Bab 12. Sebuah Pertanda

26 5 2
                                    

April 1991

Matahari beranjak ke ufuk barat, semburat jingga menghiasi sudut langit terlindung di balik pohon-pohon jati yang tertata rapi. Ranting-ranting pohon saling bertautan, bergoyang-goyang ditiup angin. Burung-burung beterbangan kembali ke sarangnya, membuat hutan terasa lebih ramai sore ini.  Kubangan air sisa hujan siang tadi memantulkan bayangan pohon-pohon itu. Pemandangan yang sangat cantik. Laksmi suka langit cerah sore ini. Nyanyian Jalu pun mulai terdengar, menambah suasana semakin hangat.

Pemandangan indah sore itu memukau hati Laksmi, perempuan cantik itu berjalan perlahan menjauhi rumah. Nyanyian Jalu mengiringi langkah kecilnya. Semakin lama langkahnya semakin jauh, menembus hutan yang mulai gelap. Matahari beranjak kembali keperaduan, sinar jingganya kian menghilang diganti kabut yang mulai turun. Laksmi terus berjalan, seakan tidak peduli suasana hutan yang sudah berubah gelap.

Tanpa sadar,  Laksmi sudah melangkah jauh ke tengah hutan yang tidak dikenalnya.. Meski hampir satu tahun tinggal di hutan Tambak Sari, Laksmi belum pernah pergi jauh meninggalkan rumah. Langkah kakinya tidak pernah lebih jauh dari sekitar rumahnya saja. Langkahnya mulai terasa berat. Kaki kanannya terasa nyeri, sepertinya ada yang terluka. Mungkin tanpa sengaja kakinya bersentuhan dengan akan pohon jati atau ranting yang berjatuhan di sepanjang jalan. Wajar saja, Laksmi hanya mengenakan sandal.jepit.

”Ini di mana, gelap banget. Aku haus dan capek sekali,” keluhnya pada diri sendiri. Laksmi menelan ludah, sekedar membasahi kerongkongannya. Matanya nanar ke sekeliling, dia sadar sudah tersesat. Matanya terus beredar mencoba mencari sesuatu, untuk sekedar melepas lelah.

”Apa itu?” Laksmi mempertajam pandangannya. Dari kejauhan, Laksmi melihat sorot cahaya menembus kabut tebal. Hati Laksmi membuncah, cahaya itu menandakan adanya secercah harapan. Dengan tertatih, Laksmi memaksa kakinya melangkah mendekati cahaya itu. Semakin dekat Laksmi menyadari cahaya itu berasal dari sebuah gubug kecil.

”Siapa orang yang tinggal i tengah hutan gelap begini?” batinnya sambil terus melangkah. Sampai di depan gubug itu Laksmi berhenti, sesaat keraguan menyergap. Bagaimana kalau yang ditinggal di dalam sana orang jahat? Bagaimana dia bisa lari menyelamatkan diri melihat kondisi fisiknya yang sudah sangat lelah?

”Tanggung, yang terjadi terjadilah.” tekadnya memantapkan hati. Tangannya terangkat hendak mengetuk, tetapi tidak jadi. Tangan itu dibiarkan menggantung di udara. Laksmi menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Sekali lagi dihela napas panjang, lalu mulai mengetuk.

”Kulo...” Pintu terbuka perlahan sebelum Laksmi menyelesaikan salamnya. Laksmi melonjak kaget, tubuhnya terhuyung ke belakang. Untung tangannya dengan sigap mencari pegangan. Seorang perempuan tua berdiri di depan Laksmi, sambil memegang pintu yang dibukanya.

Bulu kuduk Laksmi meremang, jangan-jangan perempuan itu nenek sihir seperti dalam dongeng masa kecilnya. Tidak-tidak, ini nyata bukan cerita anak, bantah Laksmi dalam hati. 

”Monggo, sinten ngih?(Mari, siapa ya?)” Tanya si nenek dengan suara bergetar. Laksmi tersadar untuk segera menjawab salam perempuan tua itu.

”Kulo Laksmi, Mbah. Kulo kesasar.(Saya Laksmi, Mbah. Saya tersesat)” jelas Laksmi malu-malu. Si nenek tersenyum, memperlihatkan giginya yang ompong.

”Monggo mlebet mawon, Mbak, ning njobo adem. (mari masuk saja, Mbak,  di luar dingin).” Si nenek memperlebar pintu memberi akses Laksmi untuk masuk. Mau tidak mau Laksmi masuk ke dalam. Laksmi pasrah, seandainya si nenek bermaksud jahat. Kondisinya saat ini sama-sama tidak menguntungkan. Kakinya sudah sangat lelah dan ia juga kelaparan. Sialnya lagi, saat ini Laksmi tidak tahu ada di mana.

”Monggo pinarak (Silakan duduk)” si nenek mempersilakan Laksmi duduk di bangku panjang. Satu-satunya kursi yang ada di sana. ”Sekedap ngih (sebentar ya!)” Perempuan tua itu masuk ke bilik di belakang ruangan tempat Laksmi duduk, sebelum tamunya sempat menjawab.

Sepeninggal sang empunya rumah, Laksmi mengedarkan pandangannya menjelajah ruangan dengan bantuan lampu teplok dan perapian yang dibiarkan menyala di salah satu sudut ruangan. Di sudut ruangan yang lain, terdapat dipan kecil yang tertutup kain kelambu. Sepertinya ada seseorang berbaring di sana. Tidak ada suara, atau pun gerakan dari dipan itu.

Si nenek kembali membawa secangkir minuman yang masih mengepul. Laksmi mencium aroma jahe yang hangat menyentuh penciumannya. ”Diunjuk, Mbak. (Diminum, Mbak),” si nenek mempersilakan Laksmi menikmati minuman yang disiapkannya.

”Matur nuwun,” Si Nenek mengangguk dengan senyum tidak lepas dari wajahnya yang penuh keriput. Dengan langkah pelan, si nenek berjalan ke dipan tadi. Meski rasa haus menguasai, Laksmi lebih fokus  memperhatikan setiap gerakan nenek misterius itu. Nenek membuka kain kelambu penutup dipan, lalu dia menunduk seperti sedang berbisik. Laksmi tidak dapat mendengar apa yang dibicarakan kedua orang itu. Suara keduanya sangat pelan.

Beberapa menit berlalu, Laksmi hanya memperhatikan interaksi kedua orang misterius yang membiarkannya memasuki rumah asing ini. Tiba-tiba jantung Lakmi berdegup lebih cepat. Ketakutan mulai menghantui pikirannya. Diam-diam, Laksmi menyesali keputusannya mendekati bahkan masuk ke dalam rumah itu. Laksmi mulai mereka-reka, hal buruk apa yang akan menimpanya setelah ini. ”Mas, aku takut.” bisik hati Laksmi.

Apakah Laksana mencari dan menemukannya? Atau laki-laki itu akan mengabaikannya seperti biasa? Ah, Laksana pasti senang Laksmi pergi. Dua bulan terakhir, tepatnya sejak kemarahan ibunya malam itu, Laksana semakin semena-mena dengannya. Tidak hanya di tempat tidur saat ingin dilayani, tetapi juga dalam hal yang lainnya. Laksana menjadi lebih ketus dan makin jarang pulang.

Kalau sebelumnya Laksana sering pulang malam, belakangan Laksana malah jarang pulang. Kadang bisa dua atau tiga hari baru kembali ke rumah untuk mengambil hak nya sebagai seorang suami. Laksmi tidak bisa menolak karena Laksana adalah suaminya. Percintaan mereka selalu berakhir dengan Laksana terkapar puas di atas tubuh Laksmi, tanpa pernah memikirkan kepuasan istrinya.

Jadi, apa bedanya nasibnya sekarang, sendirian di rumah orang asing yang misterius, dibandingkan dengan hidup bersama Laksana yang mengabaikannya. Laksmi merasa tidak ada pilihan.

”Meksake cah ayu kuwi Pak, bojone ora bener.(kasihan perempuan cantik itu, Pak, suaminya tidak benar)” Laksmi tersentak dari lamunannya. Laksmi seperti mendengar suara orang membicarakan dirinya. Laksmi mengembalikan pandangannya ke arah dua orang asing sang pemilik rumah. Tidak ada suara lagi. Si nenek tengah memperbaiki penutup tubuh orang yang tertidur lelap,  tanpa sedikit pun bergerak.

Selesai dengan aktivitasnya, si nenek berdiri tegak. Perempuan tua itu berjalan mendekati Laksmi dengan sebuah keris di tangan kanannya. Reflkes Laksmi bangun dari duduknya, tegak berdiri dengan cangkir berisi jahe panas yang belum sempat diminumnya. Laksmi seakan lupa rasa haus yang sempat dirasakannya.

”Ojo wedi, mbah ora duwe niat jahat. Keris iki kanggo awakmu, kanggo jaga-jaga!(Jangan takut, aku tidka punya niat jahat. Keris ini untuk kamu, buat jaga-jaga!)” Si nenek meletakkan keris dengan sarung berwarna keemasan itu di bangku panjang yang ditinggalkan Laksmi tadi.

”Kangge kulo, Mbah? (buat saya, Mbah?)” tanya Laksmi tidak percaya. Perempuan tua itu mengangguk mantap. Laksmi masih berdiri di tempatnya, dia tampak ragu-ragu untuk mengambil benda keramat untuk sebagian besar orang Jawa itu.

”Ambillah!” perintah si nenek melihat keraguan di wajah perempuan muda di depannya itu. Laksmi  menghela napas panjang, memasukan banyak udara di dadanya untuk mengusir rasa takut yang menguasainya.

Perlahan dia bergerak mendekati keris itu. Laksmi merendahkan tubuhnya, kakinya sujud dengan kepala tertunduk. Laksmi sungkem, menghormati benda tajam itu sebelum tangannya terulur mengambilnya. Laksmi memegang gagang keris, meletakkan benda itu di depan wajahnya, lalu membukanya pelan-pelan.

”Kok patah? Simbah!” Laksmi berteriak lantang memanggil perempuan yang memberinya keris itu. Laksmi melompat bangun. Tidak ada siapa pun di sana, selain dirinya sendirian di dalam kamarnya yang gelap. Keringat mengucur deras membasahi tubuhnya. ”Alhamdulilah, hanya mimpi.” Laksmi mengusap wajahnya kasar. 
,
Bekasi, 24 Juli 2023

Ojo dho mangkel ya... Wis serius baca ternyata mimpi hehehe

Dendam LaksmiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang