7. Aku Khilaf

1.8K 17 37
                                    

Sepuluh hari Dimas enggak ketemu aku dan selama itu setiap hari terus saja menelpon. Tiga kali sehari! Kayak anjuran minum parasetamol saja. Tapi tentu saja tidak ku angkat, takut bapak berprasangka macam-macam. Nanti di kiranya aku pacaran, kan nggak asik ya di interogasi macam tahanan.

"Jeje! Kenapa enggak angkat telponku?!" Ucapnya saat akhirnya kami bertemu lagi pasca libur lebaran dengan suara serak-serak becek manja yang khas.

"Loh perasaan udah di angkat deh."

"Cuma sekaliiiiii..."

"Yang penting kan di angkat. Lagian kamu nelpon kayak orang minum obat aja. Tiga kali sehari." Jawabku sambil menjulurkan lidah.

"Ihhh... kamu yaa..."

Dan begitulah seterusnya. Namun, mari ku ceritakan peristiwa lain yang akan membuatmu terkaget tentang Dimas si kemayu. Ah, mungkin kamu nggak akan kaget, tapi aku, yang mengalami sendiri, kagetnya setengah mati.

Jadi begini, suatu ketika, atau mungkin lebih tepatnya, suatu malam sekitar dua atau tiga hari setelah libur lebaran, kami sedang berkumpul di pendopo seperti biasa. Tapi malam itu tak ada kegiatan yang berarti hingga kami semua hanya duduk bermalas-malasan. Sahara dan Erwin di pojok sebelah sana, Nuna, Dayat, Rini, Tika, ada di pojok sebelah tengah, aku dan Dimas di pojok sebelah sini, sisanya tak tampak batang hidungnya, mungkin cari angin. Istilah yang agak lucu sebenarnya, karena angin kan ada di mana-mana kenapa harus di cari? Ya sudahlah buat apa di permasalahkan.

"Kok tiba-tiba laper ya, ke angkringan depan yok!" Nuna mengajak kumpulan tengah ke angkringan seberang pendopo. Sepertinya mereka semua setuju untuk mengganjal perut dengan sego kucing empat bungkus. Kalau sudah empat bungkus sih namanya bukan mengganjal, tapi memang makan. Mereka semua mengekori Nuna. Juga mengajak kami serta, namun aku yang tak lapar menolak dengan halus dan memilih mengobrol dengan Dimas tentang anatomi tubuh manusia.

"Eh, beneran?" Kami saat itu sedang membicarakan tentang hormon yang berhubungan dengan emosi manusia. Aku yang baru tahu bahwa emosi seseorang ada kaitannya dengan hal-hal biologis hanya mengangguk-angguk mendengar penjelasan Dimas yang mirip seperti pak guru. Ini hal baru, aku pikir semua hanya tentang rasa,__entah kutipan siapa itu aku ambil.

"Bener! Hormon Oksitosin kan di sebut hormon cinta. Itu berhubungan dengan cinta, empati, bonding orang tua dengan anak, biasanya muncul kalau ibu mau menyusui, melahirkan, bisa juga muncul saat cium, peluk, sex. Itu..."

"Lah, mati lampu!"

Belum juga Dimas merampungkan kalimatnya tiba-tiba lampu padam. Semua gelap, mereka yang di angkringan seberang berkasak-kusuk berisik, suaranya terdengar sampai arah kami. Apalagi saat mati lampu suasana biasanya jadi lebih sunyi, maka gema suara mereka terdengar lebih jelas.

"Lah! Mati lampu! Kita pergi aja yok!" Ajak Erwin pada Sahara. Keduanya sepakat untuk berkendara dengan motor, entah mau pergi kemana. Sedangkan aku, berinisiatif hendak masuk ke pendopo mencari lilin, namun Dimas mengingatkanku kalau kami tidak sedia lilin.

"Udah nggak usah pake lilin-lilin segala. Kayak mau ngepet aja cari lilin. Duduk sini aja. Liat bintang! Tuh! Bintang jadi kelihatan lebih jelas kan kalau mati lampu." Katanya sambil menunjuk ke langit yang membuatku mendongak keatas secara tanpa sadar.

Tiba-tiba Dimas menggenggam tanganku, mengaitkan jarinya pada jari-jariku lalu mencium punggung tanganku yang membuat ku reflek seperti tersetrum. Eh kaget! Perasaan mati lampu deh! Kok tiba-tiba ada aliran listrik! Ada yang nyetrum tanpa aba-aba. Bingung tentu saja, kenapa Dimas tiba-tiba mencium punggung tanganku? Karenanya aku menoleh kearahnya hendak meminta penjelasan. Namun yang terjadi malah lebih ekstrim lagi. Tiba-tiba ia mencondongkan badan dan mencium bibirku. Astaga! Aku hendak bilang astagfirullah sebenarnya, tapi mengingat bahwa setelahnya aku bukannya menolak tapi malah menginginkannya lagi karena penasaran, jadi dari pada tobatku jadi tobat sambal yang__aku bertobat di mulut tapi di hati berkata lain__, mending aku ber-astaga ria yang tak ada sangkut pautnya dengan pertobatan.

"Kamu ngapain Dim?"

"Cium! Praktik ngeluarin hormon oksitosin"-- Enteng sekali dia berbicara -- "ya kan learning by doing." Lanjutnya enteng.

"Sini!" Dia menarikku berdiri dan mengamit tanganku yang masih bergandengan dengannya, menuntunku menuju ruangan tanpa atap di bagian samping pendopo yang biasanya dipakai anak-anak untuk menjemur baju. Dimas menutup pintu yang ada di belakang kami dan menyenderkan tubuhku di sana. Sambil menatapku dia mencondongkan wajahnya dan menciumku lagi, lebih dalam dari pada yang tadi. Rasanya seketika aku merinding,  rambut vellus di seluruh tubuhku meremang, perutku rasanya seperti digelitik dari dalam, geli, tapi dibagian dalam sana, otot bagian perut dan pahaku juga seperti menegang, jantungku tentu sudah berdegup lebih kencang dari biasanya sejak tadi, kepalaku seperti berputar-putar, bukan karena pusing, tapi karena euforia. Haruskah aku menjelaskannya lebih detail?

"Did you feel it?" Tanyanya setelah melepaskan ciumannya.

"Emmm..." aku bingung mau jawab apa. Terlebih aku juga malu. Malu pada Dimas, malu pada diriku sendiri, malu pada tuhan. Aneh sekali! Mengapa aku tidak menolaknya? Padahal di antara teman-teman KKN sepertinya akulah yang paling tahu kalau ciuman dengan lawan jenis itu dosa. Tapi yang terjadi malah sebaliknya. Aku penasaran. Aku suka. Aku malu tapi mau lagi. Miris tidak? Jika kamu berbicara moral dan agama, tentu akan bilang itu miris sekali. Tapi kalau kamu berbicara sisi biologis manusia pasti akan mewajarkanku kan? Benar, aktivitas yang,__kalau di pikir-pikir agak menjijikan ini: yah, berciuman akan membuatmu bertukar air liur dengan pasanganmu, bukankah itu menjijikan?__malah membuatmu jadi ketagihan, bahagia, dan meledak-ledak seperti kembang api. Damn it! Hormon oksitosin sialan! Hormon serotonin sialan!

"Feel what?"

"Merasa gimana hormon oksitosin sekarang di keluarkan tubuhmu!" Jawabnya sok ilmiah. Tiba-tiba saja manusia di depanku ini jadi manusia yang paling menjengkelkan sekaligus paling kuinginkan saat ini. Damn lagi! Fuck! Anjing! Babi! Sialan! Biadap! Ingin aku mengumpat! Mengabsen seluruh isi kebun binatang.

"Emm... I... don't..."

Belum juga selesai bicara tiba-tiba Dimas menciumku lagi, lebih dalam, kali ini dia seperti menghisap bibirku atas dan bawah secara bergantian, menjilatinya, menggigitnya kecil-kecil, dan mulai memasukkan lidahnya dalam mulutku, hangat, dan kenyal. Tangannya yang lain, yang tidak menggenggam tanganku ia letakkan di pinggangku, lalu mulai berjalan menelusup masuk ke dalam kaosku, mengusap punggungku pelan, dan mulai menuju menuju payudaraku. Stop! Aku belum siap sampai sana. Ku hentikan tangannya tentu saja dan ku gandeng agar tidak keluyuran kemana-mana. Ciuman ini saja sudah membuatku merinding, rasanya seluruh sel tubuhku merasakan ledakan hormon oksitosin, otot perut dan panggulku makin menegang, kemudian menjalar kebagian otot vagina yang tiba-tiba seperti mengeluarkan cairan berlendir seperti putih telur. Reaksi berantai yang akhirnya akan berpusat ke daerah itu.

Setelah Dimas melepaskan ciumannya, aku berkata terengah.

"I... feet it."

Yang di balasan cengiran songong dari wajahnya yang kemayu, rambutnya yang kriwil berayun-ayun seperti per pegas. Sangat menjengkelkan! Sepertinya dia puas membuatku merasakan ledakan hormon oksitosin dalam tubuh yang membuatku bodoh.

Aku sangat mengingatnya, tanpa sedikitpun detail terlewatkan karena ini salah satu peristiwa epik masa KKN ku. Ingin sekali melupakannya, tapi juga tak rela menghapusnya. Istilahnya: 'kenangan di buang sayang'. Bagaimana tidak? Itu ciuman pertamaku sepanjang hidup. Bukan di sweet seventeen atau di sweet eighteen, tapi di sweet a bit bitter twenty, a bitter sweet twenty? Setidaknya manusia yang membuatku merasakan firts kiss melakukannya dengan baik, sehingga yah, nggak nyesal-nyesal amat walaupun dosa. Aku pikir, namanya juga manusia, tempatnya khilaf dan dosa.

Setelah beberapa percobaan cium untuk mengeluarkan hormon oksitosin dalam tubuh, akhirnya lampu menyala. Syukurlah, kalau tidak, bisa-bisa... mari tidak usah membayangkan lebih jauh.

Dimas mengantarku menuju pintu yang satunya lagi, pintu itu menghubungkan langsung ke dapur pendopo. Di bukanya pintu perlahan, lalu pelan-pelan Dimas mendorongku masuk melalui pintu tersebut.

"Sana masuk duluan, nanti aku nyusul."

Sengaja ya kawan, aku paham, biar anak lain tidak curiga atas apa yang barusan kami lakukan. Duh! Mengingatnya saja sudah mampu membuat pipiku memerah. Malu tapi mau, sebal tapi suka. Kehilafan itu menjengkelkan sekaligus menyenangkan!

***
Hayooo...!! Jangan tegang...!!

Smack ⭐️ buat vote guys.
Thank you

Ukhti KhilafTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang