Makin lama kepalaku makin pusing, aku sudah coba minun air putih banyak untuk mentralisir efek kafein, tapi tetap aja, pusingnya nggak hilang, malah kini bertambah menjadi mual. Dalam kepusinganku, aku melihat aku yang dulu bodoh memberi celah kesempatan pada laki-laki itu, laki-laki yang membuatku khilaf. Ya, aku pernah menjadi bodoh kala itu, tapi aku tidak menyesalinya, karena aku yakin di setiap peristiwa dalam hidupku selalu ada satu atau dua pelajaran yang bisa ku petik. Dan kehilafanku itu memberiku pelajaran bahwa aku harusnya tidak boleh mudah goyah pada lelaki, bagaimana pun bentuknya.
Biar ku ceritakan pada kalian, sebenarnya peristiwa khilaf apa yang membuatku sangat jengkel dan ingin menendang meja saat mengingatnya. Di atas semua kebodohanku, yang paling bikin aku terlihat bodoh adalah kok bisa-bisanya aku menikmati kekhilafan itu. Ya, dulu aku masih ingusan, baru umur 20 tahun, baru kuliah semester 6, baru tahu rasanya di sentuh cowok, baru tahu rasanya di ajak jalan-jalan liat sunrise berdua aja__aku pernah kok liat sunrise sebelumnya, tapi nggak pernah berdua aja__, pokoknya semua serba baru.
Seandainya bapakku dulu lebih perhatian sama aku, lebih sering cerita tantang bagaimana kelakuan lelaki, lebih sering memujiku agar aku merasa kenyang oleh pujian dari laki-laki hingga kalau aku menerima sedikit pujian dari mereka aku nggak perlu merasa terlalu salting__karena toh belum tentu mereka serius__, lebih sering ngelus rambutku hingga aku akan merasa biasa aja di beri sedikit sentuhan sama laki-laki,__nggak terlalu perlu merasa tersetrum akibat sentuhan kecil yang nggak sengaja__. Ah, bapakku nggak pernah melakukan itu, beliau terlalu kaku untuk melakukannya. Bahkan saat tahu aku akrab dengan teman laki-laki, beliau langsung menghotbahiku, panjang lebar. Padahal beliau nggak tahu betapa susahnya aku cari teman perempuan yang sefrekuensi.
Pikir beliau, setiap laki-laki kalau dekat dengan putrinya, itu pasti menjurus pada berpacaran, berhalwat, berzina. Astagfirullah, pak, belum tentu lah. Buktinya, sampai sekarang aku masih berteman akrab sama teman laki-lakiku sejak SMP tanpa ada drama cinlok, namun belakangan kami tidak terlalu akrab lagi, karena dia sudah menikah dan punya anak, tentu ku hormati keputusannya untuk lebih memprioritaskan keluarga. Ada juga teman sejak SMA, sekarang sudah nikah dan punya anak juga. Yang terakhir ya, ini dengan mas-mas sejak jaman kuliah. Dan sampai sekarang, nggak pernah ada tuh drama cinlok. Dulu ada, tapi karena tak pernah ku gubris, dia mafhum dan undur diri dari drama percinlokan, lalu memilih wanita salehah lain yang terlihat lebih keibuan.
Begitulah anak perempuan yang kurang kasih sayang, kelembutan, ngobrol bareng bapaknya, akan mudah sekali goyah oleh perhatian laki-laki. Dalam kasusku, membuatku khilaf secara fisik.
Mungkin kalian bertanya-tanya, kok bisa, orang yang bisa bertahan berteman dengan laki-laki sebegitu lama tanpa cinlok bisa terbuai oleh godaan laki-laki random? Ku rasa itu lebih karena insting. Aku bisa membedakan, mana laki-laki yang bisa jadi teman tanpa cinlok, mana yang tidak. Enggak semua instingku benar, tapi 90% nggak salah.
Eh iya, tadi kan aku mau cerita, tentang kehilafan apa yang bikin aku ingin banting meja saat mengingatnya, baik aku lanjutkan. Tapi pertama ijinkan aku memperkenalkan diri dulu.
Namaku Juniel, usiaku 30 tahun dan aku masih single. Apa orang tua ku enggak pernah tanya kapan nikah? Ah sudah enggak terhitung berapa kali, karena itu aku lebih milih tinggal jauh dengan mereka, indekos di Jogja, tempatku dulu kuliah S1, kota yang mengukir banyak kenangan, manis dan pahit.
Alasanku belum nikah karena aku masih egois, belum sanggup membagi cintaku atas diriku sendiri pada orang lain. Aku masih ingin memiliki waktuku untuk sendiri, bahkan aku tak keberatan jika harus nonton ke bioskop sendiri, jalan-jalan di Malioboro sendiri, atau keliling jogja memakai bus transjogja sendiri. Aku sangat menikmatinya hingga belum sudi membagi waktuku, kenyamananku, hobiku, dengan orang lain, dengan suami dan dengan anak nantinya.
Tentu aku kerap memikirkan, bagaimana jika aku tak kunjung menikah dan terlalu nyaman dengan kesendirianku hingga usiaku nanti menginjak usia kurang produktif atau tidak produktif secara biologis? Apakah saat menikah nanti mertuaku tidak mempermasalahkan keputusanku mengdopsi anak sebagai ganti anak kandung? Ya karena itu rencanaku, jika nanti aku menikah saat usiaku sudah tidak muda dan tidak bisa melahirkan keturunan, biar aku adopsi anak sebagai cucu mereka.
Lalu apa gunanya menikah kalau begitu? Kalau akhirnya kamu nggak punya anak karena sejatinya menikah itu salah satunya untuk meneruskan keturunan. Mungkin itu pikirmu. Tapi bagiku, meneruskan keturunan bukanlah tujuan nomor satu. Nomor satunya adalah mempuanyai partner hidup yang bisa membawa kami berdua sama-sama menjadi orang yang lebih baik. Punya keturunan, hanyalah bonus.
Aku seorang penulis cerita: novel, drama, dan playscreen. Kebanyakan cerita yang kutulis adalah literatur remaja dan literatur wanita, romansa. Bukan sesuatu yang ingin terlalu ku banggakan, seperti kataku di awal. Karena aku hanya membuat orang menghayal, membuang waktu, walau mereka melakukannya dengan sukarela, tapi saat aku tahu aku membuat orang lain menghabiskan waktunya berandai-andai menjadi tokoh utama dalam ceritaku, aku sedikit merasa bersalah. Di bandingkan menghayal ingin berjodoh dengan sosok CEO ganteng nan kaya raya, lebih baik mereka menghabiskan waktu untuk mengejar cita-cita mereka di dunia nyata. Jangan kalah dengan idol kpop yang sudah berlatih dari umur sangat belia, sehingga mereka sudah sukses di usia muda. Jangan hanya jadi penonton, jadilah orang yang di tonton. Tapi kalau berandai-andai jadi pendongeng sepertiku, baiklah lanjutkan saja lamunan kalian. Karena sesungguhnya karya yang memuakkan macam itu lahir dari lamunan dan hayalan tingkat tinggi. Tidak semua orang bisa melakukannya.
Aku introvert, basiknya memang introvert, dengan sedikit campuran sisi ekstrovert sebesar 35%. Begitulah yang di katakan kuis di Google yang sering iseng ku isi untuk cari tahu apakah aku introvert atau ekstrovert. Imbasnya, aku punya karakter, yang lagi-lagi kata kuis sebagai si Bubur Ayam, saat baru kenal, begitu hangat, ceria, ramah, namun seiring berjalannya waktu, aku akan berubah jadi dingin, anyep, dan pendiam, kecuali ketemu sama yang benar-benar satu frekuensi. Aku yakin di luar sana ada yang sama dengan ku, iya kan?
Aku punya sahabat di Jogja, entah mereka menganggapku sahabat atau tidak, yang jelas kami berteman dekat: Mas Gugun yang biasanya ku sodori naskah yang bikin dia mengernyit mual membacanya namun, ia secara profesional membaca sampai tuntas memberi catatan pendek, panjang, dan gambar jari tengah keatas. Dia tetap mendukungku dengan genre ini, karena menurutnya, romansa adalah ganjanya kehidupan, bikin senang dan bisa mengalihkan pikiran dari bobroknya dunia yang bikin stress. "Kamu bikin mereka senang" begitu katanya.
Ada juga Mas Kunto, si sumber dunia perfilman dan pendesain cover novelku yang secara profesional menyodorkan desain konyol tapi membuat pembaca menggila. Ada mas Arif yang biasa ngajak aku jalan-jalan ke tempat-tempat goib, maksudnya tempat yang bahkan selebgram terupdate pun nggak tahu tempat itu ada, sebagai sumber inspirasi setting tempat di ceritaku. Ada Hara, ini satu-satunya sahabat perempuanku yang masih dekat sampai sekarang, paling update dengan fashion, karena itu walau aku pakai hijab panjang, aku enggak pernah kelihatan seperti mamak-mamak komplek mau yasinan. Ada Mas Ami, musikus kampret yang gombalannya bisa bikin frezer meleleh. Kadang aku pakai dia sebagai inpirasi tokoh dalam ceeitaku.
Aku beruntung dikelilingi manusia unik yang tulus berteman denganku.
Ah, benar, tentang ceritaku. Kenapa tak kunjung sampai pada inti ceritaku? Aku yakin kalian sedang mulai mengumpat karena ceritanya begitu berputar-putar seperti membaca naskah drama Waiting for Godot karya Samuel Beckett. Sebenarnya aku hanya mengulur waktu, Kawan! Benar-benar malas mengingat setiap detailnya. Tapi karena aku sudah janji mau cerita, maka aku akan ceritakan sekarang.
***
Tbc
Gimana rasanya baca cerita macam ini fellas?
Jangan lupa vomen
Thank you.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ukhti Khilaf
ChickLitTiba-tiba ia mencondongkan badan dan mencium bibirku. Astaga! Aku hendak bilang astagfirullah sebenarnya, tapi mengingat bahwa setelahnya aku bukannya menolak tapi malah menginginkannya lagi karena penasaran, jadi dari pada tobatku jadi tobat sambal...