13. Aku Sudah Maafin Diriku Sendiri

646 16 21
                                    

Sepertinya ceritaku akan berakhir di sini. Aku bukan pecinta okultisme, tapi ini angka 13. Angka apa? Angka keramat! 🤣✌️

***

But since you been gone
I can breathe for the first time
I'm so moving on, yeah, yeah
Thanks to you
Now I get what I want

(Since You've Been Gone - Kelly Clarkson)


Itu potongan lirik lagu Since You've Been Gone yang di nyanyikan oleh Kelly Clarkson. Lagu ini jadi anthemku selama setahunan ini. Tepatnya semenjak aku move on dari Dimas. Aku yang awalnya belajar merangkak lalu berjalan, kini mulai berlari, bahkan sesekali merasa terbang. Aku seperti mengulang kehidupan awalku, seperti bayi yang baru dilahirkan kembali. Menuju bebas dan rasa syukur atas perginya Dimas dari hidupku.

Tidak sebersih jiwa bayi juga sih, itu hanya hiperbolaku saja, karena toh kadang aku masih mengingat Dimas. Tak bisa dipungkiri bahwa hadirnya Dimas yang singkat dalam hidupku membawa kesan yang dalam. Bahkan aku kadang, kadang yang sangat jarang, sampai usiaku menginjak 30 tahun, mungkin 3 tahun sekali, masih suka stalking akun sosmed Dimas.

Dia terlihat bahagia, kadang juga menulis kalimat bijak yang terlihat sangat familier. Saat ku baca berulang kali, barulah aku sadar bahwa itu adalah sekumpulan syair yang pernah ku kirim padanya dulu. Walau lebih sering ia penggal-penggal, hingga dengan bebasnya dia menulis kata "anonim" dalam kolom penulisnya. Aku tak keberatan, reaksiku hanya menyunggingkan senyum miring yang dibubuhi perasaan ironis. Ah! Jadi aku untukmu adalah 'anonim'? Tidak masalah, aku juga tak butuh pengakuanmu dan ingatanmu, tapi rasanya agak aneh juga di sebut anonim, ada sedikit nyeri yang tak bisa di definisikan.

Tentu saja, aku move on bukan hanya karena aku semedi dengan pakaian serba gelap dan menulis racauanku menjadi novel, tapi ada orang-orang baik di sekelilingku yang mendukungku, merangkulku, menarikku dari dalam palung terdalam kesedihanku. Aku sama dengan kalian, zon politicon juga. Jadi untuk mempercepat proses move on, aku keluar dari gua, berbaur dengan dunia luar. Aku tahu, terus-terusan menyendiri dalam gua hanya akan membuatku cupu. Jadi aku berbaur dengan banyak komunitas yang dulu,__ saat belum putus cinta,__ masih ragu-ragu ku lakukan. Sekarang aku lebih berani mencoba hal baru. Aku benar-benar menyelami lirik "thanks to you, now I get, I get what I want". Kini aku beneran dapat yang aku mau.

***

Malam itu, tiga hari menuju hari wisudaku, aku baru pulang ke kos jam 21.30 setelah diskusi dengan beberapa teman di komunitas Debat Kusir membahas tentang too much ado about nothing-nya William Shakespeare: terlalu banyak cakap tentang sesuatu yang nggak penting.

"Aku langsung balek yo, Jun!" Mas Arif pamit setelah mengantarku sampai depan pagar kosan.

"Oke, mas. Makasih, yo!"

"Ho'oh! Dah masuk sana!"

Dengan kepergiannya aku langsung membuka pagar kos dan segera menutupnya, sengaja tidak ku kunci karena biasanya ada satu mbak kos yang pulangnya lebih malam daripada aku. Ku langkahkan kaki hendak memasuki kos, namun langkahku terhenti, tertegun melihat siluet manusia yang sangat ku kenal walau wajahnya tidak nampak karena cahaya temaram lampu teras kos. Rambutnya yang kriwil tergerak-gerak karena tiupan angin semilir, kepalanya menunduk sambil memandangi sepatu boot kulit semata kakinya yang menendang-nendang debu.

Ia berdiri setengah duduk diatas motornya yang agak tinggi dengan kedua tangan menopang pada joknya. Dengan ripped jeans warna hitam dan kaos hitamnya, ia terlihat menyaru dengan gelapnya malam. Kalung rantai di lehernya terlihat berkilau tertimpa cahaya bulan, gelang pink stabilo di tangannya terlihat mencolok menandakan ia tak ingin menyaru lebih jauh, masih ingin terlihat. Siluet ini, manusia yang paling ingin ku tonjok, manusia yang bikin aku ingin membanting meja saat mengingatnya. Buat apa dia kembali?

Ukhti KhilafTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang