hati, Sayang.” kata Laksana terdengar lembut di telinga Laksmi. Pandangan mata mereka saling bertaut. Gadis itu tersipu. Semburat merah membangkitkan hasrat Laksana. Laksmi terlihat sangat cantik dengan dress merah maroon, memperlihatkan lekuk tubuhnya. Laksana menelan ludah, kejantanannya menegang. Jantung Laksmi berdegup cepat, beribu kupu-kupu bertebaran di perutnya. Laksmi gelisah.

Laksana tersenyum. Dengan sedikit kekuatan tangannya, Laksana mengangkat tubuh istrinya, membuat Laksmi berjongkok dengan kepala sedikit mendongak. Wajah Laksmi terasa hangat, mungkin mukanya sudah semerah kepiting rebus. Laksmi malu dipandangi Laksana tanpa berkedip. Seperti tidak mau memahami kegelisahan Laksmi, Laksana menunduk, mendekatkan wajah mereka.

Sesaat Laksmi terdiam, tenggorokannya tercekat, jantungnya seperti berhenti berdenyut. Rasa takut dan bahagia bercampur menjadi satu. Laksmi takut Laksana akan berlaku kasar seperti semalam, tetapi dia juga suka laki-laki itu menatapnya penuh cinta. Laksmi semakin tidak berkutik ketika laki-laki itu mengulum bibirnya lembut. Laksmi memberanikan diri membalas keintiman yang ditawarkan Laksana.

Mereka terus berciuman dengan posisi yang tidak nyaman, sampai Laksana berdiri, mengangkat tubuh istrinya lalu mendorongnya menempel dinding. Tangan Laksana mulai bergerilya mencari resleting dress istrinya. Begitu mendapatkan, Laksana langsung membuka dan melepas dress merah maroon itu dengan kasar. Baju itu robek lalu lolos dari tubuh Laksmi, menyisakan pakaian dalam.yang juga berwarna merah.  

Laksana mengambil jarak sejenak. Mereka masih terengah setelah beberapa menit berciuman. Mata Laksana menyipit memperhatikan Laksmi yang malu-malu menutup payudaranya. Laksana menelan ludah. Di depannya, berdiri setengah telanjang. Cantik, seksi, istrinya terlihat sangat sempurna.

Laksana kembali menyerang istrinya. Laki-laki itu melahap bibir istrinya dengan rakus. Tangannya aktif meremas payudara ranum sang istri. ”Mas!’ Laksmi mendesah lirih. Desahan Laksmi membuat Laksana semakin bersemangat. Ciumannya semakin liar, tangannya terus  bergerilya menjelajah setiap inchi tubuh .Sesekali tubuh Laksmi mengejang diiringi desahan panjang, saat mendapat serangan tidak terduga di bagian intimnya. Laksana tersenyum senang mendengar desahan sang istri. Meski tahu Laksmi sudah sangat menginginkan pelepasan, Laksana membiarkannya. Dia masih ingin bermain-main dengan dirinya sendiri.

Tanpa aba-aba, Laksana melepas tautan mereka. Hati Laksmi mencelos, dia masih ingin menahan suaminya, tetapi Laksana memilih menjauh. Laki-laki itu menyeringai, senang melihat wajah kecewa Laksmi. ”Masih mau?” tanyanya menggoda. Laksmi tidak menjawab. Dia hanya tersipu malu. Dengan sedikit keberanian yang tersisa, Laksmi menyembunyikan wajahnya di dada telanjang sang suami. Diam-diam Laksana tersenyum puas.

Laksana menarik tubuh Laksmi menjauh. Kedua tangannya memegang pundak telanjang sang istri, matanya menatap tajam,Laksmi memilih menghindar. Laksana mengangkat dagu Laksmi, memaksa  perempuan delapan belas tahun itu menatapnya lagi. Dengan ibu jari tangan kanannya, Laksana menjelajah wajah istrinya dan berhenti di bibir merah yang barusan dilumatnya habis-habisan.

”Kamu cantik memakai lipstik merah ini, tapi aku nggak suka kamu memakainya di depan banyak orang. Kamu milikku, hanya aku yang boleh melihat kecantikanmu. Ngerti?” katanya penuh tekanan sambil menghapus sisa pewarna bibir itu. Laksmi mengangguk tanda mengerti. Laksana tersenyum miring. Laksmi bergidik tidak mengerti makna senyuman itu. Laksmi semakin tidak mnegerti ketika  Laksana mencecap  Jempol dengan noda merah lipstiknya. Ada apa dengan Laksana?

Kedungjati, 29 Juni 2023
Catatan:
1. Kursi kecil dari kayu yang biasa dipakai orang kampung mencuci)
2. Dipan, tempat tidur kayu.
3. Gentat, lekukan ke dalam.

Dendam LaksmiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang