"ELAN...VIO...JANGAN PERGI...JANGAN TINGGALKAN GUE SENDIRI..." Nara menjerit histeris, dia tidak kuasa menahan tangisnya saat melihat Elan dan Vio berjalan untuk pergi meninggalkannya.
Rasanya dia ingin berlari menghampiri keduanya, namun kakinya terlalu sulit untuk digerakkan.
Sedangkan Elan dan Vio hanya tertawa renyah saat mendengar Nara berteriak dan menangisi mereka berdua.
"Bacot lo! Sono pergi, nggak usah gangguin gue sama cowok gue, bitch!"
"Biar apa nangis gitu? Biar di kasihani? Iya?" Elan bertanya merendahkan sembari tersenyum miring.
"JANGAN PERGI, PLEASE! GUE BUTUH LO BERDUA..." Nara menjerit lagi, dia merasa putus asa. Nafasnya begitu memburu, dadanya sesak.
Suaranya terasa tercekat saat ingin menjerit lagi, sebelum kedua menghilang dari hadapannya.
Mereka berdua tidak punya hati memang! Mereka hanya memikirkan perasaannya diri sendiri dan tidak memikirkan perasaannya Nara yang sangat terluka dengan kelakuan keduanya.
Tidak lama kemudian Nara merasakan nyeri di area pantatnya. Dia terjatuh dari ranjangnya, refleks dia langsung membulatkan matanya karena terbangun. Nara menggerutu sebal.
"Kenapa gue selalu mimpi itu mulu?
bangsat emang!"Nara jadi teringat akan masa lalunya yang kelam dan menyedihkan. Dulu, hidupnya bahagia ketika mempunyai dua orang berharga— keduanya adalah mantan kekasihnya dan mantan sahabatnya.
Nara sebenarnya tidak menyangka jika mantan sahabatnya bermuka dua, di depan baik, lain jika di belakang.
Dia bahkan masih tidak percaya jika sahabatnya tega merebut kebahagiaannya. Sahabatnya tega merebut sang kekasihnya.
Yang lebih menyakitkan lagi adalah mantan kekasih Nara lebih memilih Vio— sahabat dekatnya Nara. Nara hanya bisa tersenyum masam saat mengetahui hal itu.
Sungguh sangat sulit di percaya. Kedua orang yang menurutnya berharga telah menghancurkan kepercayaannya.
Nara langsung bangkit dari lantai dan langsung duduk di ranjang. Dia menyeka keringat yang banyak dan berhasil membasahi pelipisnya saking banyaknya sampai ada yang menetes, dia juga mengusap kasar air matanya.
Saking lelahnya dia sampai tertidur lelap dan berakhir menyedihkan.
Rambut yang tergerai acak-acakan, muka kusut dan mata yang memerah.
Orang yang melihat Nara pasti sudah iba ketika melihatnya seperti saat ini."Gue cewek strong, nggak boleh kayak gini terus." Ucap Nara untuk menyemangati dirinya sendiri.
Dia menghela nafas dengan kasar, dengan malas dia mengambil ikat rambut dan mengikatnya asal-asalan, lalu dia berjalan menuju wastafel yang letaknya berada dikamar mandi miliknya.
Dia memutar kran air dan langsung membasuh wajahnya dengan kasar, dia menatap tubuhnya didepan cermin, lagi-lagi dia hanya bisa menghela nafas.
"Sahabat baikku adalah cermin, karna disaat aku menangis dia tidak mungkin tertawa." Gumamnya sedih.
Nara kembali keranjangnya, dengan malas dia membaringkan tubuhnya diatas kasur, dia meraih selimut lalu mencoba untuk tidur, tetapi tidak bisa.
Matanya tidak ingin terpejam, dia menghela napas panjang. Sejujurnya dia masih teringat dengan mimpi itu yang terus menerus menghantuinya akhir-akhir ini.
Dia menyibakkan selimut dan berjalan menuju rak buku lalu dia meraih buku diarynya yang berwarna hitam plus bolpoin, setelah itu dia pun pergi keluar menuju balkon kamarnya.
"Gue bosan hidup, tetapi gue juga belum siap mati sekarang." Lirihnya.
Seperti malam-malam biasanya, Nara menikmati suasana yang terasa sepi, hampa, dan gelap. Tetapi dia menyukainya.
Lebih baik begini. Sendirian, tanpa ada orang munafik-seperti mantan kekasihnya dan mantan sahabatnya.
Nara memilih duduk di sofa empuk yang letaknya berada di balkon.
Sunyi itulah yang menggambarkan malam ini. Hanya terdengar suara rintikan hujan saja yang kebetulan saat ini sedang gerimis.
Nara mengedarkan pandangannya, pandangannya tertuju pada rintikkan hujan yang lama kelamaan menjadi sangat deras dan bahkan bisa menutupi langit yang gelap.
Dia sangat bahagia apabila hujan tiba, seolah hujan mengerti apa yang dia rasakan. Ketika Nara menangis, hujan pun ikut menangis.
Tidak terasa air matanya tiba-tiba jatuh begitu saja, entah terharu pada hujan ataukah dia merasakan sedih.
Hujan indah, sayangnya hujan selalu mengingatkannya pada kejadian yang membuatnya berubah menjadi sosok baru.
Dinginnya hujan membuatnya kedinginan, dinginnya sampai ketulang-tulangnya. Dia tersenyum getir dan bukan sejenis senyuman bahagia.
Dia tidak peduli dengan tubuhnya yang kedinginan. Jujur saja dia lebih memilih sakit karna hujan dari pada sakit karena orang yang dia sayang.
Perlahan jari-jemarinya mulai bergerak untuk melepaskan gembok di buku diary hitamnya. Perlahan dia mulai membukanya.
Antara senang dan sedih yang dia rasakan saat membaca kalimat-kalimat yang menyentuh hati yang pernah dia tulis dibuku diary hitam kesayangannya itu.
Bagi Nara buku diary miliknya bagaikan sahabat sejatinya, karena hanya dengan buku diary itu Nara bisa menyalurkan semua keluh-kesahnya.
Tiba-tiba saja dia ingin menulis sesuatu, jari-jemarinya bergerak menulis dengan lihai.
______________________________________
04-02-2020Dear Mantan.
Jujur, gue kecewa sama lo
Bahkan gue sangat sangat-sangat kecewa
Gue enggak tahu alasan lo ninggalin gue
Apakah hanya karna sahabat gue yang menurut lo lebih baik dari gue, huh?
Lalu lo ninggalin gue dan memilih untuk bersama sahabat gue?
Oke fine, gue nggak masalah sih jika lo pergi dari kehidupan gue
Karena dari lo, gue jadi sadar bahwa lo bukanlah cowok yang baik untuk gue dan gue sangat berterimakasih pada lo, karena gara-gara lo gue jadi tahu bahwa sahabat yang sudah gue anggap saudara ternyata enggak sebaik yang gue kira
Ternyata lo sama mantan sahabat gue sama-sama bangsatnya.
Dari lo berdua, gue jadi tahu orang yang baik belum tentu aslinya baik.
______________________________________Dada Nara terasa sesak, matanya memanas, rasanya dia ingin kembali menangis, tetapi percuma saja. Memang siapa yang peduli jika dia menangis?
Sudah satu tahun lamanya dia menderita. Cukup sulit untuk keluar dari penderitaan ini. Tetapi dia selalu bilang kepada dirinya sendiri untuk tidak boleh menyerah.
Tidak adil jika dirinya selamanya menderita. Nara percaya bahwa karma itu ada dan dia yakin bahwa keduanya akan merasakan penderitaan yang sudah dia alami— mungkin bisa saja lebih dari itu?
Mungkin sekarang dia menderita, namun tidak tahu esok atau lusa, bisa jadi keduanya yang menderita.
"Kalau inget muka polosnya dia, gue jadi pengen nonjok sumpah." Nara menggeram kesal kala teringat wajah Vio yang terlihat polos.
"Gue kira dulu lo beneran dukung gue sama El jadian? Eh, ternyata lo malah nusuk gue dari belakang? Gue bener-bener nggak habis pikir lagi sama lo, Vi!"
Demi apapun kini Nara sangat membenci Vio karena sudah menghancurkan hubungannya dengan Elan. Dia juga sangat membenci Elan karena cowok itu lebih memilih sahabatnya dibanding dirinya.
o0o
TBC!