Bab 10. Sebuah Rahasia

41 7 1
                                    

"Tiap hari suamimu kayak gini?" tanya Kartini kepada putrinya. Laksmi hanya diam saja. Dia bingung harus menjawab apa. Laksmi sudah berjanji akan menanggung sendiri keputusannya memilih Laksana. Dia tidak mau melibatkan orang lain. Dia juga tidak ingin menjatuhkan suaminya di depan orangtuanya.

Hari sudah malam, Laksana belum terlihat pulang. Sulasno dan Kartini sengaja menunggu kedatangan menantunya yang berdarah priyayi itu.

Mengetahui hari libur Laksmi tetap di rumah sendirian membuat Kartini meradang. Jiwa keibuannya tidak terima, anak gadisnya yang sejak kecil selalu bersikap dewasa itu diperlakukan semena-mena oleh laki-laki yang menikahinya.

"Bapakmu, yang nggak makan sekolahan saja tahu menghargai istri. Dia tahu bagaimana harus melindungi anak dan istrinya! Ini, katanya anak sekolahan, priyayi, malah nggak punya unggah ungguh blas." Kartini terus mengomel sejak menjelang Maghrib tadi.

"Wis to Bu, ojo ngomel terus. Ora pantes maghrib-maghrib nesu, mundhak ono setan lewat, (,Sudah Bu, jangan ngomel terus. Nggak pantas maghrib-maghrib marah, entar ada setan lewat)" sela Sulasno mencoba meredam emosi istrinya.

"Setane mantu Njenengan kuwi!(Setannya menantumu itu!)"  sahut Kartni cepat.

"Mantumu juga to!" Sulasno tidak mau kalah. Wajah mereka tampak tegang tetapi terlihat lucu di mata Laksmi. Sekuat tenaga, Laksmi menahan diri untuk tidak tertawa melihat interaksi kedua orangtuanya. Tidak sopan menertawakan orangtua yang sudah membesarkan dirinya dengan penuh cinta, apalagi mereka sama-sama berniat membelanya.

Sulasno mengelus pundak istrinya, mencoba meredakan emosi perempuan yang memberinya tiga anak itu. "Sabar, Bu. Ojo nambah bebane Laksmi (Sabar, Bu. Jangan menembah beban Laksmi),' bisik laki-laki itu di telinga sang istri. Alih-alih menurut, Kartini malah mendengus kesal.

"Wong lanang mung ngugu senenge dhewe, ora mikir bojo. Ningrat keblinger!(Laki-laki hanya mengagungkan kesenangan sendiri. Ningrat nggak bener!)"  Kartini bergumam kesal.

Tangan Sulasno dihalau dari pundaknya, dia sedang tidak ingin bermanis-manis dengan suaminya, yang sebenarnya tidak tahu apa-apa. Kartini kesal dengan laki-laki itu. Kartini menyalahkan Sulasno yang selalu menolak permintaannya untuk mengantar ke tempat Laksmi.

"Buat apa kita ke sana, nggak enak mengganggu pengantin baru. Laksmi sudah bahagia menikah dengan laki-laki yang mencintainya. Laki-laki yang bertanggungjawab terhadap hidupnya. Kalau Laksana memilih pindah, itu berarti dia ingin mandiri, tidak ingin diganggu kehidupan keluarga mereka." Selalu begitu alasan Sulasno menolak permintaan sang istri.

"Aku kangen Laksmi, Pak. Sebentar saja, kita nggak usah nginep." Kartini masih berusaha merayu. Dengan berat hati Sulasno tetap menolak.

"Nanti kalau Laksmi kangen, pasti dia ke sini. Biar kan anakmu belajar dewasa membangun keluarganya sendiri."

Keputusan Sulasno sudah bulat, tidak akan mengganggu ketenangan kehidupan anak-anak nya. Hari ini, Sulasno terpaksa mengikuti kemauan Kartini karena sang istri nekat akan pergi sendiri naik dokar (andong) kalau tidak diantar. Sulasno tidak mungkin membiarkan istrinya berangkat sendiri, karena dokar hanya sampai desa Tambak Sari. Sementara, hutan tempat Laksmi tinggal masih 5 kilo meter lagi.

Kartini syok, kenyataan yang dilihatnya tidak seindah yang dipikirkan sang suami, Laksana sudah mengabaikan putrinya. Kartini mengusap wajahnya kasar, dadanya terasa sesak. Kartini tidak menyangka mimpinya tidak hanya kembang tidur. Perasaan seorang Ibu tidak bisa dibohongi.

Kartini merasa keganjilan perilaku Laksmi sejak anaknya itu menikah, bahkan sejak hari pertama setalah pesta selesai di gelar. Laksmi gadis periang, terbuka, mandiri dan dewasa. Dia bertangungjawab juga pada keluarga, meski orangtuanya tidak pernah meminta apa pun.  Semua itu hilang begitu Laksmi menikah. Laksmi menjadi lebih sering melamun, tidak banyak bicara dan menghindari orangtuanya.

Waktu kerja di kota, Laksmi rutin pulang sebulan sekali. Sekarang, empat bulan meninggalkan rumah, Laksmi baru pulang sekali. Itu pun hanya sebentar, tidak menginap padahal rumah mereka tidak terlalu jauh. Pertanyaan besar mengganggu pikiran Kartini sampai terbawa dalam mimpi.

Kartini jelas tidak suka perubahan ini, sayang sang suami tidak menangkap kondisi putrinya. Kartini menatap sinis laki-laki yang berdiri di sebelahnya. Kemarahan Kartini sudah melewati batas, naik ke ubun-ubun, bahkan sampai muntah keluar dari kepalanya. Dengan langkah lebar, perempuan itu pergi meninggalkan suaminya yang hanya menatapnya bingung. Melihat reaksi ibunya, Laksmi berlari mengejar ibunya.

"Bu, jangan marah sama Bapak. Bapak...."

"Nggak usah membela Bapakmu, dia sama saja dengan suamimu. Nggak peka!" Kartini membanting tutup panci. Seketika rumah yang biasa sepi itu menjadi riuh, beruntung rumah tetangga kosong tidak berpenghuni.

Laksmi sampai melonjak kaget. Sepanjang hidupnya, baru kali ini Laksmi melihat sang ibu emosi sampai membanting benda. Kepala perempuan yang menjadi panutan Laksmi berumahtangga itu tertunduk. Bahunya naik turun dengan cepat, Laksmi tahu ibunya tidak sedang baik-baik saja. Perempuan muda itu segera bertindak, dia memeluk Ibunya erat-erat. Kartini membalas pelukan anaknya.

Keduanya tenggelam dalam sesal masing-masing, berbagi rasa yang tertahan beberapa waktu belakangan ini. Mereka saling menyalurkan kenyamanan yang sempat hilang oleh jarak.

"Maafkan Laksmi, Bu. Laksmi menambah beban ibu." Bisik Laksmi diantara Isak tangis nya. Kartini menggeleng, bukan Laksmi yang salah tetapi dia yang tidak bisa menjaga anaknya.

"Kamu nggak salah, Nduk. Ibu yang salah membiarkan kamu menikah dengan priyayi yang tidak mengerti perasaan perempuan." Ibu takut, dia hanya menjadikanmu seorang selir, lanjutnya dalam hati.

"Ibu tidak salah. Laksmi mencintai mas Laksana, Bu. Mas Laksana juga mencintai Laksmi,"  jawab Laksmi polos. Hati Kartini semakin sakit mendengar ucapan polos sang putri.

Rasa sakit juga dirasakan Sulasno yang dari tadi mengintip di balik pintu. Sulasno baru sadar, sakit hati istrinya teramat dalam karena kesalahan yang pernah dilakukannya puluhan tahun lalu. 'Maaf, Bu. Aku telah menorehkan luka itu teramat dalam padamu.'

Bekasi, 22 Juli 2023

Dendam LaksmiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang