Bab 9. Kunjungan Tidak Terduga

38 8 2
                                    

Desember 1990

Laksmi merentangkan kedua tangannya sampai menghasilkan bunyi. Sepertinya tulang-tulangnya sangat butuh istirahat, sejak pagi Laksmi bekerja di balik mesin jahit yang dibelikan Laksana sebagai hadiah kepindahan mereka. Selain Jalu, mesin itu yang setia menemani hari-hari Laksmi. Sejak Laksmi rutin ikut arisan, ada saja yang menitipkan kain untuk dijahit olehnya.

Bu Yani menjadi pelanggan pertamanya. Sebelum pulang dari arisan pertama waktu itu, Bu Yani sempat bertanya kesibukan Laksmi di rumah jika Laksana sedang bertugas. "Saya menjahit Bu," jawab Laksmi polos.

"Mbak Laksmi bisa menjahit?" Laksmi mengangguk.

"Ibumu penjahit?" Laksmi menggeleng, lalu menjelaskan.

"Saya kursus Bu, waktu bekerja di Kabupaten, kalau sore saya kursus menjahit. Saya tidak mau terus ikut orang, saya mau menjadi perempuan mandiri." Meski itu terpaksa ditanggalkan demi ikut suami, lanjutnya dalam hati.

Bu Yani menatap perempuan muda di depannya dengan takjub, tidak menyangka perempuan muda yang terlihat ringkih itu ternyata sangat mandiri dan kreatif. Di zaman sekarang, tidak banyak perempuan muda yang mau bekerja keras demi mengejar cita-cita. Bu Yani yakin, Laksmi bisa menjadi perempuan hebat kelak kemudian hari.

"Tunggu, jangan pulang dulu!" Tanpa menunggu jawaban Laksmi, Bu Yani berlari ke luar ruangan itu. Beberapa waktu kemudian perempuan paruh baya itu kembali dengan tas plastik hitam.

"Sini, Mbak!" Bu Yani menarik tangan Laksmi, mengajak perempuan muda itu kembali ke ruangannya. Laksmi terpaksa mengikuti sang ketua yang terlihat bersemangat.

"Ini, Ibu punya kain. Bisa tolong dibuatkan kebaya? Ini modelnya!" Bu Yani membuka tas plastik hitam yang tadi dipegangnya. Di dalam plastik itu terdapat kain brokat berwarna merah maroon dan batik. Laksmi memegang kain itu, mengelusnya perlahan.

"Ibu, ini kain mahal. Saya masih belajar Bu, takut salah potong," tolak Laksmi tidak enak hati.

"Nggak apa-apa, coba saja dulu. Ibu yakin kamu bisa, kamu perempuan hebat. Ibu percaya sama kamu!" Laksmi terpaksa menerima permintaan Bu Yani, kepercayaan perempuan berhati baik itu menjadi modal untuknya.

Setelah kebaya merah maroon yang sempat membuat Laksana marah itu jadi, Bu Yani memamerkannya di depan banyak orang. Perempuan itu memuji hasil jahitan Laksmi yang sangat halus. "Bagus, Mbak. Alus banget jahitanmu. Ibu punya kain yang lain, besok Ibu titip suamimu, ya. Nanti ibu kasih modelnya sekalian!"

Pujian ibu ketua atas hasil pekerjaannya berdampak besar buat Laksmi. Hidup Laksmi tidak lagi monoton, sekarang dia  mempunyai aktivitas harian yang menyenangkan, menjahit. Ada saja teman arisan yang memintanya membuatkan mereka baju. Laksmi akan membawa baju-baju itu satu bulan kemudian. Khusus pesanan Bu Yani, Laksmi menitipkan pada Laksana setiap suaminya laporan ke kecamatan.

"Pegel banget, ke Jalu dulu, ah!" Laksmi beranjak dari tempatnya duduk. Baju pesanan Mirna yang belum selesai dijahit, dilipat asal lalu ditinggalkan begitu saja di kursi.

Jalu sudah sehat, Laksmi sudah mencoba melepas burung liar itu, tapi entah kenapa Jalu tidak mau pergi jauh. Begitu sembuh dan sudah bisa terbang di dalam kandang besar yang dibuat Laksana untuk melatih Jalu terbang, Laksana mulai membuka tutup kandang setiap hari. Mereka berdua sepakat melepas Jalu kembali ke alam bebas.

"Burung hantu binatang liar, dia tidak pantas dipelihara. Biarkan dia kembali ke alam bebas, masih ada Brintik dan Jengger yang menemani kamu." Begitu kata Laksana meyakinkan istrinya. Laksmi tahu hal itu, di juga tidak ingin menahan Jalu.

Namun, sejujurnya ada rasa tidak rela kehilangan Jalu di hati Laksmi. Dia tidak siap harus sendiri lagi, selama ini Jalu yang menemaninya mengusir sepi kala sendiri. Jalu teman satu-satunya, sahabat yang setia mendengar curahan hatinya.

Dendam LaksmiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang