Bab 15. Sebuah Fakta

66 7 0
                                    


Desember 1991

Meski sudah menumpuk praduga buruk mengenai rencana Laksana kepadanya, mendengat fakta itu dari mulut Mandor Herjuno tetap membuat Laksmi tersakiti. Dadanya sesak, perutnya mendadak mual, tubuhnya melemas. Rasa malu dan marah berbaur menyatu dalam hati, rasanya Laksmi ingin bersembunyi jauh-jauh dari Herjuno yang menatapnya dengan ekspresi yang membuat Laksmi semakin mual.

Herjuno bangun dari duduknya, berniat menolong Laksmi yang terlihat kesakitan. Wajah perempuan itu pucat pasi, seolah tidak ada darah mengalir di sana. Dengan gerakan tangannya, Laksmi menolak bantuan Herjuno. Dia tidak suka dikasihani, apalagi oleh Herjuno. Laksmi tidak suka tatapan kasihan yang diberikan Herjuno. Seharusnya Herjuno menertawakan nasibnya, bukan malah menolong dan mengasihani dirinya yang sudah menolak lamaran laki-laki itu.

"Nggak papa kalau tidak mau ditolong, tapi tolong minum dulu, biar kamu lebih tenang." Herjuno menyodorkan gelas berisi teh hangat yang sempat dibuatnya. Laksmi menerima gelas itu, tanpa ragu perempuan itu menghabiskan isi gelas itu sampai tandas. Laksmi tidak sempat berpikir tentang kemungkinan Herjuno memasukkan sesuatu di dalam minuman itu. Laksmi tidak peduli apa yang akan terjadi pada dirinya, faktanya dia sudah  tidak mempunyai harga diri lagi di depan Herjuno.

Herjuno tersenyum lega, Laksmi tidak terlihat pucat lagi. Melihat Laksmi sudah lebih baik, Herjuno menarik diri. Laki-laki itu memberi ruang kepada perempuan yang sedang terluka itu, agar bisa berpikir lebih tenang. Saat ini, hanya itu yang dibutuhkan Laksmi, waktu dan ketenangan.

Laksmi kembali menunduk dalam diam. Laksmi sungguh tidak mengira, Laksana tega melakukan hal sekeji itu. Laki-laki yang menikahinya setahun yang lalu itu, telah mereka-reka hal yang jahat kepadanya. Laksmi marah, Laksana  mencampakkan dirinya dengan cara yang sangat hina. Laksmi tidak habis mengerti, bagaimana mungkin Laksana berubah begitu cepat.

Siapa dia di mata Laksana? Apa hak Laksana menjualnya? Apakah seorang suami berhak penuh atas istri termasuk menjualnya? Menjadikan dirinya sebagai bahan taruhan sama saja dengan menjual hak atas dirinya sendiri. Siapa Laksana, berani melakukan hal  itu kepadanya? Kedua orangtuanya saja tidak berani melakukannya, mereka menghargai keputusan Laksmi untuk hidup sesuai keinginannya sendiri. Mereka tidak menyerahkan Laksmi, meski Herjuno menawarkan kehidupan yang lebih baik bagi keluarga sederhananya.

Untuk pertama kalinya, Laksmi menyesal pernah membela Laksana di depan ibunya. Dalam hati tidak henti Laksmi  menyesali keputusannya untuk mengabdi dan memberikan hidup serta masa depannya kepada laki-laki bajingan berwajah tampan dan bertutur lembut itu. Seandainya waktu bisa diputar kembali?

Tidak, Laksmi tidak mau menyesali semua sudah terjadi. Laksmi menyadari percuma menyesali hidup yang sudah berlalu. Meski sebentar, Laksana pernah memberinya kebahagiaan. Perhatian dan cinta yang diberikan Laksana saat mereka masih pacaran, menjadi satu-satunya kebahagiaan yang diingatnya dibalik siksaan demi siksaan yang dialami setelahnya.

Laksmi tidak mau dijual secara hina kepada Herjuno tanpa mendapat apa-apa. Laksana tidak boleh  bahagia di atas penderitaannya. Laksmi melirik Herjuno yang sudah kembali duduk di kursi semula. Laki-laki itu masih menatapnya tanpa berkedip. Laksmi tidak peduli apa yang dipikirkan Herjuno tentangnya sekarang. Perjanjiannya dengan Laksana dan janji yang kecil yang sempat Laksmi ucapkan tadi, cukup membuat dirinya tidak berharga sama sekali di mata laki-laki itu. 

Dalam kelelahan psikisnya, Laksmi jadi ingat kisah Mahabarata yang sering diceritakan ayahnya. Nasibnya tidak jauh berbeda dengan Dewi Drupadi, istri Puntadewa (Yudistira). Pandawa ditantang berjudi dengan Kurawa, tadinya mereka menolak. Namun, Sengkuni yang pandai bertutur kata memutar balikkan fakta berhasil meyakinkan Pandawa untuk mengikuti permainan dadu. Pandawa mau karena menginginkan separoh bagian negara Astina yang dipimpin raja Drestarastra.

Pandawa lupa, Kurawa dan Sengkuni sangat lihai berlaku curang. Pandawa sengaja dibuat menang dengan taruhan kecil untuk memancing mereka mempertaruhkan yang lebih besar lagi. Saat taruhan besar, bisa dipastikan Kurawa yang menang. Harta dan kekayaan Pandawa habis, hingga Bima mempertaruhkan negara Indraprasta miliknya. Lagi-lagi Pandawa kalah, dalam keadaan kalut Pandawa terpancing tantangan Duryudono dan saudara-saudaranya untuk mempertaruhkan pakaiannya dan istri Yudistira.

Permainan penuh kecurangan tentu itu dimenangkan pihak Kurawa. Pandawa harus melepaskan pakaiannya dan merelakan Drupadi, istri sulung keluarga Pandawa. Dursasana yang sangat menginginkan Drupadi mengejar perempuan cantik itu. Drupadi lari di dalam tatapan suami dan ipar-iparnya yang kehilangan kegagahannya. Perempuan itu derdoa kepada Dewa agar diselamatkan dari rasa malu yang dilakukan suami dan saudara-saudaranya. Keajaiban terjadi, kain Drupadi yang dibuka paksa oleh Dursasana tidak pernah habis. Setiap lembar habis, akan ada pengganti kain yang lain demikian seterusnya.

Drupadi hanya bisa menangis, beruntung tangisan itu didengar raja Drestaratra yang melepaskannya. Drupadi yang sudah dilepaskan sang raja bersumpah, tidak akan keramas sebelum keramas dengan darah Dursasana.

Nasib Laksmi mirip kisah Drupadi. Dalam hal ini, Herjuno adalah Sengkuni yang berhasil menjebak Laksana. Sementara Laksana, dia laki-laki bodoh yang dibutakan keinginan untuk berjudi dan perempuan yang sengaja disodorkan Herjuno. Sama seperti Drupadi, Laksmi tidak mau menyerah begitu saja. Dia harus menang dari pertarungan ini. Bagaimana caranya Laksmi bisa menang melawan dua laki-laki perkasa itu?

Laksmi berpikir keras, Herjuno tidak juga bergerak dari tempat duduknya. Laki-laki itu tidak seperti Dursasana yang mengejar dirinya membabi buta. Sepertinya Herjuno sudah belajar dari pengalamannya beberapa tahun yang lalu, ketika lamarannya ditolak. Dia bermain manis, pura-pura baik padahal Laksmi tahu Herjuno sengaja menjebak Laksana untuk dapat memilikinya. Laksmi bertekad harus lebih pintar dari Herjuno. 

Suara ketukan pintu mengalihkan fokus mereka, serentak keduanya melihat ke pintu yang terbuka pelan. Sekretaris Herjuno masuk membawa banyak berkas yang harus ditandatangani. ”Maaf Pak, saya...”
”Tidak apa-apa Mbak, urusan kami sudah selesai,” potong Laksmi cepat. Perempuan itu menoleh kepada Herjuno yang terlihat kesal dengan sekretarisnya. Laksmi akan memanfaatkan kedatangan perempuan itu untuk kabur dari Herjuno. Laksmi yakin, Herjuno masih punya malu untuk melakukan perbuatan yang tidak benar di kantornya sendiri.

Laksmi tidak mau sekretaris Herjuno menaruh curiga kepadanya, lalu menyebarkan gosip yang tidak benar. Beruntung, ketika perempuan itu masuk mereka sedang duduk di tempat masing-masing dengan ekspresi datar, seperti tidak terjadi apa-apa.  

”Kalau begitu saya permisi, Pak. Nanti kalau ada perkembangan saya akan menghubungi Bapak.” Laksmi langsung berdiri. Sebelum meninggalkan tempat itu, Laksmi menyalami Herjuno dengan hormat sambil tersenyum seramah mungkin. Tanpa menunggu jawaban Herjuno, Laksmi segera meninggalkan tempat itu.

Laksmi mempercepat langkahnya, dia tidak mau bertemu dengan Laksana. Dengan ojek yang ada di depan kantor suaminya, Laksmi pergi ke rumah kedua orangtuanya. 

Bekasi, 27 Juli 2023

Dendam LaksmiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang