8. Udah Terlanjur! Mau Gimana Lagi!

1.5K 16 36
                                    

Seperti nggak terjadi apa-apa, aku bersikap biasa saja pada Dimas. Toh memang biasa saja, maksudnya, ciuman itu tak berarti serta-merta membuatku jatuh cinta pada si kriwil. Tapi kalau aku menebak-nebak dalam hati dan bertanya-tanya apa maksud dari ciuman itu ya wajar kan? Karena umumnya seseorang mencium orang lain itu ya karena suka. Jadi aku berpikir dalam lamunanku apa iya si kemayu suka sama aku? Tapi segera aku menepisnya, karena membayangkannya saja membuatku geli, dan sepertinya aku enggak akan sanggup berteman lagi dengannya kalau memang itu yang terjadi. Aku lebih memilih dia melakukan itu karena dasar ilmiah saja, bahwa jantan membutuhkan betina, begitu juga sebaliknya. Atau seperti yang tadi malam ia katakan "learning by doing" tentang hormon cinta. Baiklah, mari pakai saja insting ini. Bukan akal ya? Oh bukan... karena akalku sudah tumpul dan bodoh sejak hormon oksitosin lepas kendali malam tadi. Damn it!

Melihatku diam saja, dan malah terkesan cuek padanya, membuat Dimas penasaran, jadilah sepanjang pagi dia nyerocos terus di hadapanku, mungkin hendak mencairkan suasana. Melihatku yang sekali lagi terlihat biasa saja, ia menyeretku dan mendudukanku diatas motornya, di bawanya aku berkendara keliling alun-alun kidul lalu berhenti di area Plengkung Gading. Mengajakku naik ke atas benteng. Niat sekali kau! Kalau belum tahu, Plengkung Gading atau Plengkung Nirbaya itu salah satu bagian dari benteng keraton yogyakarya. Kapan-kapan, main lah ke sana, jangan cuma ke Malioboro saja kawan!

"Jeje, kok kamu diem aja sih?"

"Aku? Nggak kok, dari tadi juga ngomong kan?"

"Nggak Je! Feelnya beda."

"Kamunya aja kali yang over sensitive."

"Ih enggak! Kamu yang enggak biasa. Kamu marah sama aku karena yang tadi malam?"

"Enggak. Biasa aja kok."

Wah! Kalau kayak begini jadi susah buatku bertanya apa maksudnya menciumku semalam, padahal tadi niatnya memang mau tanya itu, tapi malah aku jawab tidak mempermasalahkan soal ciuman itu. Dasar mulutku nggak bisa di ajak kompromi! Kadang aku merasa aneh pada diriku sendiri, apa yang ada di otakku nggak singkron dengan apa yang di keluarkan mulutku.

"Ya deh..."-- nyerah bertanya --"hari ini mau pulang ke kos gak? Sore gak ada kegiatan kan?"

"Hemm... boleh. Ya udah sekarang aja yok! Sekalian mampir cari makan ya." Kataku sambil berdiri lalu berjalan mendahului Dimas, malas basa-basi lagi.

***

Setalah izin pada anak-anak lain kami segera meninggalkan pendopo. Rencana hendak mampir ke gudeg Yu Djum di Widjilan untuk makan kami batalkan karena tempatnya terlihat antre. Jadi kami memutuskan untuk mencari makanan lain untuk di take away.

"Nanti balik jam berapa kita, Dim?"

"Malem aja lah. Atau sekalian besok pagi?"

"Di jitak Nuna kalo sampek baru balik besok pagi." Kataku mengingatkan

"Ya udah! Malem!"

"Oke! Nanti kalo mau OTW jemput aku, telpon aja. Aku mau bocan, nggak mau di ganggu." Kataku menegaskan. Aku beneran lagi pengen sendiri, jiwa introvertku sudah meronta-ronta ingin di beri makan. Aku hanya ingin bergumul dengan kasur, novel, dan pikiranku sendiri yang ingin sekali ber-over thinking ria.

"Tapi ke kosku dulu ya!" Jawabnya dan langsung menuju belokan ke arah kosnya. Kalau ke kos ku belok kanan, sedangkan kosnya belok kiri.

"Ngapain ke kosmu? Emangnya boleh sama ibu kos bawa temen cewek main ke kos cowok?"

"Boleh lah. Ibu kosku kan baik."

Hemm.. aku mengangguk saja, tiada berpikir macam-macam. Mungkin maksudnya boleh main ke kos cowok tapi di ruang tamu saja. Seperti kos cewek rata-rata.

Ukhti KhilafTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang